Candi Kuno di Situs Kota China Jadi Cagar Budaya, Pemerintah Didorong Bebaskan Lahan
Reruntuhan candi di Situs Kota China, Medan, ditetapkan jadi cagar budaya. Di area di Medan Marelan itu ditemukan sangat banyak dan padat temuan arkeologis. Situs itu merupakan kota penting di abad ke-11 hingga ke-16.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Runtuhan candi kuno di Situs Kota China, Medan, Sumatera Utara, ditetapkan menjadi cagar budaya. Area candi kuno yang sekarang menjadi bagian Kelurahan Paya Pasir, Medan Marelan, itu pernah menjadi kota dunia yang sangat padat pada abad ke-11 sampai ke-16. Namun, masih banyak misteri di situs yang terkubur 1,5 meter di bawah tanah itu.
”Di area Situs Kota China seluas 25 hektar ini berceceran peninggalan kuno yang sangat banyak dan padat. Seribu tahun lalu tidak ada kota di Asia Tenggara yang sepadat Situs Kota China ini,” kata pendiri Museum Situs Kota China yang juga sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, saat acara Pesta Cagar Budaya Kota China, Kamis (16/3/2023).
Hasil penelitian terbaru dari Daniel Perred, kata Ichwan, Situs Kota China adalah salah satu wilayah kosmopolitan paling padat di dunia di masa itu. Peneliti dari Prancis itu melakukan riset pada 2010 hingga 2016. Saat ini, ia sedang menyusun buku tentang hasil penelitiannya tersebut.
Ichwan mengatakan, penetapan Situs Kota China menjadi cagar budaya setelah diajukan sejak 2009 patut diapresiasi karena akan melindungi situs tentang sejarah dunia yang sangat penting. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang mengikuti penetapan itu.
Situs Kota China ditetapkan menjadi cagar budaya oleh Wali Kota Medan Bobby A Nasution dengan nomor registrasi 15/CB/SR/2022. Ichwan mengingatkan, yang ditetapkan menjadi cagar budaya masih hanya struktur bata reruntuhan candi kuno di area seluas 7 x 20 meter, belum seluruh area situs.
Struktur bata itu diduga merupakan bagian dari candi utama yang sebagian besar masih terkubur. Penggalian terhenti karena struktur bata lainnya berada di lahan masyarakat yang tidak mengizinkan dilakukan ekskavasi di areanya.
Setelah situs ini ditetapkan menjadi cagar budaya, Ichwan mendorong Pemkot Medan membebaskan lahan khususnya untuk penggalian reruntuhan candi kuno yang lebih utuh. Sebagian besar area Situs Kota China saat ini adalah permukiman padat dan ladang. ”Pemerintah belum punya tanah di area ini satu sentimeter pun,” kata Ichwan.
Ichwan menyebut, mereka pernah menemukan struktur bata di halaman rumah warga. Warga tersebut sudah setuju untuk membebaskan lahan dan sudah dilakukan penggalian terbuka di sekitar struktur bata. Namun, karena pembebasan lahan tidak kunjung dilakukan, warga tersebut kembali menutup struktur bata dan membangun rumah di area itu.
”Rumah itu juga bisa dibebaskan pemerintah untuk melindungi struktur bata di bawahnya. Selama masih ada rumah di atasnya, struktur bata masih lebih aman ketimbang dijadikan tambak,” kata Ichwan.
Karena pembebasan lahan tidak kunjung dilakukan, warga tersebut kembali menutup struktur bata dan membangun rumah di area itu.
Ichwan mengatakan, sudah 50 tahun penelitian di Situs Kota China dilakukan yang diawali oleh Edward Edmunds Mckinnon pada 1973. Total sudah ada 13 peneliti asing yang melakukan penelitian dan empat disertasi internasional mengulas situs dunia itu.
McKinnon mengatakan, ia mulai melakukan penelitian di situs itu pada 1973. Ketika itu ada pedagang keliling bernama Abdurrahman Lubis yang menemui dia dan menyebut ingin menjual arca. McKinnon menyebut tidak ingin membelinya, tetapi ingin melihatnya. Ia lalu pergi ke Paya Pasir di tempat arca itu.
”Kami datang kemari untuk melihat arca. Waktu kami keliling melalui jalan setapak. Saya melihat dimana-mana berserakan pecahan keramik, kaca, mata uang China, dan manik-manik. Saya lalu menghubungi ahli sejarah dan melakukan eksplorasi,” kata McKinnon.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Bidang Arkeologi Ery Soedewo mengatakan, Situs Kota China harus dikembangkan ke depan agar bisa memberi manfaat untuk masyarakat karena mereka boleh dibilang yang mewarisi situs tersebut. ”Mereka hidup di lokasi keberadaan tinggalan dari masa abad ke-11 sampai ke-16. Situs ini jangan hanya dikenal di Medan, tetapi di seluruh Indonesia dan dunia,” katanya.
Ery mengatakan, masih banyak pertanyaan yang harus diungkap melalui penelitian di situs itu. Hingga kini belum diketahui secara pasti di mana posisi bangunan suci di situs itu. Runtuhan candi sudah ditemukan, tetapi seperti apa polanya belum diketahui.
Bagaimana kaitan runtuhan candi dengan temuan lain seperti tonggak kayu dan sisa kapal kayu juga masih menjadi misteri. Penelitian di situs itu, kata Ery, masih sporadis dan belum tersistematis. Padatnya permukiman juga menjadi tantangan penelitian ke depan.