Ironi Vonis Ringan Polisi Terdakwa Kekerasan Anak Tiri di Cirebon
Polisi pelaku kekerasan anak dihukum jauh dari tuntutan yang diajukan. Sejumlah pihak melihat hal ini sebagai preseden buruk penanganan kasus kekerasan anak yang marak terjadi di Cirebon.
Hati V hancur setelah hakim mengetuk palu di Pengadilan Negeri Sumber Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (9/3/2023). Ia tak percaya, bekas suaminya, Brigadir Satu Chumaedi Saefudin, terdakwa kekerasan fisik dan seksual pada anak tiri, divonis penjara 1 tahun 10 bulan.
Setelah membacakan putusan dan menutup sidang, ketua majelis hakim Soni Nugraha dan dua hakim anggota lainnya, yakni Harry Ginanjar dan Ranum Fatimah Florida, sontak meninggalkan ruangan. Jaksa penuntut umum serta penasihat hukum terdakwa pun buru-buru beranjak pergi.
Sejumlah aparat kepolisian berkumpul, mengantisipasi adanya kegaduhan. Beberapa keluarga terdakwa tampak berpelukan dan terharu, seperti puas dengan keputusan hakim. Sebaliknya, V bersama orangtuanya hanya duduk terdiam di kursi. Hingga ruangan sepi, V masih bergeming.
”Tadi saya shock banget. Saya enggak bisa bergerak, kayak terkunci. Putusan hakim ini benar-benar jauh dari kata adil,” ujar V yang ditemui Kompas lima jam setelah sidang. Baginya, vonis 1 tahun 10 bulan itu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yakni 15 tahun penjara.
”Tadinya saya berharap, paling sedikit vonisnya 10 tahun penjara. Ternyata, jauh dari itu. Saya langsung membayangkan nasib anak saya bagaimana?” ujar V yang saat itu belum mengabarkan putusan hakim kepada anaknya. Ia bahkan belum pulang ke rumah, bertemu anaknya.
Baca juga: Pusaran Kekerasan Anak Kian Deras
V tak ingin menambah beban anak perempuannya yang terbukti menjadi korban kekerasan fisik dan diduga mengalami pencabulan oleh ayah tirinya. Kasus ini bermula saat V melaporkan kekerasan fisik oleh Chumaedi, suaminya saat itu, terhadap anaknya, pada 24 Agustus 2022.
Menurut dia, bekas suaminya beberapa kali menganiaya anaknya. Pernah ia mendapati bekas cakaran di beberapa bagian tubuh anaknya. Namun, ia belum berani melaporkannya.
”Pertimbangannya, saya enggak mau cerai. Apalagi, ketika saya mengandung anaknya,” ujar V.
Namun, kekerasan itu tak usai. Bahkan, pada 5 September lalu, V kembali mengadukan anggota intelijen di Kepolisian Resor Cirebon Kota itu kepada polisi atas dugaan pencabulan terhadap anaknya yang masih 11 tahun. Chumaedi lalu menjadi tersangka dan ditahan di penjara.
Awalnya, ia tak langsung memercayai keterangan sang anak. Namun, ia shock saat melihat hasil visum yang menunjukkan ada robekan pada selaput dara alat vital korban karena trauma benda tumpul. V bahkan mendapatkan resep dari dokter untuk mengobati luka anaknya.
Kasus itu itu mencuat di media sosial setelah pengacara Hotman Paris Hutapea menerima aduan dari keluarga korban. Ketika itu, V mengaku dilarang mendampingi korban saat pemeriksaan psikologis. Sebaliknya, polisi memastikan telah menangani kasus itu sesuai prosedur hukum.
Khawatir dengan keselamatan anaknya, V sempat berpindah-pindah tempat tinggal sekitar empat bulan. Selama itu pula, anaknya tidak sekolah. ”Saya nyetir sambil gendong bayi. Saya yang sebelumnya punya pekerja rumah tangga sekarang sendiri urus dua anak di kosan,” kenangnya.
Baca juga: Memutus Lingkaran Anak Jadi Pelaku Kriminal di Cirebon
Tidak hanya itu, stigma buruk juga melanda pemilik usaha kecantikan ini. Di media sosial, sejumlah warganet menudingnya mencari ketenaran hingga menyebarkan fitnah tentang tindakan asusila bekas suaminya. ”Padahal, saya hanya mencari keadilan untuk putri saya,” ungkapnya.
Menghadapi berbagai masalah, V dan putrinya menerima pendampingan atas rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ia sempat merasakan titik terang ketika JPU menuntut terdakwa dengan 15 tahun dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
Jaksa menilai terdakwa melanggar Pasal 81 Ayat 3 juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 5 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. JPU mendakwa dengan kekerasan fisik serta pencabulan.
Tidak terbukti
Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis penjara 1 tahun 10 bulan dengan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani. Berdasarkan fakta persidangan, termasuk keterangan sembilan saksi, tiga saksi ahli, serta sejumlah visum, terdakwa terbukti melakukan kekerasan fisik pada korban.
Dari hasil visum di RS Sumber Hurip, terdapat luka lecet merah kehitaman di batang hidung korban sepanjang 0,4 sentimeter. Ada juga sejumlah luka lecet kemerahan pada bibir atas bagian dalam dan bibir atas bagian bawah ukuran 0,2 cm. Luka-luka itu jadi bukti kekerasan fisik.
”Hal yang memberatkan (hukumannya), terdakwa ayah sambung korban. Harusnya, dia melindungi anaknya,” ujar Soni, ketua majelis. Status terdakwa sebagai polisi juga jadi hal memberatkan. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan punya anak kecil.
Berbeda dengan kekerasan fisik, hakim menilai dakwaan kekerasan seksual tidak terbukti. Hakim tidak menemukan bukti kuat adanya empat kali pencabulan oleh terdakwa terhadap korban. Peristiwa itu terjadi pada 18-20 Agustus dan waktu lainnya pada Agustus 2022.
Hakim menyimpulkan tidak ada pencabulan pada 18-20 Agustus. Menurut saksi, yang juga atasan dan rekan terdakwa di kepolisian, Chumaedi saat itu sedang bertugas dan tidak bersama korban. Begitupun dengan kejadian keempat, yang hari dan waktunya tidak diketahui korban.
Menurut hakim anggota, Harry Ginanjar, keterangan korban soal kekerasan seksual tidak konsisten menurut saksi ahli psikolog. ”Korban mengalami trauma situasi keluarga. Orangtuanya bercerai dan dia merindukan sosok ayah yang melindungi,” ujarnya sesuai keterangan psikolog.
Hasil visum dari RS Paru Sidawangi pada 8 September menunjukkan adanya robekan selaput dara alat vital korban. Namun, penyebabnya bisa karena kekerasan seksual, bawaan dari lahir, atau jatuh. ”Hakim menilai visum tidak mempunyai keterkaitan bukti persetubuhan,” katanya.
Penasihat hukum terdakwa, Abdi Mujiono, mengapresiasi putusan hakim yang membuktikan tidak ada pencabulan dan persetubuhan kepada korban. Ia mengakui, terdakwa melakukan kekerasan fisik dengan menampar korban. Namun, kliennya tida bermaksud menyakiti korban.
”Dalam pembelaan, kami meminta (terdakwa) bebas. Makanya, kami masih pikir-pikir atas putusan penjara 1 tahun 10 bulan itu,” ujarnya.
Hetta Mahendrati, penasihat hukum korban, menyayangkan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan keterangan korban sebagai bukti. Padahal, korban mengalami trauma akibat kekerasan oleh terdakwa. Ia pun menampik tudingan korban memanipulasi keterangan.
Ia juga mempertanyakan saksi ahli piskolog yang memeriksa korban. Padahal, pihaknya sudah mengajukan psikolog lainnya, tetapi ditolak. ”Kami mohon jaksa banding dan Pengadilan Tinggi (Bandung) bisa memberikan rasa keadilan bagi korban,” ujarnya.
V menilai, majelis hakim dan JPU belum jeli dalam menangani kasus itu. Ia, misalnya, pernah meminta adanya rekonstruksi kejadian, tetapi ditolak. V juga ragu dengan bukti terdakwa sedang piket saat kejadian yang hanya berdasarkan keterangan saksi, bukan kamera pemantau (CCTV).
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon Ivan Yoko Wibowo menghormati putusan majelis hakim itu. Menurut dia, JPU telah berupaya maksimal membuktikan kasus kekerasan seksual terdakwa terhadap korban dengan menghadirkan saksi-saksi dan visum.
Apalagi, katanya, keterangan korban merupakan salah satu bukti kasus kekerasan seksual. Pihaknya pun akan mengajukan banding. ”Apakah nanti ada dasar hukum yang lain, kami akan lihat di memori banding,” kata Ivan.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Cirebon Raya Siti Nuryani menilai, putusan hakim bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum atas korban kekerasan fisik dan seksual pada anak. ”Nanti ada anggapan, pelaku kekerasan pada anak itu hukumannya ringan,” ujarnya.
Kondisi ini dapat memperburuk nasib korban yang sebelumnya sudah mendapat stigma buruk. Selama ini, katanya, korban kekerasan seksual kerap disalahkan dan dianggap aib. Itu sebabnya, korban biasanya enggan melaporkan kasusnya. Padahal, banyak kasus serupa di Cirebon.
Sepanjang 2022, Polresta Cirebon menangani 25 kasus pencabulan. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 31 kasus. Sebagian besar korbannya anak-anak yang relasi kuasanya timpang dengan pelaku.
Vonis ringan terhadap polisi terdakwa kekerasan fisik dan seksual pada anak tirinya, ujarnya, ironi dengan upaya perlindungan anak di Cirebon. ”Jangan sampai Kabupaten Cirebon Layak Anak hanya sekadar jargon saja. Korban harus mendapatkan keadilan,” kata Nuryani.
Baca juga: Penyandang Disabilitas di Cirebon Kembali Menjadi Korban Kekerasan Seksual