Perdagangan orang terus terjadi pada masa pandemi Covid-19. Namun, perlindungan bagi korban hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah. Bukannya dilindungi, korban malah sering dikriminalisasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang masih lemah. Bahkan, mereka justru mengalami kriminalisasi dengan berbagai alasan, mulai dari melakukan pekerjaan ilegal hingga pemalsuan dokumen. Hal itu disebabkan ketidakpahaman sejumlah pihak, termasuk aparat penegak hukum.
Padahal, prinsip bahwa korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tidak dapat dihukum, diatur dalam Pasal 14 Ayat (7) Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak atau ASEAN Convention Against Trafficking In Persons, Especially Women And Children, 2015.
”Prinsip ini menyatakan korban TPPO seharusnya tidak bisa dihukum atau dikenai sanksi lainnya atas pelanggaran yang dia lakukan akibat menjadi orang yang diperdagangkan yakni korban TPPO, atau akibat paksaan oleh pelaku perdagangan orang kepadanya,” kata Antonius PS Wibowo, anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di Jakarta, Jumat (27/8/2021).
Di Indonesia, masalah korban TPPO tidak bisa dihukum, diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Pasal 18 UU No 21/2007 menyatakan bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak dipidana.
Prinsip ini menyatakan korban TPPO seharusnya tidak bisa dihukum atau dikenai sanksi lainnya atas pelanggaran yang dia lakukan akibat menjadi orang yang diperdagangkan, yakni korban TPPO.
Penjelasan Pasal 18 menyebutkan, kondisi ”dipaksa” dalam ketentuan tersebut ialah keadaan di mana seseorang atau korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.
Bahkan, menurut Antonius, ketentuan dalam Pasal 18 UU No 21/2007 dan Pasal 14 Ayat (7) Konvensi ASEAN menentang perdagangan orang, terutama perempuan dan anak. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
”Pasal ini menentukan bahwa saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik,” tegas Antonius.
Sosialisasi
Karena itu, sosialisasi mengenai larangan korban TPPO dikriminalisasi diharapkan akan mengingatkan semua pihak tentang pentingnya perlindungan korban TPPO. ”Ketentuan ini perlu disebarluaskan di antara aparat penegak hukum, masyarakat sipil, dan korban agar tahu haknya untuk bebas dari kriminalisasi dan melakukan perlawanan berdasarkan pasal non-punishment tersebut,” kata Antonius.
Analis Keimigrasian Ahli Utama pada Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Ronny F Sompie, sependapat korban tidak bisa dipidana. Perlindungan korban TPPO juga diatur dalam Pasal 86 UU No 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian yang menyebutkan, ketentuan tindakan administratif keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia.
”UU Keimigrasian juga mengatur upaya preventif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 89 Ayat (3), yakni memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat bahwa perbuatan perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia merupakan tindak pidana agar orang tidak menjadi korban,” kata Ronny.
Sebaliknya, pelaku harus tetap dihukum kendati ada persetujuan korban. ”Pasal 26 UU No 21 Tahun 2007 mengatur bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang,” kata Ronny.
Pasal 27 UU Pemberantasan TPPO tersebut juga menjelaskan pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.
Auktor intelektual harus dijerat
Gabriel Goa, Direktur Advokasi Parinama Astha (ParTha), mengemukakan, korban TPPO tidak hanya dieksploitasi, tetapi juga mengalami kekerasan fisik dan psikis hingga merenggut nyawa. Selain itu, pihak aktor intelektual berkolusi dengan oknum aparat penegak hukum untuk lolos dari jeratan hukum TPPO.
Penegakan hukum TPPO faktanya menajam ke bawah pada perekrut lapangan, sopir atau kerabat sendiri dan menumpul ke atas, yakni auktor intelektualis. Sudah saatnya ada terobosan hukum untuk menjerat auktor intelektualis melalui Peraturan Presiden tentang Justice Collaborator TPPO melalui peran aktif dari LPSK,” kata Gabriel.
Terkait, peluang dan tantangan penerapan prinsip tidak boleh ada penghukuman bagi korban TPPO, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja sama dengan ASEAN-ACT (ASEAN- Australia Counter Trafficking) menyelenggarakan Experts Rountable Consultation (E-RTC) pada Rabu, 25 Agustus 2021.
Pada acara yang juga dihadiri para wakil ketua LPSK lainnya, Achmadi, Livia Iskandar, dan Susilaningtias, Marika Mc Adam (International Consultant for ASEAN-ACT) memaparkan pelaksanaan prinsip nonhukuman kepada korban perdagangan orang di negara anggota ASEAN.
Susilaningtias menyampaikan beberapa pengalaman melindungi korban TPPO dengan menerapkan pasal-pasal di atas, dengan mencontohkan perkara TPPO di Pulau Batam. Awalnya, beberapa korban hendak dituntut dengan pasal tentang pemalsuan dokumen. Namun, setelah LPSK turun bersama rohaniawan dan organisasi internasional menangani perkara tersebut, korban akhirnya dilepaskan dari tuntutan pemalsuan dokumen.
Melalui E-RTC, diharapkan pemangku kebijakan, termasuk aparat penegak hukum (APH), semakin memahami prinsip itu dan mengimplementasikannya dalam praktik penegakan hukum sehingga korban TPPO diperlakukan sebagai korban kejahatan, yang mestinya diperlakukan secara fair trial dan mendapatkan hak-haknya sebagai korban TPPO.