Memutus Lingkaran Anak Jadi Pelaku Kriminal di Cirebon
Puluhan anak menjadi pelaku kriminal di Cirebon, Jawa Barat, dalam dua tahun terakhir. Mereka terlibat peredaran uang palsu, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang korbannya juga berusia anak.
Puluhan anak menjadi pelaku kriminal di Cirebon, Jawa Barat, dalam dua tahun terakhir. Mereka terlibat peredaran uang palsu, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang korbannya juga berusia anak. Tindakan itu menjadi potret dari persoalan pola asuh keluarga hingga impitan ekonomi.
Empat anak, berusia rata-rata 16 tahun, duduk tertunduk di halaman Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, Rabu (8/2/2023). Topeng menutupi wajahnya. Hanya hidung, mulut, dan dua mata yang terlihat. Sorot mata dan bentuk tubuh mereka tidak bisa menyembunyikan usia yang belia.
Keempat anak itu berinisial T, EP, S, dan BS. Mereka termasuk dari tujuh tersangka pengeroyokan yang ditangkap polisi. Tiga pelaku lainnya, yakni AS, SP, dan R berusia dewasa atau di atas 18 tahun. Polisi juga masih mengejar tiga tersangka lagi yang masih berusia anak.
Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Ariek Indra Sentanu memaparkan, kasus penganiayaan yang melukai dua remaja itu terjadi pada Minggu (29/1/2023) pukul 00.30 di Jalan Prujakan, Pekalangan, Kota Cirebon. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Cirebon Prujakan.
Awalnya, pada Sabtu (28/1/2023) malam, T, SP, dan seorang tersangka yang sedang buron tengah asyik menenggak minuman keras. Dalam kondisi mulai mabuk, ketiganya nekat mengendarai sepeda motor keliling kota sambil menenteng celurit.
Mereka bertemu R, AS, S, EP, dan BS yang membawa katana di jalan. Tiga tersangka, yang masih buron, juga ikut. Sesampainya di Jalan Prujakan, tersangka menemui lima korban yang juga naik sepeda motor. “Mereka meneriaki korban seakan-akan lawan (gengnya),” ujarnya.
Seorang korban memelas, bahwa mereka bukan geng motor seperti yang diutarakan para tersangka. Namun, tersangka gelap mata dan menendang sepeda motor korban. Saat dua korban terjatuh, tersangka mengeroyoknya dengan celurit dan katana.
Polisi yang berpatroli saat itu menemukan korban terkapar. “Tidak lebih dari 24 jam, polisi sudah menangkap tujuh tersangka,” ungkap Ariek. Dari tersangka, polisi menyita dua sepeda motor dan sebilah celurit sepanjang 60 sentimeter.
Tersangka, termasuk empat anak, itu terancam penjara maksimal sembilan tahun karena diduga melanggar Pasal 170 Ayat 2 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan luka berat. Mereka yang seharusnya menuntut ilmu, kini menghadapi tuntutan jaksa atas kejahatannya.
“Kata kakak, saya sudah dikeluarin dari sekolah. Kemarin sudah ketemu orangtua. Katanya, kamu ini kelakuan masih begini saja,” ucap T menirukan ungkapan orangtuanya. Anak nelayan ini tadinya adalah siswa kelas VIII di salah satu sekolah menengah pertama di Cirebon.
Anak terakhir dari tujuh bersaudara ini berdalih terlibat pengeroyokan untuk membantu temannya yang telepon genggamnya diduga dicuri korban. Namun, polisi menepis alasan itu. Kasus itu, menurut polisi, murni penganiayaan.
Puluhan anak
Tindakan T dan rekannya menambah daftar panjang kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di wilayah Cirebon. Menurut Pasal 11 UU No11/2012 terkait pidana anak, ABH adalah anak berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Selama 2021, polisi menangani 20 kasus ABH dengan tersangka mencapai 56 anak. Jumlah itu menurun dibandingkan 2022 dengan 10 kasus ABH dan 12 tersangka. Artinya, sebanyak 68 anak terlibat kriminalitas dua tahun terakhir. Ini belum termasuk lima kasus ABH awal tahun 2023.
Sebanyak 48 anak terlibat pengeroyokan, 11 anak tertangkap karena punya senjata tajam, serta tiga anak lainnya melakukan pencabulan. Dua anak juga terlibat pencurian dengan kekerasan. Tiga anak lainnya masing-masing tersangka pencurian motor, uang palsu, dan pemerasan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ciko Ajun Komisaris Perida Apriani Sisera menuturkan, kegiatan rutin yang ditingkatkan melalui patroli setiap Jumat dan Sabtu malam telah mengurangi kasus ABH. Namun, upaya penegakan hukum itu belum mampu menyelesaikan persoalan.
“Kasatreskrim kalau malam minggu, nangkepin anak-anak. Di sini (polres) ramai, sudah kayak pasar. Besoknya, orangtua mereka datang, menangis, dan minta anaknya dipulangkan. Apakah harus kami terus yang menangani ini? Mereka kan anak-anak kita,” ungkap Perida.
Tawuran antar remaja kerap terjadi pukul 01.00 – 04.00 pada akhir pekan. Pihaknya telah berupaya mencegahnya dengan patroli. Namun, mereka kerap berpindah tempat. Apalagi, pelaku menggunakan kode saling tantang via akun media sosial atau dikenal dengan tawuran konten.
Selama 2021, polisi menangani 20 kasus ABH dengan tersangka mencapai 56 anak. Jumlah itu menurun dibandingkan 2022 dengan 10 kasus ABH dan 12 tersangka. Artinya, sebanyak 68 anak terlibat kriminalitas dua tahun terakhir. Ini belum termasuk lima kasus ABH awal tahun 2023.
Perida pun meminta orangtua untuk mengawasi anak-anaknya, terutama saat keluar malam hari. “Dalam beberapa kasus, pelaku anak ini ada yang pernah jadi korban kekerasan orang dekatnya. Anak yang terlibat uang palsu juga korban broken home, orangtuanya tidak ada di sini,” ujarnya.
Itu sebabnya, pihaknya menginisiasi pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Terpadu yang melibatkan berbagai pihak untuk mencegah kasus ABH. Selain instansi, seperti dinas pendidikan, satgas itu juga menyertakan sejumlah lembaga pemerhati anak.
Kepala Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah X Jabar Ambar Triwidodo sepakat adanya pelibatan berbagai pihak untuk mencegah ABH. Apalagi, sejumlah siswa menengah atas juga ikut tawuran. “Ada anggapan, yang mau jadi jagoan harus ikut di salah satu sekolah,” ujarnya.
Pihaknya pun menggelar pertemuan rutin sebulan sekali dengan dengan wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dan guru bimbingan konseling untuk mencegah kasus itu. Pihaknya tengah mencanangkan program tujuh hari berkarakter yang berisi kegiatan positif siswa selama sepekan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Cirebon Fifi Sofiah mengingatkan agar sekolah ramah anak tidak sekadar jargon. “Ada keluhan kalau anak-anak enggak suka cara gurunya mengajar atau mata pelajarannya. Belum lagi kasus kekerasan di sekolah,” ucapnya.
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Cirebon Junny Setyawati menambahkan, perkembangan otak anak belum sepenuhnya sempurna sehingga belum bisa memutuskan yang tepat. Mereka juga punya kecenderungan berbuat sesuatu yang berisiko. Oleh karena itu, anak-anak membutuhkan polah asuh orangtua. Pendekatannya pun tidak bisa sama untuk semua anak.
“Ada anak yang harus diawasi sepenuhnya, ada juga yang tidak. Jadi, mereka tidak bisa langsung disalahkan. Yang harus dididik itu juga orangtuanya,” ungkapnya.
Asih Widiyowati, pendiri Umah Ramah, lembaga yang fokus pada isu perempuan dan anak, menilai, selain pola asuh, impitan ekonomi turut memengaruhi kasus ABH. Ia mencontohkan, orangtua sulit menjaga anaknya karena harus mengadu nasib ke luar negeri untuk mencari uang.
Masalah lainnya adalah stigma buruk masyarakat terhadap anak. “Lingkungan mengecap anak itu nakal. Akhirnya, dia merasa semua orang enggak suka dengan dirinya. Dia pun memilih melakukan hal buruk. Sekolah juga harus berperan di sini. Ingat, setiap anak itu unik,” kata Asih.
Stigma itu menjadi salah satu masalah bagi anak setelah menjalani pidana, selain kesulitan mendapat pekerjaan. “Semua pihak harus memikirkan masalah ini. Ingat, anak-anak ini generasi penerus bangsa,” ucapnya.
Baca juga: ”Konten” Saling Tantang di Cirebon Kembali Mencabut Nyawa Pelajar