Ekosistem Mangrove Seluas 25.000 Hektar Sedang Direhabilitasi
Hingga 10 Oktober 2021, proses penanaman bibit mangrove sebagai upaya rehabilitasi telah mencapai 25.097 hektar. Namun, secara eksisting, luasan yang sudah tertanam 11.660 hektar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem mangrove seluas 25.097 hektar di sembilan provinsi prioritas sedang dalam proses rehabilitasi atau penanaman bibit. Kegiatan ini menggunakan pendekatan pemulihan ekonomi nasional selama pandemi Covid-19 dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono menyampaikan, terdapat sekitar 210.000 hektar ekosistem mangrove dengan kondisi tutupan kurang dari 70 persen. Sebagian hutan mangrove di Indonesia juga sudah terdegradasi karena penggunaan tambak dan eksploitasi kayu untuk bahan utama pembuatan arang dan bahan bangunan.
”Tahun 2021, kami mendapatkan alokasi anggaran untuk percepatan rehabilitasi mangrove seluas 83.000 hektar (ha). Mengingat ini merupakan tahun pertama kami, maka kami memilih rehabilitasi di lokasi yang kemungkinan berhasilnya tinggi dan penerimaan masyarakatnya cukup kondusif,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Senin (11/10/2021).
Namun, rencana rehabilitasi mangrove oleh BRGM seluas 83.000 ha pada 2021 tersebut kembali dipangkas targetnya menjadi 33.000 ha. Hal ini dilakukan menyusul kebutuhan anggaran yang masih direalokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19. Sementara separuh dari target rehabilitasi pada 2021 akan dilaksanakan tahun 2022.
Bisa dikatakan bahwa PEN dalam rehabilitasi mangrove ini embrio dari DMPM yang akan dibentuk di lokasi-lokasi target.
BRGM mencatat, hingga 10 Oktober 2021 luas penanaman bibit mangrove mencapai 25.097 ha. Namun, secara eksisting, luasan yang sudah tertanam ialah 11.660 ha. Wilayah dengan progres rehabilitasi terluas ialah Riau (2.665 ha), Kalimantan Timur (2.561 ha), Bangka Belitung (1.638 ha), Sumatera Utara (1.585 ha), dan Papua (1.297 ha). Rehabilitasi tersebut melibatkan 22.612 warga masyarakat setempat.
Menurut Hartono, pelaksanaan rehabilitasi mangrove menggunakan pendekatan pemulihan ekonomi nasional (PEN) sehingga semua pekerjaan dilakukan masyarakat. BRGM tidak melibatkan pihak ketiga dalam pelaksanaan rehabilitasi ini. Upaya ini diharapkan bisa memperbaiki lingkungan sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove yang terdegradasi.
Pendekatan PEN dengan melibatkan masyarakat ini diakui Hartono sebagai konsep awal rancangan program rehabilitasi ke depan, yakni Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM). Konsep yang hampir menyerupai Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) ini diharapkan dapat diakomodasi lebih permanen dalam bentuk pengelolaan perhutanan sosial mangrove.
”DMPM akan dilakukan secara sistematis dengan jangka waktu bisa mencapai tiga tahun mulai dari sosialisasi, pemetaan desa, pembentukan kelompok, hingga pemetaan partisipatif. Jadi bisa dikatakan bahwa PEN dalam rehabilitasi mangrove ini embrio dari DMPM yang akan dibentuk di lokasi-lokasi target,” ucapnya.
Hartono menegaskan bahwa luas dan sebaran mangrove yang terdegradasi tidak selalu berhubungan dengan masyarakat di lokasi tersebut. Hal ini ditunjukkan dari kerusakan mangrove yang cukup luas di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Riau. Padahal, dari aspek kependudukan, masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut tidak terlalu banyak.
”Oleh karena itu, di samping perhutanan sosial, BRGM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga sedang meninjau regulasi tentang kemungkinan pengelolaan hutan mangrove yang dimulai dari rehabilitasi dalam bentuk kerja sama antara masyarakat dan swasta. Bahkan, kami sedang mengkaji kemungkinan rehabilitasi mangrove sebagai bentuk izin usaha jasa lingkungan,” tuturnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK Helmi Basalamah menambahkan, terdapat tiga hal utama dalam merehabilitasi mangrove, yakni mengelola aspek kawasan, kelembagaan, serta teknologi dan pendampingan. Merehabilitasi mangrove perlu memperhatikan aspek kawasan karena ekosistem mangrove memiliki tingkat keberagaman yang sangat tinggi dari Aceh hingga Papua. Setiap wilayah juga memiliki permasalahan degradasi yang berbeda.
Selain itu, aspek kelembagaan juga sangat penting mengingat rehabilitasi mangrove melibatkan banyak komponen dan kolaborasi sejumlah lembaga. Dengan mempelajari setiap lokasi, aspek kelembagaan ini nantinya dapat dikembangkan menjadi kelompok agrowisata.
”Terkait aspek teknis dan pendampingan, setiap lokasi memerlukan teknologi yang berbeda dan harus mengedepankan kearifan lokal. Pendampingan akan menjamin keberlangsungan rehabilitasi daerah aliran sungai sehingga diharapkankan tutupan mangrove dapat meningkat,” katanya.
Karbon biru
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan, rehabilitasi mangrove yang dilakukan BRGM, KLHK, dan kementerian/lembaga terkat lainnya dilakukan dengan pendekatan berbasis lanskap. Artinya, rehabilitasi tidak hanya berfokus menanam bibit, tetapi juga mengedepankan aspek lainnya, seperti fungsi hutan di mangrove, bangunan infrastruktur, dan dinamika sosial masyarakat.
Menurut Alue, tujuan besar yang ingin dicapai Indonesia terkait rehabilitasi mangrove ini ialah dalam rangka transformasi ekonomi hijau dan akan terus mengarah ke karbon biru yang lebih ramah lingkungan serta berkelanjutan. Hal ini penting mengingat Indonesia berkomitmen mengendalikan perubahan iklim global dan rehabilitasi mangrove diharapkan dapat mendukung penurunan emisi sesuai dokumen kontribusi nasional (NDC).
Potensi karbon biru Indonesia memang belum dimasukkan dalam NDC. Namun, kata Alue, ke depan potensi ini akan diintegrasika. Upaya yang dilakukan terlebih dahulu ialah memutakhirkan kondisi tutupan mangrove Indonesia, kemudian melakukan inventarisasi kandungan karbon, hingga menghitung faktor-faktor emisinya.