Plastik, Limbah, dan Alih Fungsi Lahan Masih Jadi Ancaman Mangrove
Meski ancaman kerusakan ekosistem mangrove semakin masif, sejumlah pihak dinilai belum terlalu fokus menyoroti isu ini. Media dan kajian yang kuat dibutuhkan untuk menyuarakan isu ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem mangrove di Indonesia masih mengalami ancaman mulai dari polusi plastik, tumpahan minyak, hingga alih fungsi lahan. Peran media sangat penting untuk terus menyuarakan kondisi ini agar ada perubahan yang signifikan dalam melindungi ekosistem mangrove, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengemukakan, salah satu ancaman utama yang dihadapi ekosistem mangrove di Indonesia ialah polusi plastik. Mangrove merupakan perangkap sempurna bagi plastik yang masuk ke laut dan sebaliknya.
”Polusi plastik yang sudah sangat masif akan menjadi perangkap yang mematikan bagi mangrove. Kondisi ini terjadi hampir di semua mangrove,” ujarnya dalam lokakarya tentang kejahatan lingkungan karbon biru secara daring, Selasa (6/9/2022).
Selama habitatnya belum intertidal, maka akan sulit mendapatkan ekosistem mangrove yang baik.
Ancaman lainnya yang dihadapi mangrove ialah tumpahan minyak yang beberapa kali terjadi di Indonesia, seperti di Teluk Balikpapan (Maret 2018), Karawang (Juli 2019), dan Kepulauan Seribu (Agustus 2020). Bahkan, tumpahan minyak ini tercatat terjadi setiap tahun di Kepulauan Riau.
Selain polusi plastik dan tumpahan minyak, ancaman lainnya terhadap ekosistem mangrove ialah alih fungsi lahan, khususnya untuk permukiman. Contoh alih fungsi lahan ini terjadi di sepanjang kawasan pesisir Pantai Utara Jawa, seperti di Tegal dan Pekalongan, Jawa Tengah.
”Kemudian ancaman alih fungsi lahan lainnya ialah untuk tambak. Pada 2006, percepatan pembukaan lahan atau alih fungsi mangrove menjadi tambak itu mencapai 300 kali lipat. Alih fungsi ini bahkan hanya meninggalkan sedikit sisa mangrove,” ujarnya.
Alih fungsi lahan ini tidak hanya untuk permukiman dan tambak, tetapi juga program pembangunan berskala besar dari pemerintah khususnya infrastruktur pelabuhan, jalan, bandara, dan industri. Bila dilihat lokasinya, kawasan ekonomi khusus (KEK) juga sebagian besar berlokasi di kawasan pesisir.
Menurut Afdillah, semua ancaman tersebut telah membuat kerusakan yang masif terhadap lingkungan di kawasan pesisir Indonesia. Berbagai aktivitas manusia juga berdampak pada keberlanjutan ekosistem padang lamun dan terumbu karang.
Di sisi lain, kerusakan ekosistem mangrove membuat masyarakat pesisir, seperti nelayan dan masyarakat adat, terancam kehilangan sumber kehidupan dan penghidupan. Pada akhirnya, hal ini akan menghilangkan potensi karbon biru sebagai solusi krisis iklim dan meningkatkan bencana ekologi.
Meski ancaman kerusakan ekosistem mangrove semakin masif, Afdillah memandang bahwa sejumlah pihak belum terlalu fokus menyoroti isu ini, termasuk media. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan media dan jurnalisme investigasi serta kajian yang kuat untuk menyuarakan isu ini sehingga dapat membuat perubahan yang signifikan.
”Kami berharap pihak media menjadikan isu lingkungan ini menjadi agenda setting atau prioritas dan bukan menjadi agenda sampingan. Kolaborasi antarmedia ternyata juga sangat efektif karena informasi yang disampaikan secara bersamaan akan membangun perspektif masyarakat sehingga desakan ke pihak terkait bisa lebih besar,” ucapnya.
Upaya rehabilitasi
Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi, mengatakan, upaya rehabilitasi mangrove yang baik harus dikembalikan kepada aspek habitatnya yang intertidal. Zona intertidal merupakan area yang berada di sepanjang garis pantai dan dipengaruhi oleh periode pasang surut air laut.
”Selama habitatnya belum intertidal, maka akan sulit mendapatkan ekosistem mangrove yang baik,” katanya.
Rudhi menegaskan, selain keberadaannya yang realtif terancam, mangrove perlu dilindungi karena ekosistem ini memiliki adaptasi morfologi dan fisiologi yang spesifik. Artinya, adaptasi mangrove ini tidak dimiliki oleh ekosistem lainnya. Selain itu, multifungsi mangrove juga tidak dapat tergantikan oleh ekosistem lainnya.
Sejumlah hasil penelitian telah membuktikan fungsi ekologis mangrove, antara lain sebagai produktivitas primer atau melakukan fotosintesis, tempat mencari makan dan memijah, penghasil unsur hara, serta penangkap bahan pencemar. Bahkan, mangrove juga telah terbukti berfungsi sebagai perangkap karbon sehingga mendukung upaya penanganan perubahan iklim.