Setelah Lebaran 2023, kenaikan warga pendatang di Jakarta diprediksi mencapai 40.000 orang. Hal ini mesti diantisipasi agar tidak menimbulkan isu sosial di kemudian hari.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Penumpang bus antarkota antarprovinsi antre masuk ke lift setibanya di Terminal Terpadu Pulogebang, Jakarta, Rabu (26/4/2023). Pada hari keempat setelah Lebaran, arus penumpang balik pada gelombang pertama mencapai 2.520 orang. Adapun kedatangan bus dari luar kota mencapai 275 bus. Dinas Dukcapil DKI Jakarta memprediksi akan ada 40.000 pendatang di Jakarta setelah Lebaran 2023 ini. Sejauh ini, kota besar masih dilirik sebagai magnet bagi para pendatang dari luar perkotaan.
JAKARTA, KOMPAS — Kota besar masih menjadi daya tarik bagi pendatang yang ingin mencari pekerjaan dan kesempatan hidup yang lebih baik. Namun, tanpa keterampilan yang memadai, mimpi mereka dapat berbalik menjadi masalah sosial baru, seperti pengangguran dan kemiskinan.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi, ada kenaikan jumlah warga pendatang di Jakarta hingga 40.000 setelah Lebaran 2023. Jumlah pendatang di Jakarta umumnya naik setiap tahun. Pada 2020 tercatat ada 113.814 pendatang. Angka ini naik menjadi 139.740 orang pada 2021, kemudian naik lagi menjadi 151.752 orang pada 2022 (Kompas.id, 15/4/2023).
”Mereka yang datang ke kota besar punya motivasi soal ekonomi sebagai akibat dari keterbatasan lapangan kerja (di tempat asal). Kota di anggap sebagai sumber ekonomi karena ada lapangan kerja,” kata sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, Rabu (26/4/2023).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Penumpang turun dari bus antarkota antarprovinsi di Terminal Terpadu Pulogebang, Jakarta, Rabu (26/4/2023). Pada hari keempat setelah Lebaran, arus penumpang balik pada gelombang pertama mencapai 2.520 orang.
Ia menambahkan, pendatang juga pergi ke kota besar dengan alasan rekreasi. Walau mulanya tidak berniat mencari pekerjaan, sebagian pendatang tidak menolak jika kemudian mendapat pekerjaan dan menetap di kota.
Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) UGM Hempri Suyatna berpendapat, urbanisasi juga terjadi karena pola pikir masyarakat di desa berubah. Sebagian orang, utamanya anak muda, menilai bekerja di sektor pertanian atau peternakan tidak lagi menarik. Pekerjaan di kota besar dianggap lebih keren dibandingkan dengan bekerja di desa.
Sebagian orang, utamanya anak muda, menilai bekerja di sektor pertanian atau peternakan tidak lagi menarik.
Walau demikian, tidak semua pendatang memiliki keterampilan yang sesuai dengan pasar kerja di kota. Hal ini dapat berdampak ke bertambahnya pengangguran, munculnya kemiskinan, dan dikhawatirkan memicu kriminalitas. Kondisi ini juga dapat merambat ke isu pendidikan, kesehatan, serta akses air bersih dan sanitasi.
”Jika tidak diimbangi dengan keterampilan, yang muncul adalah masalah sosial. Mungkin ada yang terjun ke sektor informal, seperti berjualan di trotoar, tetapi ini dianggap mengganggu kenyamanan dan ketertiban,” kata Hempri.
Tanpa keterampilan, tidak ada jaminan bahwa pendatang dapat mencapai kehidupan yang lebih baik seperti yang didambakan. Hempri menambahkan, upah bekerja di kota bisa jadi lebih tinggi dibandingkan dengan di desa. Namun, kadang orang lupa memperhitungkan biaya hidup di kota yang relatif tinggi.
Hal ini juga pernah disampaikan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Ia mengimbau agar pemudik tidak membawa kolega atau sanak saudara yang tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus ke Jakarta. Walakin, ia tidak melarang kedatangan orang dengan keterampilan, keahlian khusus, atau yang telah memiliki pekerjaan di Jakarta.
FAKHRI FADLURROHMAN
Deretan pengendara sepeda motor saat melintas di Jalan Raya Klari, Karawang, Jawa Barat, Selasa (25/4/2023).
Manfaatkan otonomi desa
Menurut Hempri, salah satu faktor terjadinya urbanisasi adalah karena pembangunan di desa belum sebanding dengan di kota. Ini dinilai berkaitan dengan belum optimalnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini memberi wewenang kepada pemerintah desa untuk mengelola desa. Tujuannya agar masyarakat lekas mandiri dan sejahtera.
Dengan otonomi tersebut, pemerintah desa dapat memanfaatkan dana desa untuk membangun ekonomi dan membuka peluang usaha bagi warga. Beberapa usaha yang berhasil dikembangkan warga desa, antara lain, di bidang agrowisata.
”UU ini belum dimanfaatkan dengan baik mungkin karena mindset pemerintah desa dalam memaknai UU ini. Dana desa dialokasikan untuk infrastruktur daripada untuk membangun ekonomi desa,” ucap Hempri.
FAKHRI FADLURROHMAN
Warga melaju di Jalan Raya Klari, Karawang, Jawa Barat, dengan membawa barang bawaan dan berbonceng tiga pada Selasa (25/4/2023).
Arie mengatakan, urbanisasi mestinya tidak ditangani sendirian oleh kota besar tujuan para pendatang. Pemerintah daerah tempat pendatang berasal hingga pemerintah pusat mesti bekerja sama. Menurut dia, kreativitas kepala daerah dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja di daerah. Untuk mencapai ini, kepala daerah bisa memanfaatkan kebijakan otonomi daerah.
Kementerian Ketenagakerjaan juga merespons urbanisasi, antara lain, dengan program peningkatan kompetensi, seperti pelatihan di balai latihan kerja (BLK), pelatihan peningkatan produktivitas, sertifikasi kompetensi, dan bursa kerja daring.
”Melalui berbagai program ini, kami ingin agar masyarakat memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri yang ada di daerah masing-masing sehingga tidak perlu mencari pekerjaan ke kota-kota besar,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seperti dikutip dari laman Kemenaker.