Situs Kota China di Pesisir Medan, Kota Terpadat di Asia pada Abad Ke-11
Reruntuhan candi kuno dan temuan arkeologis sangat padat menunjukkan Situs Kota China di pesisir Medan pernah jadi kota kosmopolitan terpadat di Asia. Usai 50 tahun eksplorasi, situs masih menyimpan banyak pertanyaan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·7 menit baca
Situs Purbakala Kota China yang berada di Medan, Sumatera Utara, pernah menjadi salah satu kota kosmopolitan terpadat di Asia pada abad ke-11. Di area seluas 25 hektar yang kini menjadi permukiman itu ditemukan banyak dan padat sekali tinggalan arkeologis, mulai dari koin, keramik, arca, hingga yang terpenting candi kuno. Tidak ada situs purbakala dengan temuan sepadat itu.
Reruntuhan candi kuno berupa struktur bata di situs itu sudah ditetapkan Pemerintah Kota Medan menjadi benda cagar budaya. Penetapan itu disambut sejarawan, peneliti, arkeolog, dan masyarakat dengan Pesta Cagar Budaya Situs Kota China, Kamis (16/3/2023). Edward Edmunds McKinnon yang memelopori penelitian situs itu juga hadir mengenang 50 tahun eksplorasi Situs Kota China.
”Dulu di awal 1970-an, masih sangat sedikit rumah dan hanya ada jalan setapak di sini. Namun, saat berjalan, saya melihat di mana-mana ada beling, uang koin China, manik-manik, dan pecahan keramik, bahkan di permukaan tanah,” kata McKinnon.
Situs Kota China diperkirakan menempati area seluas 25 hektar yang kini menjadi bagian dari Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan. Area situs kini sudah menjadi permukiman padat penduduk yang sebagian besar merupakan nelayan. Sebagian areanya merupakan ladang dan ekosistem mangrove yang didominasi tanaman nipah, bakau, dan sungai. Situs itu berada di dekat Danau Siombak.
Di usianya yang sudah 87 tahun, McKinnon masih lugas menceritakan awal mula dia mengetahui Situs Kota China. Pada tahun 1973, ia bertemu seorang pedagang keliling bernama Abdurrahman Lubis. Ketika itu, McKinnon yang berkebangsaan Inggris itu berada di Medan dan bekerja di PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra.
Kepada McKinnon, Abdurrahman menawarkan sebuah arca. Namun, McKinnon menolak untuk membelinya, tetapi ingin melihatnya. Abdurrahman lalu membawanya ke Paya Pasir yang ketika itu masih merupakan daerah terpencil di pesisir Medan. ”Di sini hanya ada beberapa rumah dan pohon kelapa banyak sekali. Suasana di sini dulu sangat sejuk,” kata McKinnon.
McKinnon pun terperangah ketika melewati jalan setapak di Paya Pasir. Dia melihat di permukaan tanah banyak sekali tinggalan arkeologis, seperti uang koin China, manik-manik, beling, dan pecahan keramik. Ia lalu melihat arca tersebut berada di rumah seorang warga Tionghoa.
Beberapa bulan kemudian, seorang teman McKinnon dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, datang ke Medan dan diajaknya ke Situs Kota China. Secara kebetulan, mereka melihat arca kedua yang ditemukan warga yang menggali sumur. Berselang beberapa waktu, ditemukan lagi dua arca berikutnya dari sekitar sekolah dasar. Setelah itu, eksplorasi lebih luas dilakukan di situs tersebut oleh peneliti dalam negeri dan luar negeri.
McKinnon menyebut, eksplorasi Situs Kota China seperti membuka satu teka-teki sejarah di Sumatera. Menurut dia, situs purbakala itu sangat penting dan berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Aru di Situs Putri Hijau di Deli Serdang, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, hingga Kerajaan Lamuri di Aceh yang berkembang pada abad ke-13 hingga ke-15.
”Setelah Kerajaan Sriwijaya diserang Kerajaan Chola (dari India Selatan), muncul kerajaan-kerajaan baru yang lebih berkembang di Sumatera,” kata McKinnon yang menyelesaikan disertasi tentang Kota China dari Universitas Cornell itu.
McKinnon mengatakan, area Situs Kota China diduga ditempati para pedagang Tamil dari India Selatan. Hal itu diperkuat oleh temuan sejumlah arca bergaya Tamil. Uang koin dan keramik China diduga dibawa oleh pedagang Tamil sebagai alat tukar ketika itu.
”Apa yang menarik mereka kemari adalah kekayaan alam. Sebab, di Bukit Barisan kaya dengan kemenyan, kapur barus, rotan, hingga emas urai. Jadi, orang dari India Selatan sudah sampai di sini pada abad ke-10 dan ke-11,” kata McKinnon.
Temuan situs itu sekaligus menjawab keberadaan kota kosmopolitan di pantai timur Sumatera yang menjadi pelabuhan asal komoditas penting yang diekspor ke Eropa. Komoditas-komoditas itu juga diekspor dari Pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera di Tapanuli Tengah.
McKinnon menyebut, dari Sumatera juga dijual gading gajah, cula badak, dan bagian tubuh harimau. Kira-kira 100 tahun lalu di sepanjang Pulau Sumatera masih banyak sekali terdapat tiga spesies kunci hutan tropis Sumatera itu. Namun, pembukaan perkebunan, kata McKinnon, mengusir dan membunuh spesies itu.
Pendiri Museum Situs Kota China yang juga sejarawan dari Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, sejak McKinnon memelopori eksplorasi Situs Kota China, sudah ada 12 peneliti asing lainnya yang melakukan penelitian di situs itu.
Salah satu temuan penting di situs purbakala itu adalah enam struktur bata yang diduga merupakan reruntuhan candi kuno. Dari enam struktur bata yang ditemukan, baru satu yang ditetapkan menjadi cagar budaya. Struktur candi pertama dan kedua ditemukan pada 1974, candi ketiga pada 2009, candi keempat pada 2013, serta candi kelima dan keenam pada 2016.
Struktur candi kuno dibuat dari batu bata dengan beragam ukuran dan bentuk tergantung posisi dan fungsinya. Diperkirakan, bahan baku bata yang berasal dari abad ke-12 itu tidak dari Kota China atau sekitarnya. Bata juga tidak direkatkan dengan semen. Di situs purbakala itu juga ditemukan batu penanda pilar yang merupakan batu pegunungan atau batu cadas. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menggambarkan seperti apa candi di situs tersebut.
Hasil penelitian terbaru Daniel Perret, kata Ichwan, menyebutkan Situs Kota China adalah salah satu kota kosmopolitan paling padat di dunia. Peneliti dari Perancis itu melakukan riset pada 2010 hingga 2016. Penelitian Perret menyebut situs purbakala itu mencakup area lebih kurang 25 hektar.
Situs Kota China dibagi menjadi empat zonasi. Zona terluar yang berada di pinggir pantai adalah kawasan pelabuhan dan perdagangan, diikuti kawasan candi, lokasi industri emas dan logam, serta terakhir adalah asrama biksu. Pelabuhan kuno itu diperkirakan berada di dekat bangunan Museum Situs Kota China saat ini.
”Kota ini menghadap ke laut. Batasnya museum ini. Di halaman museum ini ditemukan pecahan kapal. Dalam seribu tahun batas pantai maju 12 kilometer,” kata Ichwan.
Empat arca Buddha dan Hindu yang ditemukan juga membuktikan bahwa kawasan itu bukan hanya tempat persinggahan sementara para pedagang, melainkan juga merupakan permukiman tetap dengan sarana peribadatan permanen. Berdasarkan analisis geologis, batu arca diduga dibawa langsung dari India selatan. Arca dengan gaya seperti itu masih dapat ditemukan dalam keadaan utuh di kuil-kuil di wilayah Tamil Nadu, India selatan.
Setelah ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Ichwan, hal penting yang harus dilakukan pemerintah adalah pembebasan lahan, khususnya di area temuan reruntuhan candi. Hal itu penting agar penggalian bisa dilakukan untuk menemukan bentuk dan kawasan candi yang lebih utuh. ”Hingga kini, pemerintah belum punya tanah di area ini satu sentimeter pun,” kata Ichwan.
Ichwan menyebut, beberapa penggalian reruntuhan candi harus berhenti karena permasalahan lahan. Museum Situs Kota China hanya bisa membebaskan lahan 7 meter x 20 meter. Penggalian berhenti di area itu karena pemilik lahan di sebelahnya tidak mengizinkan.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Bidang Arkeologi, Ery Soedewo, mengatakan, masih banyak pertanyaan yang harus diungkap melalui penelitian. Hingga kini belum diketahui secara pasti di mana posisi bangunan suci. Reruntuhan candi sudah ditemukan, tetapi seperti apa pola dan bentuknya belum diketahui.
Bagaimana kaitan runtuhan candi dengan temuan lain seperti tonggak kayu dan sisa kapal kayu juga masih menjadi misteri. Penelitian di situs itu, kata Ery, masih sporadis dan belum tersistematis. Padatnya permukiman juga menjadi tantangan penelitian ke depan.
Rasuna (74), warga Kelurahan Paya Pasir, mengatakan, hingga kini warga masih sangat sering menemukan temuan-temuan arkeologi di sekitar permukiman dan ladang mereka, mulai dari manik-manik, pecahan keramik, hingga emas. Sebagian besar temuan dilaporkan ke museum.
Rasuna menyebut, mereka sudah terbiasa dengan aktivitas penelitian di kampungnya. Almarhum ayah dan suaminya juga sudah menemani McKinnon dan timnya melakukan eksplorasi sejak 50 tahun lalu. Ia masih menyimpan foto saat McKinnon melakukan eksplorasi awal. Situs Kota China hingga kini masih tetap menyimpan misteri kepurbakalaan yang harus diungkap dengan penelitian.