Menanti Eksekusi Lelang Aset atas Kebakaran di Rawa Tripa
Tujuh tahun lebih pascaputusan Mahkamah Agung, eksekusi aset PT Kallista Alam, terdakwa pembakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, tak kunjung dilakukan. Lahan perlu segera dipulihkan.
Lebih dari sepekan asap tebal dari lahan gambut yang terbakar menyelimuti Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, awal 2012. Jarak lahan yang terbakar dengan desa hanya sekitar 2 kilometer.
Hasbullah (47), Ketua Pemuda Desa Pulo Kruet, saat itu sempat panik. Anaknya yang berusia empat tahun mengalami demam dan batuk-batuk. ”Kami kira sedang musim demam, padahal karena pengaruh asap,” kata Hasbullah mengenang peristiwa itu, Selasa (21/2/2023).
Kebakaran itu terjadi di lahan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Kebakaran masif terjadi pada periode 2010-2012, tetapi Hasbullah mengingat pada awal 2012 itulah kebakaran terparah terjadi. Lahan yang terbakar itu berada di wilayah konsesi atau hak guna usaha (HGU) PT Kallista Alam, sebuah perusahaan perkebunan sawit.
Baca Juga: Ekspansi Sawit Picu Lahan Gambut Rawa Tripa Menyusut
Total luas lahan yang terbakar mencapai 1.000 hektar atau setara dengan 925 kali lapangan sepak bola profesional. Sebagian lahan masuk dalam wilayah geografis Desa Puloe Kruet. Sebagian lahan gambut yang terbakar juga berkedalaman lebih dari 3 meter artinya masuk dalam kawasan lindung.
Selain mengganggu warga yang tinggal di Desa Pulau Kruet dan desa di Kecamatan Darul Makmur lainnya, kebakaran lahan gambut Rawa Tripa yang menjadi habitat utama orangutan sumatera itu juga mematikan satwa. Tidak terhitung jumlah satwa yang mati akibat kebakaran waktu itu.
”Kami tidak terlalu paham hukum, tetapi berharap putusan dijalankan dan sebagian lahan diberikan hak kelola kepada warga,” kata Hasbullah.
Gugatan
Kebakaran itu membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan gugatan pada 2012. Melalui serangkaian persidangan yang panjang dan rumit di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, hingga Mahkamah Agung (MA), hakim menjatuhkan sanksi pada perusahaan
Baca Juga: Tujuh Tahun Pascaputusan, Eksekusi Sita Aset Perusahaan Pembakar Rawa Tripa Belum Dilakukan
MA telah mengeluarkan putusan Nomor 651 K/pdt/2015. Perusahaan tersebut divonis sengaja membakar lahan untuk menanam kelapa sawit. Dalam putusan itu hakim menjatuhkan hukuman denda kepada PT Kalista Alam sebesar Rp 366 miliar dengan rincian Rp 114,3 miliar ke kas negara dan Rp 251,7 miliar untuk dana pemulihan lahan.
Namun, perusahaan berupaya melawan dengan melakukan sejumlah gugatan. Usaha itu kandas setelah pada tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung (MA) tetap memenangkan KLHK.
Kini, lebih dari tujuh tahun setelah inkrah, putusan itu belum dieksekusi. Perusahaan yang seharusnya membayar secara sukarela juga tidak kunjung menunaikan kewajibannya.
Dalam putusan MA disebutkan, jika perusahaan tidak membayar secara sukarela, aset perusahaan berupa sebidang tanah HGU, bangunan, dan tanaman di atasnya harus dilelang, hasilnya dipakai untuk ganti rugi dan pemulihan lahan.
Hasbullah termasuk salah seorang warga yang mendesak agar eksekusi segera dilakukan. Dia ingin lahan gambut bekas terbakar itu dipulihkan agar keseimbangan alam tetap terjaga.
Baca Juga: Tanpa Batas yang Jelas, Perambahan Rawa Singkil Sulit Dihentikan
Koalisi lembaga masyarakat sipil juga pernah membuat petisi di laman Change.org terkait eksekusi itu. Hingga Selasa (21/2/2023) jumlah penanda tangan mencapai 217.730 orang. Diskusi dan aksi juga digelar, tetapi tuntutan percepatan eksekusi itu belum dilakukan.
Hingga kini, lahan bekas terbakar dibiarkan telantar dan tidak ada aktivitas pemulihan. Bahkan, sebagian lahan tersebut justru telah dirambah oleh warga untuk ditanami kelapa sawit. Adapun aktivitas perkebunan di kawasan HGU PT Kallista Alam berjalan seperti biasa.
Penghitungan aset
Dalam wawancara via Zoom,November 2022, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan, eksekusi lelang aset PT Kallista Alam baru dapat dilakukan setelah tim Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menghitung nilai aset obyek lelang. Tim itu merupakan lembaga penyedia jasa penghitungan nilai aset yang ditunjuk oleh KLHK.
Baca Juga: Lambat, Restorasi Lahan Gambut
Pada Februari 2019, KLHK menunjukkan KJPP Pung’s Zulkarnain, tetapi tim ini gagal masuk ke PT Kallista Alam lantaran ada penolakan dari karyawan dan warga. Alhasil KJPP tersebut mundur.
KLHK kemudian menunjuk KJPP baru, yakni KJPP Mushofah Mono Igfirly dan Rekan, untuk menghitung nilai aset Kallista Alam. Pada Mei 2022, tim penilaimencoba mengakses masuk ke perusahaan, tetapi kembali gagal.
”Tim appraisalsudah meminta pengawalan kepada Kepolisian Daerah Aceh, tetapi (Polda) meminta hingga kondisi menjadi kondusif baru turun ke lapangan,” kata Ragil.
Ragil menangkap ada kekhawatiran karyawan bahwa aset perusahaan akan disita sehingga mereka terancam kehilangan pekerjaan. Padahal, tim appraisal hanya menghitung nilai aset yang dijadikan obyek lelang, bukan menyita. ”Polda menginginkan ada sosialisasi terlebih dahulu agar tidak terjadi penolakan,” kata Ragil.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy menyarankan agar tim KJJP menunggu situasi lebih kondusif baru turun ke lokasi perusahaan. ”Jangan sampai ada perlawanan dari karyawan dan warga yang pekerja di perusahaan. Kami tidak mau ada keributan karena saat ini citra Polri sedang disorot,” tutur Winardy. Winardy mendorong perusahaan untuk membayar denda secara sukarela supaya perkara ini tidak berlarut-larut.
Baca Juga: Potensi Ekonomi Pangan Lahan Gambut
Manager Sumber Daya Manusia PT Kallista Alam Sulaiman melalui sambungan telepon pernah mengatakan, sebaiknya eksekusi tidak dilakukan sebab perusahaan akan membayar secara sukarela. Adapun Humas PT Kallista Alam Sumarno, yang ditemui pada Kamis (16/2) mengatakan, meski telah ada putusan tetap, luas lahan yang terbakar masih bisa diperdebatkan atau lebih kecil dari yang tertera dalam dokumen putusan. Menurut Sumarno perusahaan tidak sengaja, tetapi api melompat karena dibawa angin.
Terkait rencana eksekusi lelang aset, Sumarno, mengatakan, hal itu telah membuat para pekerja resah karena takut kehilangan pekerjaan. Selain itu, kata Sumarno, hingga kini belum ada regulasi yang jelas bagaimana teknis pemulihan lahan.
Sebagian lahan tersebut justru telah dirambah oleh warga untuk ditanami kelapa sawit. Adapun aktivitas perkebunan di kawasan HGU PT Kallista Alam berjalan seperti biasa.
Sementara itu, Bagus Erlangga dari Humas Pengadilan Negeri Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, mengatakan, lelang aset baru dapat dilakukan jika tim penilaitelah menghitung nilai aset. ”Dalam perkara ini putusannya adalah eksekusi lelang aset, bukan eksekusi sita aset. Posisi kami saat ini menunggu penghitungan dari tim appraisal sebagai syarat untuk lelang aset,” kata Bagus.
Bagus mengatakan, pihaknya ingin perkara ini cepat tuntas, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa jika tim penilai belum menghitung nilai aset.
Direktur Aliansi Peduli Lingkungan (Apel) Aceh Syukur Tadu mempertanyakan keseriusan para pihak melakukan eksekusi terhadap putusan atas PT Kallista Alam. Syukur menilai negara tidak berkomitmen melaksanakan putusan pengadilan. ”Putusan sudah sampai pada kasasi, tidak ada lagi upaya hukum. Seharusnya pengadilan negeri langsung melakukan eksekusi,” kata Syukur.
Syukur menuturkan, jika putusan itu tidak dieksekusi, akan menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum di sektor lingkungan. Negara dianggap kalah dengan perusahaan.
Baca Juga: Kawasan Konservasi Rawa Singkil Dirambah untuk Perkebunan Sawit
Pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA), Monalisa, menuturkan, kini lahan gambut Rawa Tripa kian menyusut karena okupansi untuk perkebunan sawit baik oleh perusahaan maupun warga. Penyusutan lahan gambut memicu kebakaran lahan dan banjir. Warga pun kehilangan mata pencarian nonhutan.
Lahan gambut Rawa Tripa sejatinya menyimpan banyak potensi, seperti vegetasi, satwa liar, perikanan darat, dan kawasan estuaria. ”Kerusakan lahan gambut membuat potensi itu hilang. Kini ikan limbek (Clarias sp) semakin sulit didapat,” kata Monalisa.
Monalisa menaruh harapan pada lahan gambut 1.000 hektar yang masuk dalam obyek pemulihan. Namun, apa hendak dikata perusahaan tidak kunjung membayar denda dan lelang aset tidak kunjung dilakukan.