Geliat Wisata dan Batik Mangrove Pangkal Babu
Masyarakat sadari besarnya peranan bakau menahan abrasi dan gelombang tinggi laut. Gerakan memulihkan hutan bakau dibangun seiring dengan tumbuhnya ekowisata dan ekonomi batik.
Bertahun-tahun memulihkan ekosistem bakau yang rusak, masyarakat Pangkal Babu, Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, akhirnya memetik hasil. Ekowisata tumbuh pesat.
Penangkaran bakau dan kerajinan batik juga turut menopangnya. Sejak dibuka untuk umum, ekowisata Hutan Mangrove Pangkal Babu telah memantik kunjungan tamu. Dengan tiket masuk Rp 5.000, jumlah kunjungan mencapai rata-rata 300 orang per hari, kelopok sadar wisata (pokdarwis) setempat mengelola pemasukan lebih dari Rp 45 juta per bulan.
Itu belum termasuk pemasukan yang didapat dari hasil penjualan bibit bakau yang dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) Bakau Lestari serta penjualan batik hasil produksi Kelompok Batik Taman Sari.
Sekitar 80 persen hasil penjualan tiket ekowisata dialokasikan untuk konservasi hutan, menjaga kebersihan, dan keamanan parkir. Sisanya, 20 persen, masuk ke kas daerah.
Selama Ramadhan ini, jalur ekowisata tersebut sebenarnya ditutup sementara. Jalur dijadwalkan dibuka kembali untuk umum menjelang hari raya Idul Fitri. Nyatanya, kunjungan selama bulan puasa tetap sulit dibendung. Banyak tamu mampir ke sana.
Untuk menjangkau Pangkal Babu dari Kuala Tungkal, ibu kota Tanjung Jabung Barat, pengunjung dapat berkendara roda dua selama hampir 1 jam. Setiba di pintu masuk ekowisata, terdapat jalur setapak di atas air. Panjangnya jalur itu hampir 1 kilometer dibangun dari deretan papan-papan kayu yang menembus sampai ke bibir laut.
Sembari berjalan kaki, pengunjung dapat menikmati teduhnya suasana hutan bakau. Beragam jenis spesies tumbuh di kiri kanan, mulai dari bakau merah, pidada, api-api, hingga bakau minyak.
”Suasananya teduh, bikin tamu nyaman. Apalagi ada edukasinya tentang konservasi ekosistem pesisir,” kata Liyanto, warga Kuala Tungkal, Minggu (2/4/2023).
Di antara ragam vegetasi mangrove, tampak berterbangan beragam jenis satwa. Ada bangau putih, elang, dan kupu-kupu. Ada pula monyet ekor panjang bermain-main pada dahan bakau.
Tamu bisa menikmati suasana hutan bakau dari atas menara kayu. Adapun siput, kepiting, dan ikan bermain bebas di air.Namun, pengunjung dilarang turun ke lantai hutan agar tidak mengusik satwa air dan tanaman bakaunya.
Berjalan terus sampai ke ujung tampaklah hamparan lautan di depan mata. Jika tamu haus dan lapar, sebuah kapal terparkir di sana. Kapal itu menyediakan kopi, teh, dan aneka hidangan. Cocok pula jadi tempat berfoto.
Baca juga: Plastik, Limbah, dan Alih Fungsi Lahan Masih Jadi Ancaman Mangrove
Selepas dari hutan bakau, pengunjung bisa singgah di rumah-rumah pembatik. Kerajinan itu mengangkat kekayaan alam dan kisah perjuangan masyarakat menjaga hutan bakau. Motif spesifik menampilkan pemandangan pesisir bakau, tanaman mangrove, bunga bakau, bangau putih, udang, kepiting, siput, dan beragam jenis flora fauna endemik pesisir itu.
Lokalitas tampak hidup dalam hasil karya batik tulis di Pangkal Babu. ”Siapa pun yang membeli batiknya, kami harap akan terkenang akan kekayaan alam di pesisir ini,” katanya. Tak terlupakan pula inspirasi perjuangan warga dalam menyelamatkan ekosistem bakau.
Modal minim tak jadi penghalang bertumbuhnya usaha batik setempat. Berbagai siasat dibuat demi mengangkat batik bakau. Supaya harga batik lebih terjangkau pembeli, dibuatlah batik cap. Mereka bikin sendiri cetakan dari karton bekas karena tak cukup modal menyediakan cap dari tembaga.
”Meskipun memanfaatkan karton bekas, kami sudah buat cetakan cap dengan beragam motif,” katanya.
Baca juga: Pesan Konservasi dalam Motif Bakau
Hasil pembatikan pun tak kalah istimewa jika dibandingkan dengan batik-batik dari tempat lain. Harganya relatif terjangkau. Selembar kain batik cap berkisar Rp 135.000 hingga Rp 200.000, sementara batik tulis Rp 300.000 per lembar. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan batik tulis di Kota Jambi yang harganya bisa jutaan rupiah.
Pelestarian bakau, ekowisata, dan ekonomi batik akhirnya berjalan seiringan. Menurut pelestari bakau setempat, Ahmadi, perjuangan memulihkan ekosistem pesisir sudah berjalan 20 tahun ini. Dimulai setelah desa dilanda gelombang laut yang tinggi dan berulang. Banyak rumah terancam. Desa pun sempat dilanda banjir.
Ia ceritakan musibah itu terjadi menyusul penebangan bakau dan pembukaan tambak udang besar-besaran di pesisir. Belakangan, hasil budidaya udang gagal, tetapi tanaman bakau telanjur habis dibabat. Ekosistem rusak.
Masyarakat baru menyadari betapa pentingnya peranan bakau menahan abrasi dan gelombang tinggi laut. Sejak itulah gerakan memulihkan hutan bakau dihidupkan. Apalagi mereka sadari kemampuan mangrove mencegah krisis iklim.
Baca juga: Pembangunan Wilayah Picu Kerusakan Ekosistem Mangrove
Hasil studi oleh para peneliti dari University of California-Riverside (UCR) dan University of California-San Diego, Amerika Serikat, sebagaimana diberitakan Kompas.id, (19/9/2022), mangrove bisa menyimpan karbon 5.000 tahun lamanya. Laporan lengkap dari studi ini telah dipublikasikan di jurnal Marine Ecology Progress Series, 25 Agustus 2022.
Baca juga: Mangrove Mampu Menjaga Karbon Selama 5.000 Tahun
Ahmadi dan warga sekitar juga mulai menanam bakau di lahan-lahan yang rusak. Mereka lalu membibitkannya. Belakangan, pembibitan bakau menjadi sumber penghasilan baru.
Warga telah membibitkan dan menanam hampir setengah juta tanaman bakau.
Hingga kini, warga telah membibitkan dan menanam hampir setengah juta tanaman bakau. Diterbitkan pula peraturan desa yang memperkuat perlindungan ekosistem mangrove.
”Siapa pun yang menebang sebatang pohon harus menggantinya dengan menanam 10 bibit,” ujar Ahmadi, pelestari mangrove di desa itu.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Tanjung Jabung Barat Misriadi menyebut inisiatif kuat dari masyarakat Pangkal Babu telah berhasil memulihkan ekosistem bakau. Kini, masyarakat mengenyam hasilnya. Untuk mendapatkan hasil tangkapan siput, kepiting, atau udang, tidak lagi sulit. Namun, masyarakat mengatur pemanfaatannya sesuai zonasi.
Dengan ekosistem yang baik, ekowisata ikut bertumbuh. Pihaknya turut mendukung ekowisata setempat melalui kolaborasi dengan Petro China dan SKK Migas membangun infrastruktur jalan menuju ekowisata, juga membenahi jalur setapak wisata. Kolaborasi lainnya dengan komunitas konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Mereka menginventarisasi keragaman spesies di saa hingga membantu pengembangan usaha batik.
Pengembangan ekowisata itu masih dapat terus dikembangkan. Tantangan dari pengelola untuk melibatkan pengunjung turut serta mendukung konservasi bakau.
Menurut Misriadi, banyak tamu yang ingin tahu menanam bibit bakau secara langsung. Ada juga yang ingin menjadi bapak asuh pohon. Hal itu peluang bagi masyarakat menebarkan semangat menjaga alam kian meluas.