Jalan Pulang dan Rekonsiliasi Bekas Narapidana Terorisme
Kisah hidup Hadi Masykur, bekas anggota organisasi teroris Jamaah Islamiyah, diangkat ke dalam film dokumenter berjudul ”Kembali ke Titik”. Film ini berupaya mempromosikan pendekatan baru dalam penanganan terorisme.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Setelah hidup berpindah-pindah untuk menghindari penangkapan oleh aparat, Hadi Masykur, bekas anggota organisasi teroris Jamaah Islamiyah atau JI, mendapat kabar bahwa ibunya sakit. Kabar itulah yang menjadi titik balik sikap Hadi menuju deradikalisasi.
Kisah hidup Hadi Masykur diangkat ke dalam film dokumenter berjudul Kembali ke Titik. Berkisah tentang deradikalisasi yang dialami Hadi, film ini berupaya mempromosikan pendekatan baru dalam penanganan terorisme di Indonesia.
Pada tahun 2008, JI memiliki amir atau pemimpin baru, yakni Para Wijayanto. Dia diangkat sebagai amir setelah organisasi JI hampir hancur karena banyak anggotanya ditangkap di Poso, Sulawesi Tengah.
Di bawah kepemimpinan Para Wijayanto, JI kemudian mengubah strategi. Organisasi itu tak lagi berfokus melakukan aksi kekerasan, tetapi fokus pada kegiatan dakwah, rekrutmen anggota baru, dan pendidikan. Organisasi JI di bawah kepemimpinan Para Wijayanto itu kemudian kerap disebut dengan istilah Neo-JI.
Hadi Masykur, yang bergabung dengan JI sejak tahun 1999, memegang peranan penting dalam organisasi Neo-JI karena dia merupakan sekretaris Para Wijayanto. Hadi juga kerap mendampingi Para Wijayanto saat menggelar rapat dengan para pengurus JI. Oleh karena itu, Hadi memegang data penting mengenai JI, termasuk data para anggota organisasi tersebut.
Meski lebih dari 20 tahun menjadi anggota organisasi teroris, Hadi akhirnya menjalani proses deradikalisasi. Kini, pria asal Semarang, Jawa Tengah, itu bahkan ikut mengampanyekan proses deradikalisasi untuk menangani masalah terorisme di Indonesia.
Kisah hidup Hadi itu kemudian diangkat dalam film dokumenter berjudul Kembali ke Titik. Film yang diproduksi Kreasi Prasasti Perdamaian itu disutradarai Ridho Dwi Ristiyanto. Pada Jumat (7/4/2023), film tersebut ditayangkan secara terbatas di Yogyakarta.
Dalam film berdurasi 19 menit itu, dikisahkan perjalanan hidup Hadi sebagai anggota JI hingga akhirnya mengalami deradikalisasi. Setelah penangkapan anggota JI beberapa tahun lalu, Hadi diperintahkan oleh Para Wijayanto untuk melarikan diri. Hal ini karena Hadi menyimpan data penting JI.
Selama beberapa bulan, Hadi hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menghindari penangkapan oleh aparat. Di tengah pelarian itu, dia mendapat kabar bahwa ibunya sakit. Kabar itulah yang menjadi titik balik sikap Hadi.
”Saya pergi berpindah-pindah selama beberapa bulan, kemudian saya mendapat informasi dari istri bahwa ibu sakit. Saat itulah ego yang ada pada diri saya runtuh,” tutur Hadi dalam film Kembali ke Titik.
Hadi kemudian memberanikan melanggar aturan organisasi dengan pulang ke rumah untuk menemui ibunya. Dia merasa bertanggung jawab untuk merawat sang ibu karena Hadi merupakan anak tunggal dan sang ayah telah meninggal.
Sesudah itu, Hadi memutuskan berhenti melarikan diri dan kembali tinggal bersama keluarganya agar bisa merawat dan menemani sang ibu. Saat mengambil keputusan itu, dia telah menyadari bahwa perjuangan melalui JI bukanlah satu-satunya jalan menuju ke surga.
”Di satu sisi saya ingat bahwa ridanya Allah itu di bawah keridaan orangtua. Meskipun jihad fisabilillah itu merupakan asma amanina, setinggi-tingginya cita-cita kita sebagai seorang Muslim, tetapi kan tidak sesimpel itu dan itu bukan satu-satunya jalan untuk mengantarkan kita ke surga,” ungkap Hadi yang kini berusia 45 tahun.
Keputusan untuk berhenti melarikan diri itu tentu berisiko membuat Hadi tertangkap aparat. Apalagi, sejak tahun 2008, pengadilan telah menyatakan JI sebagai korporasi terlarang. Pada Mei 2020, Hadi akhirnya benar-benar ditangkap lalu dijatuhi hukuman penjara selama 3,5 tahun. Dia kemudian menjalani pembebasan bersyarat pada September 2022.
Kini, Hadi hidup tenang bersama keluarganya, termasuk sang istri yang bernama Siti Djuwariyah atau biasa dipanggil Titik. Oleh karena itu, film Kembali ke Titik tak hanya menggambarkan proses Hadi kembali ke titik baru kehidupannya, tetapi juga perjalanannya kembali ke pangkuan keluarga. Film ini juga menjadi pengingat bahwa keluarga memiliki peran yang sangat vital dalam proses deradikalisasi bekas narapidana terorisme.
Rekonsiliasi
Produser film Kembali ke Titik, Noor Huda Ismail, mengatakan, film tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mempromosikan pendekatan baru dalam penanganan terorisme. Pendekatan baru itu dibutuhkan karena masih banyak anggota kelompok teroris yang belum ditangkap dan belum menjalani deradikalisasi.
Huda menyebut, setelah Para Wijayanto menjadi amir JI, organisasi tersebut berkembang pesat. Berdasarkan wawancara dengan Para Wijayanto, Huda menuturkan, pada tahun 2008, uang tunai yang dimiliki organisasi tersebut hanya Rp 2,5 juta. Saat itu, jumlah anggota JI juga tinggal puluhan orang.
Namun, saat Para Wijayanto ditangkap pada tahun 2019, JI memiliki anggaran tahunan Rp 14 miliar hingga Rp 18 miliar. Selain itu, jumlah anggota JI juga bertambah hingga menjadi 6.000-7.000 orang. ”Jadi, ada lonjakan yang dahsyat banget,” ujar Huda yang merupakan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian.
Di sisi lain, berdasarkan wawancara Huda dengan seorang tokoh JI, jumlah anggota organisasi itu yang telah tertangkap baru sekitar 400 orang. ”Lalu sekarang solusinya bagaimana? Apa mau ditangkapi semua?” tuturnya.
Oleh karena itu, Huda berpendapat, perlu ada cara baru untuk menangani terorisme selain dengan penegakan hukum. Cara baru yang diusulkan Huda itu adalah rekonsiliasi. Melalui proses rekonsiliasi itu, para anggota organisasi teroris diharapkan bisa kembali menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Saya mendorong perlu ada rekonsiliasi. Ini pendekatan baru untuk mendorong agar orang-orang JI yang belum tertangkap itu untuk bisa menjadi bagian dari NKRI,” ungkap Huda.
Untuk mendorong rekonsiliasi itu, Huda menyebut, perlu ada penyebarluasan narasi dari bekas narapidana terorisme yang telah menjalani deradikalisasi. Para bekas narapidana terorisme itu diharapkan bisa mengajak bekas rekan-rekannya di organisasi teroris untuk kembali menjadi bagian dari NKRI.
Jumlah anggota JI juga bertambah hingga menjadi 6.000-7.000 orang.
Bekas narapidana terorisme itu juga diharapkan bisa menjadi credible voice atau suara yang kredibel untuk mengingatkan berbagai pihak, termasuk generasi muda, agar tidak bergabung dalam kelompok teroris. Penyebarluasan narasi itulah yang kemudian dilakukan melalui produksi film dokumenter dan sejumlah cara lain.
Hadi Masykur mengatakan, dirinya setuju terlibat dalam pembuatan film dokumenter tersebut karena ingin membantu teman-temannya di JI untuk melakukan rekonsiliasi. Dengan rekonsiliasi, para anggota JI diharapkan bersedia menjalani proses deradikalisasi dan kembali menjadi bagian dari NKRI tanpa harus melalui jalur hukum.
”Saya ingin sebisa mungkin membantu teman-teman saya bagaimana mereka bisa menyelesaikan urusan ini dan tidak harus semuanya melalui jalur pengadilan atau masuk penjara dulu,” ungkap Hadi di sela-sela pemutaran Kembali ke Titik di Yogyakarta.