Penataan Pemerintah Justru Rusak Cagar Budaya Benteng Putri Hijau Abad Ke-14
Proyek penataan senilai Rp 3,37 miliar justru merusak cagar budaya situs Benteng Putri Hijau di Desa Deli Tua, Deli Serdang, Sumut. Benteng merupakan titik terang keberadaan Kerajaan Aru pada abad ke-14 sampai ke-16.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Proyek penataan cagar budaya situs Benteng Putri Hijau di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, justru merusak zona inti cagar budaya itu. Benteng yang diduga berasal Kerajaan Aru abad ke-14 sampai ke-16 itu dirobohkan untuk membangun jalan. Dari galian alat berat ditemukan banyak artefak. Para ahli menilai perusakan sudah merupakan pelanggaran hukum dan perlu diproses hukum.
Pantauan Kompas, Benteng Putri Hijau yang dirobohkan memiliki lebar sekitar 4 meter dengan panjang ke bawah sekitar 20 meter. ”Sudah sekitar sebulan benteng ini dirobohkan untuk membuat jalan ke tempat Permandian Putri Hijau di bawah benteng,” kata Irwan Ginting (45), warga yang tinggal di dekat situs, Jumat (9/12/2022).
Dalam papan informasi disebutkan, pekerjaan itu adalah proyek belanja bahan bangunan dan konstruksi penataan situs Benteng Putri Hijau. Proyek senilai Rp 3,37 miliar itu dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemintah Provinsi Sumut dengan kontraktor CV Kenanga.
Pekerja yang berada di lokasi proyek menyebut, saat penggalian, ditemukan banyak artefak dari Benteng Putri Hijau itu berupa keramik dan tembikar.
Arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ketut Wiradyana, mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan kerusakan situs bersejarah itu. ”Yang ditetapkan menjadi zona inti cagar budaya itu gundukan atau benteng itu. Namun, benteng itu yang malah dirusak untuk membuat jalan oleh pemerintah,” kata Ketut.
Ketut mengatakan, situs Benteng Putri Hijau sudah ditetapkan menjadi cagar budaya tingkat provinsi oleh Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pada 2019. Sebelumnya, situs itu pun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat kabupaten oleh Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan pada Desember 2014.
Penetapan itu dilakukan setelah adanya penelitian dan kajian dari ahli cagar budaya selama bertahun-tahun. Situs itu berupa benteng atau dinding tanah di sisi barat Sungai Patani, hulu Sungai Deli. Di bawah benteng juga terdapat dua mata air.
Ketut menyebut, tekanan terbesar yang dialami situs cagar budaya itu adalah pengembangan perumahan secara besar-besaran di zona penyangga cagar budaya. Di zona penyangga itu pun banyak ditemukan artefak saat pembangunan perumahan. Perusakan gundukan di zona inti juga menambah kerusakan.
Langgar undang-undang
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, penghancuran benteng itu sudah sangat jelas melanggar aturan cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ”Sudah ditetapkan sebagai cagar budaya malah dirusak oleh proyek pemerintah pula,” kata Ichwan.
Sudah ditetapkan sebagai cagar budaya malah dirusak oleh proyek pemerintah pula.
Ichwan mengatakan, perusakan itu jangan sampai menjadi preseden buruk bagi perlindungan cagar budaya. Karena itu, ia pun mendorong agar perusakan diproses secara hukum sebagaimana diatur dalam UU Cagar Budaya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Zumri Sulthony mengakui bahwa ada kerusakan zona inti cagar budaya situs Benteng Putri Hijau. ”Ada sedikit kerusakan. Kami sudah laporkan kepada TACB (tim ahli cagar budaya). Kerusakan itu pun secepatnya akan kami normalkan kembali,” kata Zumri.
Zumri mengatakan, pihaknya akan menimbun kembali benteng yang rusak itu. Hal itu sesuai dengan rekomendasi TACB yang meminta agar bentuk benteng itu dikembalikan seperti semula.
Zumri menyebut, proyek itu mereka lakukan untuk menata situs agar layak menjadi destinasi pariwisata. Akan dibangun juga di sana taman edukasi, perpustakaan dan galeri, ruang kuliner, area parkir, air mancur, serta kolam renang.
Dalam lampiran Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/706/KPTS/2019 tentang Penetapan Cagar Budaya disebutkan, hasil penelitian dan pengamatan di situs tersebut dilakukan sejak tahun 1996. Dari berbagai penggalian ditemukan artefak berupa fragmen keramik, tembikar, gerabah, sumatralith (peralatan batu), peluru timah, terak besi, dan uang logam dirham Aceh.
Temuan itu sangat penting karena diduga merupakan peninggalan Kerajaan Haru atau Aru yang pernah berjaya di Sumatera, tetapi lokasinya tidak diketahui secara pasti. Temuan situs itu pun menjadi titik terang tentang keberadaan Kerajaan Aru.
Dalam beberapa analisis tekstual yang dilakukan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed) disebutkan, Kerajaan Aru pada abad ke-14 sampai ke-16 berpusat di Deli Tua (Old Deli). Pusat kerajaan berbatasan dengan Lau Patani, yakni hulu Sungai Deli.
Sungai Deli pada waktu itu bisa dilalui kapal layar dari muara sungai, yakni di perairan Belawan. Kondisi sungai tidak seperti sekarang yang mengalami pendangkalan akibat kerusakan ekosistem di hulu dan sedimentasi di hilir. Situs Benteng Putri Hijau pun menjadi sangat penting untuk menggali sejarah Kerajaan Aru.