Tanpa Batas yang Jelas, Perambahan Rawa Singkil Sulit Dihentikan
Perambahan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singil di Aceh masih sulit dihentikan karena tidak ada batas wilayah yang jelas dan penegakan hukum belum jadi pilihan utama perlindungan.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Perambahan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singil di Aceh masih sulit dihentikan karena tidak ada batas wilayah yang jelas dan penegakan hukum belum jadi pilihan. Kepentingan ekonomi warga menjadi alasan pembiaran perambahan.
Hal itu menjadi kesimpulan diskusi tematik ”Masa Dewan Rawa Singkil” yang digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Kamis (4/11/2021). Diskusi tersebut menghadirkan perwakilan dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kepolisian, dan akademisi.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengatakan, Suaka Margasatwa Rawa Singkil berbatasan langsung dengan lahan-lahan warga sehingga tidak memiliki area pengaman. Kondisi ini rawan terhadap perambahan. Selain itu, belum semua titik juga dipasangi batas wilayah.
Temuan Kompas, pada 25 Oktober 2021, kawasan konservasi di bagian tepi di Kecamatan Trumon Timur telah ditanami kelapa sawit. Belum ada data konkret berapa luas lahan yang dirambah, tetapidari tepi kawasan hingga sekitar 1 kilometer ke dalam telah ditanami sawit.
Usia sawit beragam dari setahun hingga ada yang telah masa panen. Terlihat juga lahan yang sedang terbakar dan gundul. Di lokasi itu telah dipasangi papan larangan beraktivitas dan garis polisi. Namun, orang-orang masih beraktivitas di dalam kawasan.
Suaka Margasatwa Rawa Singkil ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan tahun 1998 dengan luas 102.500 hektar. Namun, pada 2016 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menurunkan luasan menjadi 81.802 hektar. Suaka margasatwa itu terletak di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
”Setiap bulan kami melakukan patroli. Kami berharap masyarakat ikut serta dalam pelestarian Rawa Singkil,” kata Agus.
Terkait perambahan di titik yang baru, Agus mengatakan, pada 2015 dan 2019 telah dilakukan penindakan hukum atas kasus perambahan. Sebagian lahan yang telajur dirambah telah direhabilitasi. Namun, di sisi lain, perambahan masih terus terjadi.
Kepala Kepolisian Resor Aceh Selatan Ajun Komisaris Besar Polisi Ardanto Nugroho menuturkan, penegakan hukum bukan jalan keluar utama untuk melindungi Rawa Singkil. Pencegahan dengan cara mendampingi warga di sekitar kawasan penting agar mereka tidak merambah.
”Permasalahan ekonomi memang tidak bisa dimungkiri. Keterbatasan pengetahuan masyarakat dan kelemahan regulasi menjadi titik lemah menjaga keberlangsungan ekosistem,” kata Ardanto. Ia menegaskan, penegakan hukum menjadi pilihan terakhir setelah terjadi perambahan berulang dan telah dilakukan pendampingan.
Sementara itu, Direktur Konservasi Yayasan Ekosistem Lestari Yakob Ishadamy mengatakan, Rawa Singkil merupakan ekosistem biosfer. Sebagai rawa gambut, Rawa Singkil juga rumah besar orangutan sumatera. Yakob berharap pemerintah menyusun rencana pengelolaan ekosistem gambut Aceh.
”Pembukaan lahan menjadi lahan sawit harus dihentikan. Perambahan di area lindung masih terjadi dan itu harus dipulihkan,” kata Yakob.