Jakarta Perketat Syarat Pendatang Baru Tinggal di Ibu Kota
Setelah libur Idul Fitri 2023, Disdukcapil memprediksi Jakarta akan kedatangan sekitar 37.000 pendatang baru. Adapun setelah Idul Fitri tahun 2022, angkanya mencapai 27.478 orang.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penumpang kereta api jarak jauh yang tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, meninggalkan pintu kedatangan penumpang, Selasa (25/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun tidak melarang pendatang baru ke Ibu kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat syarat pengurusan kependudukan. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mewajibkan pendatang baru memiliki jaminan tempat tinggal.
Kebijakan Disdukcapil DKI Jakarta itu merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Dalam ketentuan itu disebutkan, warga yang berpindah harus memiliki jaminan tempat tinggal.
”Jika tidak bisa menunjukkan (jaminan tempat tinggal), layanan dokumennya tidak bisa kami proses. Nantinya, sekaligus kami imbau mereka minimal sudah punya keterampilan,” kata Kepala Disdukcapil DKI Jakarta Budi Awaluddin, ditemui di ruangannya, Kamis (27/4/2023).
Setelah libur Idul Fitri 2023, Disdukcapil memprediksi Jakarta akan kedatangan sekitar 37.000 pendatang baru. Adapun setelah Idul Fitri tahun lalu, angkanya mencapai 27.478 orang. Prediksi peningkatan pendatang tahun ini karena tidak ada lagi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta Budi Awaluddin saat ditemui di ruangannya, di Jakarta, Kamis (27/4/2023).
”Pendatang baru masih didominasi daerah sekitar Ibu Kota, yakni Bodetabek. Selain itu, banyak pula dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujar Budi.
Disdukcapil DKI Jakarta akan bekerja sama dengan dasawisma di setiap RT/RW untuk memantau dan melaporkan setiap penghuni baru di lingkungannya. Dengan demikian, pemerintah bisa mengontrol dan memantau para pendatang baru tersebut. Pemantauan dan pendataan akan dilakukan kurang lebih selama 30 hari terhitung sejak hari pertama libur lebaran berakhir.
Dalam catatan Disdukcapil DKI Jakarta, mayoritas pendatang baru tidak memiliki pendidikan yang mumpuni. Pada tahun 2022, dari total 27.478 pendatang baru, lulusan SMA sederajat ke bawah mencapai 80,18 persen. Masih tahun lalu, pendatang dengan potensi penghasilan rendah mencapai angka 12.541 orang atau 45,64 persen. Mereka banyak bekerja di bidang buruh kasar.
Adapun tempat tinggal para pendatang baru biasanya akan terkonsentrasi di kawasan padat penduduk. Selain itu, tempat tinggal mereka di permukiman yang dekat dengan lokasi pusat kegiatan yang terdapat pekerjaan sektor informal.
”Jika melihat fenomena tahun-tahun sebelumnya, mereka banyak tinggal di daerah padat penduduk,” ucap Budi.
Salah satu permukiman yang banyak dihuni pendatang, misalnya kawasan Jatipulo, Jakarta Barat, yang bersebelahan dengan kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurut Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Kelurahan Jatipulo Gunawan, sejumlah RW di lingkungannya kerap menjadi lokasi tempat tinggal pendatang baru.
Foto aerial lalu lintas lengang di Jalan Mas Mansyur di sekitar Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2020).
”Kemarin sudah imbauan dari dinas (dukcapil) untuk mendata warga. Bahkan saat mereka mudik sehingga ketahuan ketika mereka balik sama siapa saja,” kata Gunawan.
Ditemui terpisah, Ketua RT 015 RW 009 Kelurahan Jatipulo Bustaman mengungkapkan, banyak pendatang baru di lingkungannya yang menetap di indekos atau kontrakan kerabat. Biasanya mereka menetap dalam jangka waktu tertentu, lalu berpindah menyesuaikan lokasi pekerjaan yang baru.
”Kebanyakan pendatang baru tersebut bekerja di sektor informal. Sebagian dapat pekerjaan dengan penghasilan cukup, tetapi banyak juga penghasilan rendah karena hanya sebagai buruh kasar seperti di Pasar Tanah Abang,” ujar Bustaman.
Bustaman juga mengaku saat ini sudah mendapat arahan untuk memonitor pergerakan para pendatang baru. Namun, hingga kini baru ada dua laporan warga yang kembali dari mudik dengan keluarga.
”Ini belum, biasanya satu atau dua minggu ke depan baru banyak yang datang. Apalagi pasar (Tanah Abang) belum ramai,” katanya
Spanduk dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berisi imbauan tidak mengajak berurbanisasi terpasang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dipadati pemudik Lebaran, Kamis (31/7/2014).
Fenomena berulang
Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menyebut arus urbanisasi pendatang baru ke kota besar merupakan fenomena yang terus berulang. Fenomena ini akibat imbas dari ketimpangan yang terjadi di daerah akibat dari kebijakan pembangunan yang tersentralisasi di Jakarta saat Orde Baru.
Dengan jumlah pendatang yang banyak, cukup sulit bagi pemerintah untuk mengatur pendatang dan memastikan semuanya bisa mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. (Rakhmat Hidayat)
Rakhmad melihat saat momen setelah Lebaran, godaan untuk menuju ke kota yang lebih besar, khususnya Jakarta, semakin besar. Pendatang baru ini biasanya tertarik ketika kerabat terdekat mereka mudik. Dengan berbagai pencapaian yang dihasilkan, kemudian mereka akan tertarik dan ingin mengikuti keberhasilan tersebut.
”Biasanya mereka akan ikut. Tapi, kalau mereka yang punya pendidikan cukup, seperti sarjana saja, biasanya masih harus bersaing dengan para pencari kerja lain di Jakarta. Di sisi lain yang berpendidikan rendah ini, nasibnya akan semakin mengkhawatirkan. Ujung-ujungnya mereka akan kembali jadi buruh kasar lagi,” ucapnya.
Salah seorang pencari kerja beristirahat saat di acara Job Fair Bekasi 2023 di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023).
Sementara itu, Rakhmat pesimistis dengan tindakan preventif Pemprov DKI Jakarta dengan menghadirkan sejumlah aturan. Dengan jumlah pendatang yang banyak, cukup sulit bagi pemerintah untuk mengatur pendatang dan memastikan semuanya bisa mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.
“Cukup sulit mengontrol ini. Pendatang baru ini datang dengan kebutuhan dan ekspektasi yang besar sehingga mereka akan mencari berbagai cara juga agar tetap bisa berjuang di Ibu kota. Solusinya satu-satunya hanya dengan pemerataan pembangunan ekonomi hingga ke tingkat paling bawah, yakni desa,” kata Rakhmat.