Bentuk Cagar Budaya Benteng Putri Hijau yang Dirusak Dikembalikan Lagi
Bentuk Cagar Budaya Benteng Putri Hijau di Deli Serdang dikembalikan setelah sempat dirusak. Arkeolog menyebut, lapisan geoarkeologi situs peninggalan Kerajaan Aru abad ke-14 sampai ke-16 itu juga harus dikembalikan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Bentuk Cagar Budaya Benteng Putri Hijau di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, dikembalikan lagi setelah sempat dirusak untuk membangun jalan. Ahli geologi akan didatangkan untuk menyusun lapisan tanah seperti semula. Arkeolog menyebut, pengembalian bentuk tidak cukup. Harus dikembalikan juga lapisan geoarkeologi situs peninggalan Kerajaan Aru dari abad ke-14 sampai ke-16 itu.
”Sesuai rekomendasi Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, kami sudah kembalikan lagi bentuk Benteng Putri Hijau seperti semula,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Zumri Sulthony, Selasa (20/12/2022).
Situs Benteng Putri Hijau di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, itu sebelumnya dirusak oleh proyek penataan yang dilakukan Disbudpar Sumut. Benteng berupa gundukan tanah di sisi barat Sungai Patani (hulu Sungai Deli) itu merupakan zona inti cagar budaya. Di situs itu juga terdapat dua mata air yang sering didatangi warga untuk ritual atau pengobatan, yakni Permandian Putri Hijau dan Permandian Panglima atau Pancur Gading.
Namun, pada akhir November lalu, sebagian benteng, yakni sekitar 5 meter x 20 meter, dijebol untuk membuka jalan. Menurut para pekerja, ditemukan sejumlah artefak, seperti tembikar dan keramik, dari benteng yang dijebol itu.
Zumri mengatakan, ke depan, mereka akan melakukan kajian yang lebih menyeluruh untuk setiap penataan atau revitalisasi cagar budaya itu. Situs itu akan dijadikan sebagai salah satu destinasi pariwisata di Sumut. Berdasarkan papan informasi, disebutkan saat ini sedang ada penataan dengan nilai proyek Rp 3,37 miliar.
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, kasus perusakan Cagar Budaya Benteng Putri Hijau harus menjadi momentum untuk meningkatkan perlindungan cagar budaya di seluruh Indonesia. Ichwan juga mengapresiasi langkah Disbudpar Sumut yang langsung mengoreksi kebijakannya dan mengembalikan benteng pada bentuk semula.
”Dari sejumlah kasus perusakan cagar budaya di Indonesia, hampir tidak ada yang mau mengoreksi kebijakannya untuk menyelamatkan cagar budaya itu,” kata Ichwan.
Ichwan menyebut, sebagian Benteng Putri Hijau sudah pernah dirusak Perum Perumnas saat mengembangkan perumahan. Protes dari sejarawan, budayawan, dan arkeolog tidak pernah dihiraukan.
Meski demikian, lanjutnya, perusakan terakhir ini juga harus tetap diproses hukum untuk menegakkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ichwan juga meminta agar dibuat tanda bahwa benteng di lokasi itu sudah pernah rusak dan dikembalikan bentuknya. Hal itu penting sebagai pembelajaran dan untuk kepentingan penelitian ke depan.
Arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ketut Wiradyana, mengatakan, perbaikan kembali Benteng Putri Hijau yang telah dirusak itu seharusnya diawali dengan kajian geoarkeologi. Hal itu sangat penting agar lapisan-lapisan tanah yang sudah dirusak bisa dikembalikan lagi mendekati bentuk semula. ”Kalau untuk dikembalikan persis seperti semula itu tidak bisa lagi karena memang sudah dirusak,” ujarnya.
Ketut mengatakan, ada urutan lapisan tanah yang harus diikuti dalam konsep pengembalian benteng itu. Gundukan itu juga harus diperkuat karena memang bukan benteng alam, melainkan buatan manusia.
Ketut juga mendorong agar perusakan harus diproses hukum karena sudah jelas melanggar UU Cagar Budaya. Perusakan pun disayangkan karena terjadi di tengah tekanan besar-besaran dari pembangunan perumahan di zona penyangga cagar budaya. Saat berlangsung pembangunan perumahan, sangat banyak artefak yang ditemukan dari penggalian.
Dari sejumlah kasus perusakan cagar budaya di Indonesia, hampir tidak ada yang mau mengoreksi kebijakannya untuk menyelamatkan cagar budaya itu.
Situs Benteng Putri Hijau ditetapkan menjadi cagar budaya tingkat provinsi oleh Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pada 2019. Sebelumnya, situs itu pun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat kabupaten oleh Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan pada Desember 2014.
Penetapan itu dilakukan setelah adanya penelitian dan kajian dari ahli cagar budaya selama bertahun-tahun. Situs itu berupa benteng atau dinding tanah di sisi barat Sungai Patani.
Dalam lampiran Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/706/KPTS/2019 tentang Penetapan Cagar Budaya disebutkan, penelitian dan pengamatan di situs tersebut dilakukan sejak tahun 1996. Dari berbagai penggalian ditemukan artefak berupa fragmen keramik, tembikar, gerabah, sumatralith (peralatan batu), peluru timah, terak besi, dan uang logam dirham Aceh.
Temuan itu sangat penting karena diduga merupakan peninggalan Kerajaan Haru atau Aru yang pernah berjaya di Sumatera, tetapi lokasinya tidak diketahui secara pasti. Temuan situs itu pun menjadi titik terang tentang keberadaan Kerajaan Aru.
Dalam beberapa analisis tekstual yang dilakukan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed) disebutkan, Kerajaan Aru pada abad ke-14 sampai ke-16 berpusat di Deli Tua (Old Deli). Pusat kerajaan berbatasan dengan Lau Patani, yakni hulu Sungai Deli.
Sungai Deli pada waktu itu bisa dilalui kapal layar dari muara sungai, yakni di perairan Belawan. Kondisi sungai tidak seperti sekarang yang mengalami pendangkalan akibat kerusakan ekosistem di hulu dan sedimentasi di hilir. Situs Benteng Putri Hijau pun menjadi sangat penting untuk menggali sejarah Kerajaan Aru.