Agar Warga Kota Delta Tak ”Menua” di Jalanan
Aktivitas warga yang kembali bergeliat seiring meredanya pandemi Covid-19 memicu peningkatan volume kendaraan di Sidoarjo, Jawa Timur. Kemacetan lalu lintas pun semakin parah sehingga warga Kota Delta menua di jalanan.
Aktivitas warga yang kembali bergeliat seiring meredanya pandemi Covid-19 memicu peningkatan volume kendaraan di berbagai ruas jalan di Sidoarjo, Jawa Timur. Kemacetan lalu lintas pun semakin parah sehingga warga ”Kota Delta” harus menghabiskan lebih banyak waktunya di jalanan.
Salah satu simpul kemacetan terparah adalah bundaran Aloha yang berada di Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan. Kawasan yang berada di jalan nasional tersebut sangat strategis karena menghubungkan Surabaya dengan Sidoarjo, Surabaya dengan Bandara Juanda, Sidoarjo dengan Bandara Juanda, serta Bandara Juanda dengan Terminal Purabaya, terminal bus terbesar di Jatim.
Berdasarkan data Pemkab Sidoarjo, terdapat sekitar 2 juta orang yang setiap hari melakukan perjalanan Sidoarjo-Surabaya. Selain melewati jalan nasional di Aloha, mereka juga bisa mengakses Jalan Tol Sidoarjo-Surabaya. Namun, jumlah pengakses tol terbilang masih sedikit karena biayanya lebih besar. Selain bayar tarif tol, pengeluaran biaya bahan bakar minyak (BBM) juga lebih tinggi karena jaraknya lebih jauh.
Di sisi lain, beban lalu lintas di bundaran Aloha kian berat karena menjadi akses para pengguna moda transportasi udara dari dan menuju Bandara Juanda Surabaya. Dari sisi jumlah penumpang dan pergerakan pesawat, Juanda merupakan bandara terbesar kedua di Indonesia setelah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Rata-rata penumpang harian sebanyak 35.000-40.000 orang.
Baca juga : Kombinasi Kebijakan Untuk Mengurai Kemacetan Ibu Kota
”Macet di Aloha sudah seperti hantu yang menakuti pengendara setiap hari karena ekor kemacetannya bisa lebih dari 1 kilometer (km) sampai ke perempatan Gedangan, bahkan kerap sampai daerah Buduran. Kalau sudah begitu, pasti terlambat sampai di tempat kerja,” kata Hardianto (34), karyawan swasta yang tinggal di Sidoarjo dan bekerja di Surabaya, Senin (27/3/2023).
Keluhan serupa juga disampaikan Yusuf (47), warga Desa Gedangan. Karyawan swasta ini bercerita, saat macet parah, butuh waktu 1,5 jam hanya untuk menempuh perjalanan sejauh 8 km. Hal itu membuatnya lelah dan merasa kurang produktif karena waktunya banyak terbuang di jalanan.
”Saya akhirnya memutuskan pindah rumah ke Kecamatan Waru yang berbatasan langsung dengan Surabaya karena tidak tahan dengan kemacetan yang dipicu persimpangan di bundaran Aloha. Rumah di Gedangan sekarang saya sewakan,” ucap Yusuf.
Macet di Aloha sudah seperti hantu yang menakuti pengendara setiap hari karena ekor kemacetannya bisa lebih dari 1 kilometer (km) sampai ke perempatan Gedangan, bahkan kerap sampai daerah Buduran.
Dia menambahkan, tidak banyak pilihan jalan alternatif bagi pengendara saat terjadi kemacetan panjang di ruas jalan nasional Sidoarjo. Hal itu karena kondisi jalan-jalan di perkampungan mayoritas juga padat akibat dilalui pengendara motor dan mobil pribadi yang ingin menghindari kemacetan di jalan nasional.
Untuk mengurai simpul kemacetan di bundaran Aloha, Pemprov Jatim mengusulkan pembangunan jalan layang atau flyover. Usulan itu masuk Perpres 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Kawasan Bromo Tengger Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.
Baca juga : Kemacetan Di Jakarta Yang Kian Sulit Dihindari
Proyek pembangunan jalan layang atau flyover Aloha di Sidorajo dilaksanakan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Jatim Bali. Adapun kontrak pembangunannya ditandatangani pada 15 November 2022 lalu dengan pola multiyears contract (MYC).
Jalan yang anggaran pembangunannya bersumber dari APBN ini akan memiliki total panjang jembatan 858 meter dengan rincian panjang FO-A (Sidoarjo-Juanda) 435 meter, serta panjang FO-B (Juanda-Surabaya) 423 meter. Sementara itu lebar jembatan 9 meter dan lebar jalan 7 meter.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di berbagai kesempatan mengatakan, tujuan pembangunan infrastruktur ini adalah untuk memperlancar arus lalu lintas dari dan menuju Bandara Internasional Juanda Sidoarjo. Selain itu, meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Meski demikian, untuk merealisasikan proyek jalan layang itu Pemprov Jatim tak bisa bekerja sendiri. Setidaknya dibutuhkan dukungan Pemkab Sidoarjo untuk menyediakan lahan. Dalam upaya penyediaan lahan itulah, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali memimpin langsung pembongkaran delapan tempat usaha di bundaran Aloha, Selasa (21/3/2023).
Pembongkaran lapak ditempuh dengan mengerahkan puluhan petugas Satuan Polisi Pamong Praja Sidoarjo dan aparat kepolisian serta TNI. Selain itu, diterjunkan pula sejumlah alat berat guna mempercepat pekerjaan pembongkaran bangunan.
Ahmad Muhdlor mengatakan, sebelumnya Pemkab Sidoarjo merobohkan 50 tempat usaha di lokasi yang sama. Total hingga saat ini sudah 58 tempat usaha yang dirobohkan sehingga tersisa satu tempat usaha yang belum dibongkar. Namun, pemilik tempat usaha itu sudah berkomitmen membongkar sendiri bangunannya.
”Pembongkaran puluhan tempat usaha di bundaran Aloha ini merupakan bagian dari upaya penyediaan lahan untuk pembangunan jalan layang (flyover) Aloha. Hingga saat ini lahan yang disediakan pemda telah mencapai 100 persen dari kebutuhan,” ujar Muhdlor.
Dia mengklaim terus memantau progres pembangunan flyover Aloha yang ditargetkan tuntas pada April 2024. Selain telah menuntaskan pembebasan lahan, Pemkab Sidoarjo juga sudah menyelesaikan pekerjaan pelebaran jalan di sisi barat flyover Aloha dengan lebar 6 meter. Pelebaran tersebut diyakini bakal mendukung kelancaran pembangunan jalan layang.
”Perluasan jalan 6 meter ini akan mengurangi intensitas kemacetan di Aloha saat pengerjaan proyek jalan layang maupun setelah pekerjaan selesai,” kata Muhdlor.
Putra KH Ali Masyuri itu menambahkan, saat bersamaan Pemkab Sidoarjo berupaya menyelesaikan pembangunan frontage road atau jalan paralel yang berada di sisi timur jalan nasional. Jalan sepanjang 9,2 kilometer tersebut diharapkan bisa mengurangi beban jalan nasional Surabaya-Sidoarjo yang kemacetannya semakin hari semakin parah.
Muhdlor menjelaskan, selain Aloha, titik-titik krusial kemacetan lalu lintas di Sidoarjo juga tersebar di Jalan Jenderal S Parman Waru atau di depan Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru. Penyebabnya adalah mobilitas kendaraan yang akan putar balik. Terkait hal itu, pihaknya berencana melebarkan jalan tersebut hingga 7 meter.
”Kami sudah on progress untuk tukar guling tanah antara pemda dengan RS Mitra Keluarga. Direncanakan tanah selebar 7 meter di depan rumah sakit bisa dibuatkan pulau jalan sehingga putar balik ini tidak akan memakan jatah jalan kendaraan dari Surabaya menuju Sidoarjo,” ucap Muhdlor.
Masih dalam upaya mengurai simpul kemacetan di Kota Delta, julukan Sidoarjo karena berada di delta Sungai Brantas, direncanakan ada konsep jalan bawah tanah atau underpass di tengah kota. Lokasinya di depan Gelora Delta Sidoarjo atau GOR. Saat ini masih proses perhitungan kebutuhan anggaran karena tahun 2024 terdapat pesta demokrasi rakyat yang memerlukan biaya besar.
”Di GOR akan dibangun underpass dari timur menuju barat atau sebaliknya. Kalau ini tuntas, kemacetan di daerah tengah bakal teratasi sehingga tinggal tersisa kemacetan di daerah utara, yakni perempatan Gedangan. Namun, hal itu tunggu dulu karena anggaran pembebasan lahan cukup berat bagi kekuatan fiskal Sidoarjo,” papar alumnus Universitas Airlangga Surabaya tersebut.
Titik krusial kemacetan lalu lintas yang juga kerap dikeluhkan warga Sidoarjo adalah di Jalan Raya Kletek Taman serta Simpang Lima Krian. Terkait hal itu, Pemkab Sidoarjo berjanji menyelesaikannya secara bertahap. Ditargetkan satu per satu ruas jalan yang menjadi simpul kemacetan lalu lintas di kota penyangga Surabaya ini bisa dituntaskan setiap tahunnya.
”Kalau setiap tahunnya kita cicil penyelesaian titik kemacetan, saya yakin dapat mengikis ruas-ruas utama pembuat macet. Kalau menghilangkan macet sama sekali, susah, tetapi mengikis kemacetan itu yang sekarang tengah dikerjakan,” ujarnya.
Dukungan warga
Di sisi lain, Muhdlor mengakui, upayanya membangun infrastruktur jalan tidak akan berhasil tanpa dukungan penuh dari warga. Contohnya, para pemilik lapak usaha mikro kecil dan menengah di kawasan Aloha yang bersedia memindahkan tempat usahanya di masa ekonomi masih sulit karena baru pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Pemkab Sidoarjo juga bersyukur mendapat dukungan dari belasan perusahaan yang bersedia merelakan sebagian aset tanahnya untuk pembangunan frontage road. Tidak hanya itu, warga Kecamatan Waru juga merelakan pembongkaran makam umum untuk kelancaran pembangunan ekonomi terutama di sektor transportasi.
Didik (45), warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, mengatakan, jalan paralel atau frontage road sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi warga Sidoarjo karena kondisi jalan nasional yang sudah tak mampu lagi menampung volume kendaraan. Jiika kondisi kemacetan itu dibiarkan, akan semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia di jalan.
”Sebagai warga yang terdampak pembangunan infrastruktur jalan paralel, kami mendukung pemerintah. Hal ini demi kepentingan yang lebih besar,” ucap Didik.
Sebelumnya, Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Jatim Bali) melalui PPK 3.4 Provinsi Jatim membongkar jembatan penyeberangan orang (JPO) yang berada di Jalan Raya Waru sebagai bagian dari proyek pembangunan jalan layang Aloha. Jembatan itu berada di depan pabrik Maspion 1.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 3.4 Jatim (Surabaya-Waru-Sidoarjo), Zaim Zul, mengatakan, pembongkaran JPO berlangsung pada 9-10 Maret 2023. Rekayasa lalu lintas dan pengalihan arus kendaraan dilakukan selama pekerjaan pembongkaran tersebut berlangsung.
”Pembongkaran JPO diruas jalan Sidoarjo menuju Surabaya harus dilakukan karena berada pada trase (sumbu) jalan layang Aloha,” ujar Zaim Zul.
Akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan, penambahan infrastruktur jalan memang merupakan solusi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas akibat peningkatan volume kendaraan.
Namun, hal itu bukan satu-satunya. Solusi lain yang seharusnya juga mendapat perhatian besar dari pemerintah pusat dan daerah adalah pembangunan sistem angkutan umum massal yang aman, nyaman, tepat waktu, serta berbiaya terjangkau.
Baca juga : Kemacetan dan Sindrom Negara Berkembang
Kehadiran sistem angkutan umum massal yang ideal tersebut diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi sehingga volume kendaraan di jalan menjadi berkurang. Akan tetapi, hal itu bukan perkara mudah. Salah satu kendala mengajak masyarakat Indonesia beralih ke angkutan umum adalah rasa nyaman menggunakan sepeda motor.
”Tidak banyak negara seperti Indonesia yang warganya memiliki motor di setiap rumah (bahkan banyak yang jumlahnya lebih dari satu unit per rumah). Oleh karena itulah, kebijakan industri sepeda motor juga perlu ditinjau ulang apabila ingin mengatasi problem kemacetan yang semakin bertumbuh di kota-kota besar,” kata Djoko.
Semoga, upaya menambah infrastruktur jalan di Sidoarjo benar-benar berdampak signifikan dalam mengatasi problem kemacetan lalu lintas di Bumi Kahuripan tersebut sehingga warga Kota Delta ini tak semakin tua di jalanan dan bisa lebih berbahagia bersama keluarga di rumah.