Pembangunan Wilayah Picu Kerusakan Ekosistem Mangrove
Penyebab kerusakan ekosistem mangrove di antaranya kebutuhan pembangunan wilayah khususnya permukiman dan pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pelabuhan serta kawasan industri.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pemetaan terakhir tahun 2021 menunjukkan kondisi mangrove di Indonesia masih relatif baik dengan kelas kerapatan lebat mencapai 92 persen. Sementara kondisi mangrove yang rusak atau terdegradasi terutama merupakan dampak pembangunan wilayah dan pengembangan infrastruktur ekonomi.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono mengatakan, selama ini rehabilitasi mangrove yang terdegradasi baru dilakukan dalam skala kecil atau kurang dari 2.000 hektar setiap tahun. Oleh karena itu, percepatan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar di sembilan provinsi prioritas perlu dilakukan untuk meningkatkan tutupan hutan mangrove sekaligus meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
”Bank Dunia sering menyebut bahwa rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar yang dilakukan Indonesia merupakan proyek terbesar di dunia. Untuk melaksanakan tugas percepatan rehabilitasi ini, BRGM memetakan dua kategori mangrove, yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan,” ujarnya dalam lokakarya nasional percepatan rehabilitasi mangrove di Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Kita perlu belajar bersama masyarakat dan rehabilitasi mangrove perlu dibangun dengan pendekatan alam.
Berdasarkan pemetaan terakhir tahun 2021, luas mangrove existing di Indonesia seluas 3.364.080 hektar. Dari jumlah tersebut, mangrove dengan kelas kerapatan lebat tercatat 3.121.240 hektar (92,78 persen), kerapatan sedang 188.366 hektar (5,6 persen), dan kerapatan jarang 54.474 hektar (1,62 persen). Kondisi existing ini menunjukkan kondisi mangrove di Indonesia masih relatif baik.
BRGM juga memetakan konversi habitat mangrove seluas 756.183 hektar. Mangrove yang sudah terkonversi menjadi tambak mencapai 631.802 hektar (83,55 persen), tanah timbul 56.162 hektar (7,43 persen), lahan terbuka 55.889 hektar (7,39 persen), mangrove terabrasi 8.200 hektar (1,08 persen), dan area terabrasi 4.129 hektar (0,55 persen).
Hartono menjelaskan, kerusakan mangrove yang ditemui selama ini terjadi karena beberapa hal. Hasil analisis masalah, penyebab kerusakan paling utama adalah kebutuhan pembangunan wilayah, khususnya permukiman warga atau pengembangan infrastruktur ekonomi, seperti pelabuhan dan kawasan industri.
Selain itu, kerusakan mangrove yang juga disebabkan oleh faktor manusia, antara lain aliran limbah kimia dan aktivitas penebangan ilegal untuk bahan bangunan atau bahan baku produksi arang. Sementara penyebab alami kerusakan mangrove adalah kenaikan tinggi muka air laut, gelombang, dan kejadian tsunami.
Menurut Hartono, pengelolaan mangrove hampir menyerupai lahan gambut dengan pendekatan lanskap. Setelah diidentifikasi, terdapat sekitar 130 kesatuan lanskap mangrove (KLM) di Indonesia dengan luas mencapai 4,1 juta hektar. Lanskap terluas berada di Papua yang mencapai 1,5 juta hektar, disusul Kalimantan (980.000 hektar), Sumatera (780.000 hektar), Sulawesi (315.000 hektar), Maluku (230.000 hektar), dan Jawa (204.000 hektar).
”Elemen dari lanskap mangrove adalah ada kesepakatan bersama di antara para pemangku kepentingan di lanskap tersebut. Hal ini karena pembukaan lahan lanskap mangrove di satu titik pasti akan berpengaruh ke titik lain. Demikian juga kerusakan mangrove di satu lokasi biasanya akan berdampak pada lokasi lain dalam satu lanskap yang sama,” tuturnya.
Hingga akhir 2021, BRGM telah merehabilitasi mangrove seluas 34.911 hektar atau melebihi target seluas 33.000 hektar. Pelaksanaan rehabilitasi ini menggunakan skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Semua kegiatan, mulai dari pembibitan hingga penanaman, dilakukan oleh kelompok masyarakat tanpa melibatkan pihak ketiga. Adapun target rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi prioritas hingga 2024 mencapai 600.000 hektar.
Guru Besar Oseanografi Universitas Diponegoro Denny Nugroho Sugianto mengatakan, prinsip rehabilitasi mangrove harus dimulai dengan mengetahui permasalahan dan kondisi umum lahan melalui survei. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik substrat, sistem pengairan atau hidrologi, struktur komunitas, hingga jenis bibit yang akan ditanam.
”Setelah kondisi umum, kemudian perlu diketahui prinsip penanaman, perbaikan hidrologi, pemberdayaan masyarakat pesisir, hingga aspek ekonomi. Jadi, kita perlu belajar bersama masyarakat dan rehabilitasi mangrove perlu dibangun dengan pendekatan alam,” ucapnya.
Menunjang G-20
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meyakini, mangrove akan membawa nama baik Indonesia dalam menunjang kepemimpinan pertemuan negara-negara G-20 tahun ini. Kawasan hutan mangrove Pemogan di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di Bali akan dipamerkan oleh Pemerintah Indonesia sekaligus menjadi lokasi yang akan dikunjungi para pemimpin negara dalam rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20.
Menurut Siti, keberhasilan pengelolaan mangrove di Tahura Ngurah Rai sekaligus akan memberikan gambaran komitmen pembangunan Indonesia dengan prinsip keseimbangan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pada akhirnya, berbagai manfaat ekologis hingga ekonomi akan dirasakan masyarakat apabila mangrove tetap terjaga.
”Tahura Ngurah Rai juga akan menjadi bukti komitmen kuat Indonesia dalam penangangan perubahan iklim. Komitmen ini ditunjukkan dari upaya restorasi dan rehabilitasi hutan mangrove serta lahan gambut atau lahan kritis lainnya,” ucapnya.
Siti menegaskan, ekosistem mangrove harus dikelola dan digunakan secara bijak serta berkelanjutan mengingat dampak yang ditimbulkan akan sangat luas jika terjadi kerusakan. Kebijakan pengelolaan mangrove yang dijalankan telah dimulai dari rehabilitasi, penyelamatan dengan pertimbangan kearifan lokal, peningkatan kerja sama, hingga penguatan dan penegakan hukum.
”Rehabilitasi mangrove tidak hanya sekadar menanam, tetapi juga memperhatikan bentang lanskap mangrove, yaitu sistem ekologi sosial. Rehabilitasi mangrove juga bisa didekati dari pemanfaatan penting lainnya, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca nasional,” katanya.
Sejumlah penelitian menunjukkan, hutan mangrove mampu menyerap emisi karbon sebesar empat sampai lima kali lebih besar dibandingkan hutan tropis daratan. Oleh karena itu, meski mangrove memiliki luas lebih kurang 2 persen dari total hutan di Indonesia, tetapi akan mampu menyimpan karbon sebesar 10 persen dari semua emisi.