Perang Sarung Marak di Jateng, Puluhan Remaja Ditangkap
Fenomena perang sarung yang melibatkan remaja marak terjadi di sejumlah wilayah Jawa Tengah. Beberapa hari terakhir, puluhan remaja di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas ditangkap polisi karena terlibat perang sarung.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
WONOSOBO, KOMPAS — Fenomena perang sarung yang melibatkan remaja marak terjadi di sejumlah wilayah Jawa Tengah. Selama beberapa hari terakhir puluhan remaja di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas ditangkap polisi karena terlibat dalam perkelahian menggunakan sarung sebagai senjata itu.
Pada Jumat (24/3/2023) hingga Sabtu (25/3/2023) malam, Kepolisian Resor (Polres) Wonosobo menangkap 29 remaja yang terlibat dalam perang sarung. Dari 29 orang itu, sebanyak 11 remaja ditangkap di Jembatan Siantap, 9 remaja ditangkap di Kecamatan Kertek, dan 9 remaja lain diringkus di Kecamatan Kejajar.
”Menurut keterangan para pelaku, sebelumnya mereka sudah janjian bertemu dengan lawannya melalui aplikasi Whatsapp,” tutur Kepala Kepolisian Resor Wonosobo Ajun Komisaris Besar Eko Novan dalam keterangan tertulis, Minggu (26/3/2023) malam.
Eko memaparkan, pada Jumat sekitar pukul 22.00 WIB, terjadi perang sarung yang melibatkan dua kubu di Jembatan Siantap. Tiap kubu tersebut terdiri dari sekitar 20 remaja.
Dalam peristiwa perang sarung di Jembatan Siantap, polisi mendapat laporan adanya satu korban yang dirawat di rumah sakit karena terkena sabetan sarung di bagian mata.
Sementara itu, pada Sabtu Tim Patroli Polsek Kertek menangkap sembilan remaja yang melakukan perang sarung di Desa Karangluhur, Kecamatan Kertek. ”Saat melakukan patroli, personel Polsek Kertek menemukan 40 remaja yang berkumpul dan diduga akan melakukan perang sarung,” kata Eko.
Di Kecamatan Kejajar, lanjut Eko, Polsek Kejajar juga menangkap sembilan remaja yang diduga akan melakukan hal serupa. ”Seluruh remaja yang kami amankan sudah dibawa ke polsek beserta barang bukti untuk dilakukan pembinaan,” ujarnya.
Para remaja yang terlibat dalam perang sarung itu masih duduk di bangku SMP dan SMA. Usia para pelaku juga beragam, dari 14 tahun hingga 19 tahun. Para remaja itu lalu diberi pembinaan di kantor polisi.
Eko mengatakan, fenomena perang sarung tidak hanya menimbulkan keresahan masyarakat, tetapi juga bisa menimbulkan korban. Oleh karena itu, Eko meminta jajaran kepolisian di Wonosobo untuk mengantisipasi potensi terjadinya perang sarung.
Polres Wonosobo akan terus menggelar patroli pada malam hari hingga menjelang sahur di wilayah yang dianggap rawan. Selain itu, Polres Wonosobo juga memberikan imbauan melalui media sosial secara massif untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi.
”Kami imbau kepada para orangtua agar mengawasi anak-anak agar tidak melakukan tindakan serupa,” ungkap Eko.
Sementara itu, Kepolisian Sektor Kembaran, Banyumas, menangkap delapan remaja karena hendak melakukan perang sarung pada Minggu (26/3/2023) pagi. Sejumlah remaja itu berasal dari Kelurahan Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat; Kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur; Desa Tambaksari Kidul, Kecamatan Kembaran; dan Desa Ledug, Kecamatan Kembaran.
Kepala Kepolisian Sektor Kembaran Ajun Komisaris Beny Timor Prasetyo menyampaikan, saat petugas ke lokasi kejadian, terdapat sekelompok remaja yang sedang mencari lawan untuk diajak perang sarung. Para remaja itu sudah mempersiapkan sarung yang sudah diikat ujungnya.
”Modusnya adalah para pelaku mencari lawan antardesa untuk diajak perang sarung dengan peraturan sarung tidak boleh diisi dengan batu. Setelah berhadap-hadapan, sepakat hitungan ketiga baru dimulai perang sarung,” kata Beny.
Beny memaparkan, para remaja tersebut yang akan melakukan perang sarung itu berusia antara 16-19 tahun. Para remaja tersebut kemudian dibawa ke kantor polisi untuk diberikan pembinaan. Mereka juga diminta membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya.
”Kami langsung bawa ke Mapolsek Kembaran untuk dilakukan pembinaan, pendataan, serta pemanggilan orangtua masing-masing. Mereka juga membuat perjanjian agar tidak lagi mengulangi perbuatannya,” papar Beny.
Fenomena perang sarung tidak hanya menimbulkan keresahan masyarakat, tetapi juga bisa menimbulkan korban.
Dari kejadian tersebut, Beny menambahkan, polisi akan meningkatkan patroli di tempat yang sering menjadi titik kumpul para remaja. Polisi juga mengimbau kepada masyarakat untuk lebih mengawasi anak-anaknya.
”Untuk mencegah kejadian berulang, kami mengimbau para kepala desa di Kecamatan Kembaran untuk menggalakkan ronda kembali selepas subuh, ikut menjaga ketertiban wilayah desa masing-masing, dan memberitahukan kepada warganya untuk lebih mengawasi anak anak dalam pergaulan terutama selepas shalat Subuh,” paparnya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, mengatakan, perang sarung merupakan istilah untuk menyebut tawuran yang menggunakan sarung sebagai senjata. Sarung itu biasanya diikat di bagian ujung dan terkadang diisi dengan batu, gir, atau benda keras lain agar bisa melukai lawannya.
Menurut Ugung, perang sarung sering muncul pada bulan Ramadhan. Para remaja yang terlibat perang sarung biasanya sudah menyepakati waktu dan tempat untuk melakukan aktivitas tersebut.
”Biasanya dipicu oleh saling balas atau tantangan di media sosial. Pemilihan waktunya biasanya di pagi hari setelah sahur atau di malam hari setelah shalat Tarawih,” katanya.
Ugung memaparkan, perang sarung atau tarung sarung sebenarnya merupakan tradisi suku Bugis. Namun, dalam tradisi suku Bugis pada tahun 1970-an, tarung sarung digunakan untuk perkelahian satu lawan satu.
”Jadi, fenomena perang sarung sekarang itu beda dengan yang dulu. Saat ini, perang sarung itu sama dengan tawuran yang memakai benda tajam dan benda tumpul sebagai senjata” paparnya.