Kasus Perdagangan Orang Kembali Terjadi di NTB, Polisi Tangkap Enam Pelaku
Polda NTB menangkap enam pelaku tindak pidana perdagangan orang. Sebanyak delapan perempuan asal Pulau Lombok dan Sumbawa menjadi korban.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO masih terus terjadi di Nusa Tenggara Barat. Pada Maret ini, Kepolisian Daerah NTB menangkap enam orang yang terlibat dalam dua kasus TPPO. Sebanyak delapan perempuan asal Pulau Lombok dan Sumbawa menjadi korban dalam dua kasus itu.
Kapolda NTB Inspektur Jenderal Djoko Poerwanto mengatakan, pengungkapan kasus ini bermula saat Atase Kepolisian Kedutaan Besar Republik Indonesia-Ankara mengantar jenazah seorang warga Lombok Barat yang menjadi korban gempa bumi Turki pada 23 Februari lalu.
Saat itu, kata Djoko, Atase Kepolisian KBRI-Ankara juga menyerahkan delapan orang yang diduga menjadi korban TPPO. Setelah serah terima, polisi kemudian melakukan tindak lanjut. Delapan korban itu kemudian diketahui merupakan korban TPPO dari dua kasus berbeda.
”Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB kemudian mencoba mengungkap kasus ini,” kata Djoko dalam konferensi pers di Mataram, Kamis (30/3/2023).
Sekitar dua minggu kemudian, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB berhasil menangkap empat pelaku TPPO dari kasus pertama dan dua pelaku dari kasus kedua.
Tersangka kasus pertama adalah AW (49), CR (50), dan HI (50) selaku pekerja lapangan yang merekrut korban, serta YH (43) sebagai sponsor atau agen lokal yang mengirim korban ke Jakarta.
Pengungkapan kasus ini bermula saat Atase Kepolisian Kedutaan Besar Republik Indonesia-Ankara mengantar jenazah seorang warga Lombok Barat yang menjadi korban gempa bumi Turki
Dari kasus pertama, ada lima korban, yakni EF, RW, JM, dan NA, yang berasal dari Sumbawa, serta AR asal Sumbawa Barat.
Sementara itu, tersangka dari kasus kedua adalah IZ (51), selaku pekerja lapangan, dan MS (49) sebagai sponsor lokal. Ada tiga korban dalam kasus ini, yakni JM dan SH asal Lombok Tengah serta SR asal Sumbawa.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, delapan korban dugaan TPPO itu awalnya dijanjikan bekerja di luar negeri. Mereka diiming-imingi menjadi pekerja rumah tangga di Turki dengan gaji besar.
”Namun, mereka diduga diperdagangkan melalui Istanbul. Dari Istanbul, mereka dibawa melalui jalan darat menuju Irak,” kata Judha dalam konferensi pers bersama Polda NTB.
Pada 3 Februari 2023, kata Judha, KBRI Ankara mendapat laporan dari salah satu korban bahwa mereka sudah berada di kota Cizre, perbatasan antara Turki, Irak, dan Suriah. Kota tersebut berjarak sekitar 1.500 kilometer dari Istanbul.
”Berdasarkan laporan itu, KBRI Ankara berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Kemudian malam harinya dilakukan penyelamatan. Selanjutnya, mereka dibawa ke Ankara untuk dilindungi dan akhirnya bisa kita pulangkan ke Tanah Air,” kata Judha.
Tersangka lain
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Teddy Rustiawan menambahkan, polisi masih memburu dua pelaku lain, yakni IS dan SPD. IS yang sudah masuk daftar pencarian orang (DPO) berperan sebagai penampung dan pengirim korban dari dua kasus tersebut.
Sementara SPD yang diketahui berada di Turki berperan sebagai agen. SPD aktif berkomunikasi dengan para tersangka yang telah ditangkap untuk merekrut tenaga kerja yang akan dikirim. ”Kami sudah berkoordinasi dengan KBRI dan Kementerian Luar Negeri melihat data SPD,” kata Teddy.
Menurut Teddy, dari delapan korban TPPO itu, enam korban diberangkatkan secara bertahap pada pertengahan Desember 2022. Begitu sampai di Jakarta, mereka dipindahkan ke penampungan di Purwakarta, Jawa Barat. Mereka tidak memiliki paspor sehingga dibantu pembuatannya oleh IS di Cilegon, Banten.
Setelah tiga minggu di penampungan, pada 7 Januari 2023, enam korban diberangkatkan ke Dubai menggunakan pesawat. Adapun dua korban lain berangkat kemudian karena sudah memiliki paspor. Dari Dubai, mereka menuju ke Istanbul dengan pesawat dan melanjutkan perjalan darat ke Cizre, lalu tinggal di penampungan.
YH (43), salah satu tersangka, mengatakan, untuk satu korban, mereka mendapat modal Rp 19 juta. Sebagai agen lokal, YH mengaku mendapat bagian sebesar Rp 3 juta dan sisanya untuk operasional, uang saku untuk calon pekerja migran, serta tiket pesawat Mataram-Jakarta.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 10 dan Pasal 11 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 81 juncto Pasal 60 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Mereka terancam hukuman pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.