Riset Dinamika dan Tantangan Pembangunan Masyarakat Adat Papua Dipublikasikan
Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua meluncurkan buku yang memuat penelitian tentang persepsi dan dinamika pembangunan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Supiori.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua meluncurkan tiga buku dan sebuah film dokumenter hasil riset dinamika pembangunan bagi masyarakat adat di tengah berbagai perubahan sosial, di Kota Jayapura, Papua, Rabu (15/2/2023). Hasil riset mengungkap, program pembangunan pemerintah bersifat satu arah dan arus investasi yang masif belum berdampak pada kesejahteraan masyarakat adat.
Rangkaian acara peluncuran tersebut digelar di salah satu hotel di Kota Jayapura sejak pukul 10.00 hingga 19.00 WIT. Acara inti dimulai dari pemaparan dari para penulis tentang tiga buku, menonton film dokumenter, serta diskusi bedah buku bersama sejumlah narasumber.
Buku pertama yang diluncurkan berjudul Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi. Adapun buku kedua adalah Geliat Kampung Tersembunyi: Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Jayapura.
Sementara, buku terakhir yang diluncurkan adalah Bayang-bayang Kerentanan: Tantangan Penghidupan Orang Sowek di Supiori. Penulis ketiga buku ini adalah Elvira Rumkabu, Asrida Elisabeth, Apriani Anastasia Amenes, dan I Ngurah Suryawan.
Elvira, selaku perwakilan dari tim penulis tiga buku ini, mengatakan, latar belakang penelitian memotret dinamika serta upaya masyarakat adat dan peran kaum perempuan dalam memaknai pembangunan di daerahnya. Lokasi penelitian di tiga kabupaten, yakni Kampung (desa) Kendate di Kabupaten Jayapura, Kampung Aiwat di Kabupaten Boven Digoel, dan Kampung Rayori di Kabupaten Supiori. Lama penelitian setahun.
Elvira mengungkapkan, terdapat sejumlah poin hasil penelitian di Kampung Aiwat. Ini, antara lain, infiltrasi korporasi, kapitalisme, dan arus masuknya pedagang migran menimbulkan diferensiasi sosial, ketimpangan relasi, hingga perpecahan internal yang berpotensi menimbulkan konflik pada masa mendatang.
Dia mengatakan, relasi historis serta kebudayaan orang Aiwat mulai tergoyahkan dengan orientasi kepemilikan hak atas tanah yang dipicu kehadiran investasi dan arus migran yang masif. Temuan lainnya, lanjut Elvira, perempuan Aiwat mengalami kerentanan berlapis karena minimnya akses air bersih, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan pelayanan dasar lainnya.
Kondisi itu sebagai akibat komodifikasi dan liberalisasi sumber daya alam serta pembangunan paternalistik yang tidak berpihak kepada masyarakat adat. Akan tetapi, di tengah keterancaman penghidupannya, orang Aiwat mampu berdaya dan mengorganisasi dirinya sendiri dengan mengolah hasil alam mereka untuk bisa bernilai tambah, seperti sagu, karet, dan kelapa.
Adapun sejumlah poin hasil temuan di Kampung Kendate, antara lain, kurangnya kebutuhan masyarakat Kendate akan perlindungan wilayah secara struktural ataupun kultural. Selain itu, minimnya keberpihakan pasar dan intervensi pemerintah telah menciptakan ketidakadilan, khususnya bagi kaum perempuan.
Sementara itu, skema kebijakan nasional, regulasi terkait dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, hingga intervensi pemerintah ke kampung masih sangat minim dalam memastikan pengarusutamaan jender.
Intervensi pembangunan di tengah masyarakat adat mengedepankan kebersamaan dan praktik yang sesuai dengan kearifan lokal.
Temuan terakhir di Kampung Rayori, antara lain, masyarakat adat Sowek di Rayori dengan pilihan penghidupan dominan di laut mengakibatkan terancamnya kelestarian sumber daya laut. Selain itu, ada pula masalah introduksi penanaman sayur yang tidak berhasil, temuan kasus gizi buruk serta kematian ibu, dan eksistensi perempuan Sowek yang tidak hanya berkutat pada urusan rumah tangga dan anak, tetapi juga sebagai nelayan.
”Dari penelitian ini, kami merekomendasikan sejumlah poin, yakni intervensi pembangunan di tengah masyarakat adat mengedepankan kebersamaan dan praktik yang sesuai dengan kearifan lokal,” ujar Elvira.
Selain itu, dia mengungkapkan, diperlukan advokasi kebijakan pembangunan masyarakat adat yang berbasis data. Sebab, pola pembangunan masih berdasarkan pikiran pembuat kebijakan tanpa memahami konteks dan perubahan sosial di tengah masyarakat.
Asrida Elisabeth, salah satu anggota tim peneliti, menambahkan, pembuatan film dokumenter berjudul Tuan Dusun mengangkat fenomena konflik internal di tengah masyarakat adat Kampung Aiwat yang saling mengklaim hak ulayat tanah karena terpengaruh investasi perusahaan sawit. Pembuatan film turut melibatkan komunitas media audio visual, Papuan Voices.
”Film ini untuk mengedukasi masyarakat mempertahankan tanahnya demi masa depan generasi muda Kampung Aiwat. Kampung Aiwat kini di tengah kepungan perusahaan sawit. Salah satu perusahaan memiliki luas lahan hak guna usaha mencapai 14.800 hektar,” ucap Asrida.
Kepada Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua Yan Yap Ormuseray mengapresiasi Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua atas peluncuran buku dan film dokumenter ini. Ia menilai, refleksi dalam penelitian ini penting, yakni mengangkat siasat masyarakat adat dalam menghadapi perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam di tiga wilayah adat.
Yan menilai, hasil penelitian ini memberikan gambaran kondisi masyarakat adat Papua di tengah pesatnya investasi. Bahkan, dalam bedah buku Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi menunjukkan kondisi masyarakat yang masih termarjinalkan dan hidup dalam kemiskinan meskipun berada di tengah pusat investasi.
Yan menyatakan, Pemprov Papua telah berupaya mengusulkan regulasi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat seluas 5.000 hektar. Akan tetapi, usulan tersebut belum disetujui pemerintah pusat.
”Penelitian ini menjadi referensi bagi Pemprov Papua dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengutamakan kepentingan masyarakat adat di tengah kebijakan otonomi khusus. Selama ini, kami telah melaksanakan program pembangunan yang melibatkan masyarakat puluhan kabupaten, seperti ekowisata dan pengelolaan hasil hutan non-kayu hingga proses pemasarannya,” ucap Yan.