Indeks kemacetan di Ibu Kota saat ini sudah melebihi 50 persen. Prakiraan ini bisa jadi mendekati atau bahkan melebihi situasi pada 2019. Kala itu, skor indeks kemacetan mencapai 53 persen.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Tentara Pelajar di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (21/2/2023). Kemacetan jamak terjadi di jam-jam orang berangkat kerja dan pulang kerja.
Bertambahnya jumlah penduduk dan kepemilikan kendaraan menyebabkan tingginya tingkat kepadatan lalu lintas di kawasan Jabodetabek. Mobilitas penduduk yang sangat tinggi akhirnya berdampak pada rutinitas kemacetan yang dirasa kian bertambah parah dari waktu ke waktu. Semrawut, ruwet, dan macet sudah menjadi identitas keseharian di jalanan Ibu Kota.
Bagi warga Jabodetabek, kemacetan menjadi rutinitas yang dihadapi setiap saat. Hanya saja, setelah pandemi Covid-19 mereda, sepertinya kemacetan terasa lebih parah. Situasi ini bisa jadi berkaitan dengan efek psikologis pascawabah ketika mobilitas pengguna jalan raya saat pandemi berkurang signifikan. Jadi, ketika aktivitas berangsur kembali normal seperti saat ini, lalu lintas kendaraan di jalan raya dirasa sangat padat dan semakin macet.
Namun, kemacetan yang dirasa kian parah itu ternyata bukan dugaan semata. Kian padatnya arus kendaraan di wilayah Ibu Kota dikonfirmasi kebenarannya oleh Polda Metro Jaya. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman menyebutkan bahwa indeks kemacetan di Ibu Kota sudah melebihi 50 persen. Prakiraan tersebut bisa jadi mendekati atau bahkan melebihi situasi pada tahun 2019. Kala itu, skor indeks kemacetan mencapai 53 persen.
Sebagai perbandingan, selama pandemi, indeks kemacetan turun drastis. Pada awal 2019, skornya menurun drastis menjadi 36 persen dan pada 2021 terus menyusut menjadi sebesar 34 persen. Selanjutnya, pada kuartal pertama 2022, indeks kemacetan kembali merangkak naik menjadi 48 persen. Naik turunnya indeks kemacetan selama pandemi tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Saat PSBB dilakukan secara ketat, indeks kemacetan menurun pesat, tetapi begitu dilonggarkan situasi berbalik yang mengarah pada peningkatan kemacetan.
Padatnya jalanan pascapencabutan kebijakan PSBB menjadi kenyataan berat yang harus dihadapi warga Ibu Kota dan sekitarnya. Menempuh perjalanan lebih lama dari tempat tinggal ke tempat aktivitas menjadi pilihan yang tidak bisa terhindarkan. Apalagi, intensitas hujan yang masih tinggi menambah parah kemacetan di jalanan sewaktu-waktu.
Parahnya kemacetan di Ibu Kota tersebut terlihat dari data kecepatan dan waktu tempuh perjalanan yang terekam di situs Tomtom.com. Berdasarkan situs ini, Jakarta menempati peringkat ke-29 berdasarkan lama waktu perjalanan yang diperlukan untuk menempuh jarak 10 kilometer. Pada 2022, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut adalah 22 menit 40 detik.
Pada saat puncak mobilitas, waktu tempuh bisa lebih lama. Waktu puncak mobilitas inilah yang menjadi pola kemacetan di Jakarta. Dalam situs Tomtom.com, puncak kemacetan di Jakarta terjadi pada pukul 08.00 WIB dan pukul 17.00-18.00 WIB pada hari kerja.
Selama tujuh hari terakhir, yakni periode 28 Februari 2023 hingga 7 Maret 2023, lama perjalanan untuk menempuh jarak 10 kilometer pada pukul 08.00 WIB mencapai 23 hingga 25 menit. Sementara itu, pada puncak mobilitas di sore hari, dibutuhkan waktu 29 menit hingga 32 menit per 10 kilometer perjalanan.
Pada hari-hari tertentu, misalnya seperti Jumat, kondisi kepadatan lalu lintas jalan tampak lebih parah. Situs Tomtom.com mencatat Jumat sore sekitar pukul 17.00-18.00 adalah waktu kemacetan terparah di jalanan Ibu Kota. Hal ini terlihat dari waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak 10 kilometer mencapai kisaran 32 menit, lebih lama 3 menit dibandingkan hari-hari biasanya. Waktu perjalanan bisa lebih lama lagi ketika pengguna jalan melewati titik-titik pusat kemacetan.
Kemacetan yang terjadi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, saat jam berangkat kerja pada Selasa (28/2/2023). Pertumbuhan kendaraan setiap tahunnya membuat kemacetan di Jakarta kian buruk.
Salah satu rute yang menjadi titik kemacetan parah di Ibu Kota adalah jalur Palmerah-Patung Dirgantara melalui Jalan S Parman-Gatot Subroto. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak sekitar 8,1 kilometer itu pada Jumat pukul 17.00 WIB bisa menembus satu jam menggunakan motor. Waktu tempuh ini jauh lebih lama dibandingkan rata-rata waktu yang tertera pada situs Tomtom.com. Kondisi lalu lintas pada jalur tersebut memang sangat padat sehingga arus kendaraan hanya merayap pelan-pelan. Pergerakan kendaraan sangat terbatas, bahkan transportasi umum seperti Bus Rapid Transit (BRT) pun ikut terjebak dalam kemacetan.
Kemacetan yang terjadi secara situasional tersebut terus diantisipasi dengan sejumlah kebijakan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mulai dari aturan ganjil-genap, penambahan moda transportasi publik, hingga peningkatan infrastruktur jalan yang juga melibatkan kuncuran dana dari pemerintah pusat. Hanya saja, sejumlah langkah antisipasi tersebut belum membuahkan hasil secara maksimal. Kemacetan terus terjadi dan tampaknya kian sulit untuk diatasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan di Jakarta terasa kian parah. Salah satunya karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Selain itu, ada kebiasaan yang sulit diubah di mana mayoritas masyarakat terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk aktivitas sehari-hari. Apalagi, saat pandemi Covid-19, mayoritas masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk antisipasi penularan wabah. Kedua hal ini menjadi kombinasi faktor pendorong yang menyebabkan arus lalu lintas di Jakarta kian padat sehingga kemacetan semakin parah.
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, selama 2018-2022, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tumbuh 4,1 persen per tahun. Pertumbuhan unit kendaraan baru sempat menurun drastis saat tahun pertama pandemi, yakni sebesar 1,7 persen. Namun, pada 2021 dan 2022, jumlah kendaraan terus bertambah dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 4,1 persen dan 4,4 persen setahun.
Pada 2022, tercatat ada 26,4 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Terdiri dari sepeda motor sebanyak 17,3 juta, mobil penumpang 3,8 juta, serta sisanya sekitar 5 juta unit terdiri dari bus dan truk.
Jumlah kendaraan yang kemungkinan akan terus bertambah itu tidak sebanding dengan infrastruktur jalan yang justru semakin terbatas. Terjadi kesenjangan antara ketersediaan panjang dan luas jalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Pada 2012, Kementerian PUPR memperkirakan Jakarta akan mengalami kemacetan total pada 2014. Penyebabnya karena kendaraan bertambah 9 persen per tahun dan tidak dapat diimbangi dengan pertumbuhan panjang atau luas jalan yang hanya 0,01 persen setahunnya.
Pada saat itu, jalan di DKI Jakarta sepanjang 7.208 kilometer dan baru mencukupi 60 persen dari total kebutuhan. Jika dihitung berdasarkan populasi waktu itu yang sebanyak 12 juta jiwa, panjang jalan yang dibutuhkan seharusnya berkisar 12.000 kilometer.
Tidak jauh berubah dari satu dekade silam, kesenjangan ketersediaan infrastruktur dengan padatnya kendaraan di jalanan masih menjadi problem hingga saat ini. Data BPS DKI Jakarta pada 2020 menyebutkan panjang dan luas jalan di Ibu Kota hanya 6.653 kilometer dan 46,4 kilometer persegi. Jika pada 2014 saja sudah diprediksi akan menyebabkan kemacetan total, situasi kemacetan sekarang menjadi sebuah keniscayaan yang memang harus dihadapi dan dirasakan setiap saat. Apalagi, jumlah kendaraan bermotor saat ini sudah mencapai 26,4 juta unit atau hampir terpaut 9 juta unit kendaraan dari kondisi tahun 2014.
Jumlah penduduk
Kemacetan di Ibu Kota tersebut sejatinya merupakan fenomena yang ”wajar”. Infrastruktur jalan yang sangat terbatas tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor yang kian banyak. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi memicu terjadinya kemacetan di sejumlah ruas jalan.
Kawasan permukiman padat penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Pada 2020, jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10,56 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 0,9 persen dibandingkan tahun 2010. Secara tren pertumbuhan, angka peningkatan penduduk di Jakarta ini relatif tidak terlalu besar. Hanya saja, jika membicarakan topik mobilitas penduduk di kawasan Ibu Kota perlu melibatkan keseluruhan masyarakat di sekitar wilayah Jakarta. Jadi, bukan hanya membahas penduduk Jakarta semata. Hingga saat ini, lalu lintas Ibu Kota juga dipadati kendaraan dari para komuter yang berasal dari daerah sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Dengan meningkatnya penduduk di kawasan Bodetabek serta bertambahnya komuter yang beraktivitas di Jakarta, arus lalu lintas di Ibu Kota akan terus meningkat kepadatannya. Berdasarkan Statistik Komuter Jabodetabek 2019, jumlah komuter di wilayah ini mencapai 3,3 juta orang atau 11 persen dari total jumlah penduduk berusia di atas lima tahun. Seiring dengan kembalinya aktivitas masyarakat pascapandemi, bukan tidak mungkin jumlah komuter akan bertambah dan kepadatan lalu lintas juga kian meningkat.
Pertumbuhan jumlah penduduk, bertambahnya unit kendaraan, serta mobilitas penduduk yang meningkat membuat jalanan Ibu Kota yang terbatas menjadi sangat padat. Ketiga hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang sulit terhindarkan di Jakarta karena daerah ini masih menjadi pusat dari berbagai aktivitas skala nasional. Mulai dari kegiatan ekonomi, politik, pemerintahan, hingga berbagai kegiatan masyarakat lainnya. Tanpa kontrol menyeluruh mengenai pertumbuhan penduduk, kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi, serta arus mobilitas penduduk, kemacetan di Ibu Kota akan sulit diatasi. Kemacetan akan menjadi situasi yang ”lumrah” yang akan dihadapi masyarakat sehari-hari. (LITBANG KOMPAS)