Jawa Timur masih akan menjadi palagan yang menantang dalam mencari kemenangan bagi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang telah ditetapkan sebagai calon presiden dari PDI-P.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Presiden Joko Widodo memenangi perolehan suara terbanyak dalam kontestasi 2014 dan 2019 di Jawa Timur. Situasi serupa setidaknya dapat direplikasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang secara resmi telah diumumkan sebagai calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Jokowi dan Ganjar punya sejumlah kemiripan. Jokowi sebelum diusung sebagai calon presiden menjabat Gubernur DKI Jakarta. Sementara Ganjar masih menjabat Gubernur Jateng saat diumumkan sebagai calon presiden oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Jumat (21/4/2023). Hari pengumuman bertepatan dengan peringatan Idul Fitri, terutama bagi kalangan Muhammadiyah.
Jokowi dan Ganjar dari jawatengahan atau Mataraman. Mereka lulusan perguruan tinggi yang sama, yakni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setidaknya, kemiripan itu bisa menjadi modal untuk menguasai Jatim yang dijuluki Brang Wetan. Namun, seperti moto provinsi ”Jer Basuki Mawa Beya, sepatutnya kebahagiaan memerlukan biaya yang sejatinya pengorbanan atau kerja keras dan cerdas.
Sejauh ini, sejumlah nama telah muncul sebagai calon presiden untuk menggantikan rezim dua periode Jokowi. Selain Ganjar, ada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Juga ada yang memunculkan nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.
“Setelah pengumuman, kami segera jalankan mesin pemenangan,” kata Ketua Pelaksana Harian PDI-P Jatim Budi ”Kanang” Sulistyono, Sabtu (22/4/2023).
Nama Ganjar diyakini akan diterima mayoritas pemilih di Jatim sehingga kemenangan seperti diraih Jokowi dalam dua kontestasi sebelumnya dapat diwujudkan kembali.
Keraguan
Beberapa pekan sebelum pengumuman, masyarakat, termasuk di Jatim, dikejutkan oleh pernyataan Ganjar tentang penolakan terhadap tim sepak bola Israel U-20. Meski tidak terkait langsung, FIFA kemudian membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 dan memindahkannya ke Argentina.
Penolakan Ganjar setidaknya menimbulkan keraguan dari kalangan sebagian warga yang menyukainya, termasuk di Jatim.
Namun, menurut Kanang, mantan Bupati Ngawi dua periode, keraguan terhadap sosok Ganjar terjawab dengan keputusan bulat PDI-P melalui Megawati mengajukan Ganjar sebagai calon presiden.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, yang juga kader PDI-P, mengatakan akan berupaya membantu ”mengobati” keraguan dan kekecewaan warganya terhadap pernyataan Ganjar.
”Saya yakin Pak Ganjar kerakyatan, mengutamakan wong cilik. Tepat Ibu Mega menentukannya sebagai calon presiden dan waktunya pas saat warga masih mudik,” ujarnya saat gelar griya di rumah dinas samping Balai Kota Surabaya pada 1 Syawal 1444 Hijriah, Sabtu (22/4/2023).
Peran sentral ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat lebih terhubung dengan elite politik di Jakarta yang berideologi agama. (Surokim Abdussalam)
Ketua PDI-P Surabaya sekaligus Ketua DPRD Surabaya Dominikus Adi Sutarwijono mengatakan, seluruh kader partai berlambang banteng moncong putih ini telah siap dan mulai bergerak untuk pemenangan Ganjar.
Kendala
Masih terlalu awal bicara kemenangan dalam kontestasi Pilpres 2024. Pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum, apalagi penetapan calon, belum terjadi. Namun, jalan Ganjar ke pendaftaran terbuka lebar karena PDI-P dapat mengajukan calon presiden sendiri atau tanpa koalisi.
Sebagai modal menyalakan dan memanaskan mesin politik, Ganjar dapat berkaca dari keberhasilan Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014 yang mengalahkan Prabowo-Hatta Rajasa. Saat itu, Jokowi-Kalla mendapat 11.669.313 suara sah (53,1 persen) sehingga melampaui 10.277.088 suara sah Prabowo-Hatta (46,8 persen). Kontestasi berikutnya atau 2019, Jokowi-Ma’ruf Amien meraih 16.231.668 suara sah (65,7 persen) yang melambung di atas 8.441/247 suara sah (34,3 persen) Prabowo-Sandiaga Uno.
Pakar politik komunikasi Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam mengatakan, meski Jatim menjadi medan kemenangan Jokowi, Ganjar belum tentu mudah menduplikasi situasi itu.
”Pak Ganjar masih bisa leading (unggul) jika melihat kompetitor yang ada. Namun, Pak Ganjar perlu kerja keras dan cerdas untuk mengembalikan kepercayaan yang sempat hilang, terutama di Generasi Z (milenial) yang kecewa dengan pembatalan Piala Dunia U-20,” kata Wakil Rektor UTM tersebut.
Surokim melanjutkan, suara dari kaum milenial menjadi penting untuk diobati kekecewaannya dan diyakinkan untuk direbut hatinya. Di Jatim, sejauh ini, sejumlah nama yang menonjol dibicarakan sebagai calon presiden ialah Ganjar, Prabowo, dan Anies.
”Jika Pak Prabowo bisa dibujuk untuk menjadi calon wakil presiden, perolehan suara di Jatim akan signifikan untuk pemenangan,” ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya UTM itu.
Adapun Jatim terbagi menjadi empat besar tlatah kebudayaan, yakni Mataraman, Arek, Madura, dan Pendalungan. Ada juga tlatah kecil yakni Panaragan, Osing, Tengger, Madura Bawean, Madura Kangean, dan Samin (sedulur sikep). Karakter atau latar belakang kebudayaan Ganjar ialah jawatengahan atau Mataraman yang bisa mendekat dan besar kemungkinan diterima warga Arek dan sebagian Pendalungan.
Namun, menurut Surokim, kader-kader PDI-P belum mampu menguasai secara politik wilayah Madura dan sebagian Pendalungan atau Tapal Kuda (dahulu disebut Blambangan). Di wilayah ini, secara tradisional dikuasai kader partai religius dan dalam dua kontestasi kepresidenan dikuasai Prabowo. Pada 2009, Prabowo adalah calon wapres yang berpasangan dengan Megawati tetapi kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Surokim mengatakan, secara psikologis, wilayah tlatah Madura dan Pendalungan dekat dengan Prabowo karena tiga periode kontestasi tadi. Kader PDI-P, partai dengan warna bendera merah ini masih kesulitan menembus dominasi partai religius (hijau). ”Pemilih Madura secara ideologis lebih dekat dengan partai-partai berbasis keagamaan,” katanya.
Patron atau tokoh politik di wilayah kebudayaan Madura lebih banyak berasal dari partai berbasis religius. ”Peran sentral ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat lebih terhubung dengan elite politik di Jakarta yang berideologi agama,” kata Surokim.
Dari sejumlah situasi itu, Jatim akan tetap menjadi palagan yang rentan bagi Ganjar. Seperti hukum sederhana, di satu sisi ada kemenangan, di sisi lain ada kekalahan. Modal kemenangan bisa ditebalkan atau malah menjadi bertolak belakang.