Sebagian Anak di Kalteng Terkurung Kasus Kekerasan Seksual
Kalimantan Tengah belum keluar dari situasi darurat kekerasan seksual. Selama Januari setidaknya empat kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur ditangani aparat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Pelecehan seksual terhadap anak di Kalimantan Tengah masih bermunculan selama Januari 2023. Setidaknya empat kasus kekerasan dan pelecehan seksual sedang ditangani aparat kepolisian.
Salah satunya kasus pencabulan terhadap dua anak berumur enam dan tujuh tahun di sebuah perkebunan sawit. Pelakunya TTB (45) langsung ditangkap aparat Polsek Antang Kalang pada Kamis (26/1/2023).
Kepala Polsek Antang Kalang Inspektur Satu Affandi menjelaskan, pelaku adalah buruh di salah satu perkebunan sawit di Kecamatan Antang Kalang, Kotawaringin Timur. Kedua korban merupakan anak buruh sawit lain yang tinggal bersama pelaku di kompleks mess. Pencabulan terjadi di tempat tinggal pelaku.
"Pelaku ditangkap polisi setelah mendapat laporan dari ibu korban," kata dia.
DOKUMENTASI POLRES LUMAJANG
Ilustrasi kekerasan anak
Peristiwa lain terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng. Ardiansyah (51) ditangkap polisi karena mencabuli anak berusia 11 tahun.
Kepala Polres Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Besar Bayu Wicaksono mengungkapkan, pencabulan dilakukan Ardiansyah di belakang rumahnya. Lokasinya berupa tanah lapang yang tertutup ilalang.
“Peristiwa itu berawal dari korban yang bermain telepon pintar di bawah pohon yang tak jauh dari rumah pelaku. Tersangka datang dan mengajak korban ke belakang rumahnya,” kata Bayu.
Bayu menjelaskan, korban sempat menolak ajakan pelaku. Namun, pelaku memaksa dan membujuk dengan iming-iming dibelikan es krim. Pelaku sempat mengajak korban menonton film porno bersama korban.
“Setelah itu korban diajak bermain di semak-semak, korban menolak, tapi pelaku menarik korban dengan paksa hingga didorong dan terjatuh. Saat itu pelaku membuka pakaian korban,” kata Bayu.
Korban sempat kabur. Namun saat berlari kabur, korban jatuh tersandung kayu. Kayu itu sempat digunakan korban untuk memukul pelaku. Hanya saja, hal itu tidak melenyapkan niat jahat pelaku.
“Korban lantas disetubuhi. Pelaku sempat memberikan Rp 100.000 kepada korban agar tidak memberitahu kepada siapapun,” ungkap Bayu.
Akan tetapi, uang itu tidak mampu menutup mulut korban. Dia melaporkan ulah pelaku pada keluarganya. Hal itu menjadi dasar bagi polisi untuk menahannya.
Pelaku dijerat Pasal 81 ayat 1 atau Pasal 82 ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 01 tahun 2016 tentang perubahan kedua atau UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tersangka bisa dipenjara hingga 15 tahun.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Pelajar dari berbagai wilayah di Sumatera Barat menggelar aksi solidaritas menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia di kawasan Jalan Sudirman Kota Padang, Minggu (25/5). Lewat aksinya, mereka mengajak warga untuk ambil bagian dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan asusila.
Setidaknya sejak 2020, kasus kekerasan seksual rawan terjadi di Kalteng. Ironisnya, sebagian besar pelaku merupakan orang-orang dekat para korban.
Sepanjang 2020, Polda Kalteng mencatat 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di provinsi itu. Jumlah itu meningkat pada 2021 dengan 85 kasus kekerasan dan 22 kasus kekerasan fisik. Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Barat menjadi dua wilayah dengan kasus terbanyak, masing-masing 11 kasus dan 15 kasus, di tahun 2021.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng, Margaretha Winda Febiana Karotina menjelaskan, bertambahnya kasus membuktikan Kalteng sulit keluar dari situasi darurat kekerasan seksual perempuan dan anak. Namun, penyelesaiannya masih sebatas pidana. Pendampingan pada korban masih kerap dilupakan.
“Korban di bawah umur tentunya akan mengalami trauma usai mendapatkan perilaku kekerasan maupun pelecehan seksual. Untuk bisa keluar dari trauma itu membutuhkan waktu dan pendampingan,” ungkap Winda.
Winda menambahkan, korban berhak mendapatkan pendampingan secara psikologis dan kebutuhan penguat lainnya. “Sudah saatnya pemerintah tak hanya tegas terhadap pelaku, tetapi memberikan hak-hak perlindungan terhadap korban,” katanya.