Ekosistem Pertembakauan Jatim di Tahun Menantang
Setelah diterpa pandemi Covid-19 berkepanjangan, ekosistem pertembakauan berupaya memulihkan kinerjanya di tahun 2023. Namun, ikhtiar itu menghadapi tantangan seiring mencuatnya rencana revisi peraturan perundangan.
Setelah diterpa pandemi Covid-19 berkepanjangan, ekosistem pertembakauan di Jawa Timur berupaya memulihkan kinerjanya di tahun 2023. Namun, ikhtiar itu menghadapi tantangan seiring mencuatnya rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012.
Jawa Timur merupakan sentra ekosistem tembakau terbesar nasional yang berkembang dari hulu hingga hilir. Badan Pusat Statistik mencatat, Jatim memiliki area perkebunan tembakau seluas 101.800 hektar (ha) pada 2021. Perkebunan tersebut menjadi yang terluas di Tanah Air.
Seiring luasnya area perkebunan tembakau, produksi tembakau di Jatim menjadi terbesar nasional, yakni 110.800 ton pada 2021. Besarnya produksi tembakau tersebut menggerakkan industri pengolahan atau manufaktur, terutama yang memproduksi rokok.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim Iwan mengatakan, pada 2021 output industri hasil tembakau (IHT) menempati urutan kedua terbesar dari total output industri manufaktur di Jatim. Kontribusinya sebesar 7,85 persen terhadap total produk domestik regional bruto (PDRB) Jatim atau 24,7 persen terhadap PDRB industri pengolahan Jatim.
Baca Juga: Kenaikan Pengeluaran untuk Rokok Tingkatkan Risiko Anak Stunting
”IHT Jatim juga menghasilkan cukai tembakau sebesar Rp 115,10 triliun atau 61 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional sebesar Rp 188,80 triliun. Dengan demikian, Jatim menjadi penyumbang cukai hasil tembakau terbesar nasional,” ujar Iwan, Rabu (22/2/2023).
Ekspor tembakau dan produk-produk hasil tembakau juga turut menyumbang devisa negara. Neraca ekspor impor untuk komoditas tembakau selalu surplus sepanjang tahun 2017-2021 pada kisaran 67,91 juta dollar AS sampai 189 juta dollar AS. Salah satu tantangan industri tembakau saat ini adalah impor bahan baku tembakau virginia dan tembakau oriental masih cukup dominan.
Iwan menambahkan di wilayahnya terdapat 425 perusahaan pengolah tembakau. Perusahaan itu mempekerjakan lebih dari 153.000 tenaga kerja. Jumlah tersebut belum termasuk petani tembakau, tenaga kerja pada usaha perdagangan tembakau (ritel dan distribusi), dan petani cengkeh.
Berkaca pada data di atas, tampak jelas ekosistem tembakau menjadi salah satu nadi ekonomi masyarakat di Bumi Majapahit. Namun, kinerja ekosistem tembakau ini tak lepas dari ancaman sejumlah isu strategis. Saat pandemi Covid-19 menerpa, misalnya, IHT harus menghadapi situasi melemahnya daya beli masyarakat.
Hal itu juga memicu peredaran rokok ilegal yang semakin merajalela. Dampak dari maraknya peredaran rokok ilegal ini mengganggu keberlangsungan usaha rokok legal karena disparitas harganya yang cukup tinggi. Disisi lain, rokok ilegal merugikan negara karena tidak membayar pajak cukai dan pajak lainnya seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Baca Juga: Pengusaha Rokok Jatim Desak Pemerintah Segera Terbitkan PMK CHT
”Dalam hal ini, Pemprov Jatim terus berkoordinasi dengan jajaran terkait untuk pemberantasan barang kena cukai ilegal,” ucap Iwan.
Meredanya pandemi Covid-19 sejatinya merupakan momentum yang tepat untuk memacu kinerja ekosistem tembakau Jatim. Namun, kini para pelaku industri hasil tembakau justru harus berhadapan dengan wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 (RPJMN 2020-2024), agenda revisi PP No 109/2012 ditujukan untuk menurunkan prevalensi merokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen pada 2024 serta mendorong hidup sehat.
Ada tujuh poin revisi yang dinilai bakal berdampak signifikan pada keberlangsungan usaha tembakau. Poinnya antara lain penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau. Selain itu, ketentuan rokok elektronik, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi.
Pelarangan penjualan rokok batangan dan pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, serta media teknologi informasi. Poin berikutnya adalah penegakan dan penindakan serta penerapan kawasan tanpa rokok (KTR).
Tolak revisi peraturan
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai draf perubahan PP No 109/2012 cenderung berisi larangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di Nusantara.
”Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” ucap Henry pada acara Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan di Graha Kadin Jatim, Rabu (22/2/2023).
Dia menambahkan, industri hasil tembakau diterpa oleh berbagai peraturan yang sangat menekan, seperti pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi dan pembatasan promosi. Menurut dia, PP No 109/2012 sudah ideal karena mengatur dengan baik kegiatan pemasaran produk tembakau.
Akan tetapi, hal ini belum diikuti dengan kegiatan edukasi serta pengawasan yang tepat. Inilah yang semestinya didorong oleh pemerintah pusat. Revisi peraturan yang sudah baik menjadi restriktif diprediksi bakal berdampak pada jutaan orang yang menopangkan hidupnya pada industri tembakau.
Disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan yang konsisten. Jika pada 2018 terdapat 9,65 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok, jumlahnya menurun menjadi 3,44 persen pada 2022.
”Mengacu pada data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tujuan pemerintah memastikan penurunan angka prevalensi perokok, terutama anak, sudah tercapai. Bahkan, lebih baik daripada yang ditargetkan,” kata Henry.
Kelangsungan budidaya tembakau juga semakin terancam dengan masuknya tembakau impor yang jumlahnya semakin banyak.
Penolakan revisi peraturan juga disuarakan Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Mahmudi. Dia mengatakan, terdapat 27 kabupaten penghasil tembakau di Jatim. Artinya, banyak petani tembakau dan keluarganya yang bergantung pada usaha tani tersebut.
Revisi peraturan dipastikan berdampak pada turunnya harga tembakau karena berkurangnya serapan tembakau petani oleh sektor industri. Padahal, tidak mudah mengubah pola pikir petani tembakau untuk beralih pada komoditas tanaman lainnya karena banyak faktor yang memengaruhi.
”Kelangsungan budidaya tembakau juga semakin terancam dengan masuknya tembakau impor yang jumlahnya semakin banyak,” kata Mahmudi.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan, situasi ekonomi makro secara global tahun ini penuh tantangan karena pengaruh konflik geopolitik dunia. Hal itu akan berdampak pada kinerja ekonomi nasional, terutama kinerja perdagangan luar negeri.
Menghadapi kondisi ekonomi dan politik dunia yang tidak menentu tersebut, menurut Adik, industri hasil tembakau sebagai industri legal dan berkontribusi besar dalam perekonomian nasional sepatutnya diperlakukan secara adil. Selain itu, diberi perlindungan yang sama dengan industri lainnya agar ekosistem pertembakauan nasional mampu berkembang dengan baik.
Anggota Komisi XI DPR RI, Muhamad Misbakhun, meminta pemerintah bersikap bijak dan obyektif dengan melindungi industri hasil tembakau. Alasannya, industri ini menjadi salah satu kontributor penerimaan negara terbesar.
”Ketika mengambil keputusan terkait industri hasil tembakau, hendaknya tidak dilihat pada satu aspek kesehatan saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek lainnya, mulai dari penyerapan hasil pertanian tembakau, kelangsungan lapangan kerja, potensi produk ilegal, hingga potensi penerimaan negara,” ujar Misbakhun.
Sejalan dengan hal itu, Misbahkun menekankan perlunya koordinasi dan kerja sama semua pihak yang terlibat dalam mata rantai industri hasil tembakau untuk memastikan tidak ada upaya intervensi yang dilakukan pihak mana pun dalam pembuatan regulasi nasional terkait tembakau.
”Industri hasil tembakau Indonesia memiliki potensi besar dalam menghidupkan ekonomi masyarakat di Tanah Air, baik yang industri besar maupun industri kecil. Oleh karenanya, diperlukan sebuah kekompakan dan kekuatan yang solid dalam memastikan industri ini tetap terjaga dan berkesinambungan,” tutur Misbakhun.