Cabuli Anak Tiri hingga Hamil, Pelaku Lansia Dibekuk Polisi di Kapuas
Kalteng masih belum terlepas dari kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Di Kapuas, polisi menangkap seorang lansia pelaku persetubuhan di bawah umur terhadap anak tirinya hingga hamil.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
POLRES KAPUAS
Suasana jumpa pers Polres Kapuas terkait sejumlah kasus kriminal di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Selasa (14/3/2023).
KUALA KAPUAS, KOMPAS – Aparat Kepolisian Resor Kapuas menangkap Bahri (71) pelaku pencabulan terhadap anak tiri sendiri yang berusia 17 tahun di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pelaku sudah mencabuli korban sejak 2021 lalu hingga kini korban hamil besar.
Hal itu disampaikan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kapuas Inspektur Satu Iyudi Hartanto, saat jumpa pers di Kapuas, Selasa (14/3/2023). Iyudi memberikan keterangan bersama Kepala Polres Kapuas Ajun Komisaris Besar Qori Wicaksono.
Iyudi mengungkapkan, kasus persetubuhan di bawah umur ini terungkap setelah warga sekitar rumah korban heran dengan perut korban yang terus membesar. Masyarakat kemudian melaporkan kepada aparat kepolisian sehingga dilakukan penyelidikan.
Korban, lanjut Iyudi, tinggal bersama Bahri, ibu kandungnya, dan ibu tirinya. Ibu korban merupakan istri kedua dari pelaku. Kedua istrinya tinggal satu atap bersama pelaku di Bataguh, Kabupaten Kapuas.
POLRES KAPUAS
Kasatreskrim Polres Kapuas Iptu Iyudi Hartanto (kiri) bertanya kepada pelaku persetubuhan di bawah umur yang dilakukan ayah terhadap anak tirinya sendiri di Kapuas, Kalimantan Tengah, Selasa (14/3/2023).
Polisi, lanjut Iyudi, bersama petugas dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kapuas melakukan pendekatan terhadap korban untuk menggali keterangan. Sejak pertama diambil keterangan, korban sudah diungsikan di Rumah Aman Kabupaten Kapuas.
”Sulit sekali (mengambil keterangan) awalnya, karena saat ditanya korban hanya bisa menangis. Tetapi, akhirnya korban buka suara soal perilaku ayah tirinya,” ungkap Iyudi.
Dari keterangan korban, kata Iyudi, pelaku menyetubuhi korban pada pertengahan 2021. Saat itu, yang diingat korban, kedua istri pelaku sedang tidak di rumah. Pada pagi hari saat kedua istri pelaku sedang bekerja di luar rumah, pelaku memaksa korban melakukan hubungan badan dan mengancam korban agar tidak mengadu ke ibunya.
Terakhir kali, persetubuhan itu terjadi pada 8 Maret 2023 di rumah pelaku. Saat itu kedua istri pelaku juga sedang keluar rumah, lalu pelaku memanggil korban ke kamarnya dan menyetubuhinya di kamar itu.
Pelaku kemudian memberikan uang Rp 10.000 kepada korban agar tidak memberitahukan hal itu ke ibunya. Korban saat itu sudah hamil. “Keluarga pelaku dan korban tidak ada yang tahu kejadian itu, bahkan mereka baru tahu kalau korban hamil saat kasus ini sudah ditangani kepolisian,” tambah Iyudi.
Pelaku diancam minimal lima tahun penjara sesuai dengan Pasal 81 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Qori Wicaksono mengatakan, kasus ini tidak berhenti pada penanganan pidana, tapi juga pendampingan psikologis korban. Apalagi, korban masih di bawah umur. Kepolisian menyediakan psikolog melalui UPT PPA Polres Kapuas.
Pemulihan korban jadi bagian paling penting dalam fenomena sosial di Kalteng itu.
”Pendampingan dilakukan paling tidak sampai korban bisa bersosialisasi kembali ke tengah masyarakat dan terutama keluarga,” kata Qori.
Pihaknya juga meminta keluarga besar korban untuk menerima korban tanpa menghakimi karena kondisinya yang masih mengandung anak di usia belia. Menurut dia, selain pendampingan dari pihak luar, kehadiran keluarga menjadi kunci untuk menghilangkan trauma korban terhadap pelaku dan keluarga.
Qiru mengatakan kasus pelecehan seksual atau persetubuhan yang dilakukan di dalam keluarga ini menjadi pekerjaan rumah banyak pihak untuk mengatasinya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam "Save Our Sister" berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018).
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, persoalan kekerasan seksual terhadap anak tidak akan selesai dengan memenjarakan pelaku. Pemulihan korban jadi bagian paling penting dalam peristiwa yang telah menjadi fenomena sosial di Kalteng itu.
Kekerasan seksual, lanjut Winda, disebut fenomena sosial di Kalteng karena saat ini wilayah tersebut masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.