Kenaikan Pengeluaran untuk Rokok Tingkatkan Risiko Anak ”Stunting”
Pengendalian rokok di Indonesia perlu lebih agresif dan komprehensif lagi. Hal ini semakin urgen untuk mencapai target penurunan prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penelitian terbaru dari Universitas Gadjah Mada menemukan kenaikan 10 persen pada pengeluaran rumah tangga untuk rokok mampu meningkatkan potensi stunting atau tengkes pada anak sebesar 12,8 persen. Secara spesifik, tinggi badan anak dapat menurun 13,66 persen dan penurunan berat sebanyak 19,49 persen.
Penelitian ini berfokus pada pengaruh pengeluaran rokok rumah tangga dan korelasinya dengan tengkes atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat malnutrisi kronis. Data penelitian bersumber dari gelombang empat (2007) dan lima (2014) Indonesia Family Life Survey (IFLS) pada anak berusia lima bulan hingga lima tahun.
Salah satu peneliti sekaligus Wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, mengatakan, peningkatan pengeluaran rokok di rumah tangga berbanding lurus dengan potensi anak mengalami tengkes. Pengaruh ini signifikan baik di rumah tangga miskin maupun non-miskin yang ada di pedesaan dan perkotaan.
Ini (hasil penelitian) perlu dijadikan dasar Kementerian Sosial untuk lebih berani dalam pengawasan agar penerimanya tidak menggunakan bansos untuk membeli rokok.
”Pengaruhnya terlihat lebih besar pada rumah tangga miskin ketimbang non-miskin. Secara tidak langsung pengeluaran per kapita rumah tangga juga meningkat yang membuktikan bahwa rokok memberikan beban pada keuangan rumah tangga,” ucapnya dalam webinar diskusi hasil penelitian yang berjudul ”Kajian Pengaruh Pengeluaran Rokok terhadap Pertumbuhan Anak dan Stunting: Studi Kasus di Indonesia” secara daring di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Peningkatan ini berimplikasi pada penurunan proporsi pengeluaran untuk biaya pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas seorang anak. Hal ini bahkan dapat memicu anak lahir secara prematur (kurang dari 37 minggu) ataupun prematur ekstrem (kurang dari 28 minggu).
Pada akhir pemaparan, dia menyimpulkan, pengurangan pengeluaran rokok di rumah tangga dapat meningkatkan kualitas tumbuh dan kembang anak serta menurunkan potensi tengkes. Untuk mendukung hal tersebut, kebijakan pengendalian tembakau perlu agresif dan komprehensif dengan cukai rokok sebagai ujung tombaknya.
Skema bantuan sosial (bansos) oleh Kementerian Sosial akan diwacanakan untuk mengakomodasi penerima bantuan yang merokok untuk mengikuti program upaya berhenti merokok (UBM) sebagai salah satu persyaratannya.
”Selain itu, penyusunan bantuan untuk masyarakat dapat disisipkan persyaratan komitmen untuk tidak merokok bagi orangtua dan meningkatkan kampanye informasi untuk menekan angka perokok pasif khususnya anak serta perempuan hamil,” tambahnya.
Merujuk hasil survei Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi tengkes pada anak bawah lima tahun (balita) di Indonesia sebesar 24,4 persen pada 2021. Pemerintah menargetkan angka tengkes anak balita dapat diturunkan hingga 14 persen pada 2024. Gumilang berharap, rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijalankan agar mencapai target tersebut.
Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih Turnip mengapresiasi hasil penelitian dan akan menindaklanjutinya. Dia menyinggung penelitian serupa oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Universitas Indonesia terkait rokok berpengaruh nyata pada daya beli masyarakat pada sumber protein hewani dan nabati.
”Data penelitian terkait kesejahteraan juga telah menjadi rekomendasi bagi Kementerian Kesehatan untuk mengadvokasi ancaman rokok yang dapat menyebabkan tengkes,” ucapnya.
Skema bantuan dari hasil cukai rokok telah diupayakan agar diterima rumah tangga perokok untuk menekan angka tengkes pada anak. Walakin, dia menilai kenaikan cukai belum mencukupi dan masyarakat masih mampu membeli rokok. Membuat rokok menjadi mahal dinilai mampu menurunkan prevalensi tengkes pada anak Indonesia.
Hasil penelitian, kata Benget, juga akan digunakan sebagai referensi agar pemerintah daerah turut serta bergerak bersama. Hal ini mengingat sebanyak 73 kabupaten/kota di Indonesia masih belum memiliki peraturan daerah terkait pengendalian tembakau.
Selain itu, skema bantuan sosial (bansos) oleh Kementerian Sosial juga akan diwacanakan untuk mengakomodasi penerima bantuan yang merokok untuk mengikuti program upaya berhenti merokok (UBM) sebagai salah satu persyaratannya. ”Ini (hasil penelitian) perlu dijadikan dasar Kementerian Sosial untuk lebih berani dalam pengawasan agar penerimanya tidak menggunakan bansos untuk membeli rokok,” tambahnya.
Koordinator TimStunting Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sidayu Ariteja juga mengapresiasi hasil penelitian tersebut. Meskipun demikian, pendalaman mulai dari alternatif pengeluaran dan bahan pokok makanan yang digunakan perlu ditambahkan. Ini karena indikator gizi dari makanan berperan besar dalam potensi anak mengalami tengkes.
Untuk kebijakan cukai rokok perlu pengkajian secara komprehensif dan harus tidak kontraproduktif dengan kebijakan kementerian atau lembaga lainnya. Peran kebijakan fiskal dan nonfiskal juga perlu berjalan beriringan dalam pengendalian rokok di Indonesia.