Melihat Akar Persoalan Masyarakat Adat
Meski sudah hidup turun-temurun, masyarakat adat masih bergulat mencari pengakuan atas identitas dan sumber daya alam yang mereka miliki. Regulasi harus mengakomodasi hak-hak masyarakat adat dan berbuah perlindungan.
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang turun temurun mendiami suatu wilayah dan mempunyai ikatan budaya yang kuat atas tanah yang didiaminya. Tanah dan sumber daya alam yang mereka tempati tidak dapat dipisahkan dari identitas, budaya, mata pencaharian, kesejahteraan, dan kehidupan spiritual mereka. Dalam kehidupannya, komunitas adat ini menciptakan sistem nilai hidup yang harmonis dengan ketersediaan sumber daya alam di sekitar tempat tinggalnya.
Dari definisi di atas setidaknya ada empat kekhasan yang dimiliki masyarakat adat dibandingkan komunitas sosial pada umumnya. Keempatnya ialah aspek identitas budaya, sistem nilai, wilayah adat, dan hukum adat. Dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 2021 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan ada 476 juta orang yang menjadi bagian dari masyarakat adat di dunia yang tersebar di 90 negara.
Walau jumlah mereka kurang dari lima persen populasi global, tetapi komunitas adat ini menjadi cerminan dari keragaman dunia karena memiliki 7.000 bahasa serta 5.000 adat budaya yang berbeda. Meskipun beragam dari sisi budaya dan bahasa, PBB mencatat dua persoalan sama yang dihadapi komunitas adat di dunia, yaitu masalah kesejahteraan dan pengakuan atas identitas mereka.
Dari aspek kesejahteraan, indikator yang dijadikan tolok ukur ialah tingkat kemiskinan global. Sebanyak 15 persen dari total populasi kemiskinan global berasal dari masyarakat adat. Kategori kemiskinan yang digunakan adalah mengeluarkan biaya untuk kehidupan sehari-hari di bawah 1,9 dollar AS. Secara regional, kemiskinan terbesar yang dialami masyarakat adat terdapat di wilayah Amerika Latin dan Karibia, serta Afrika.
Di Indonesia, kondisi belum sejahteranya warga adat ini terekam dari survei yang dilakukan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2020 kepada 1.116 perempuan adat di 31 komunitas adat. Sebagian besar responden (87 persen) mengungkapkan jika kemiskinan masih terjadi di dalam komunitas adat mereka.
PBB dan ILO menyebutkan dua penyebab mendasar mengapa kesejahteraan masyarakat adat ini masih minim. Dua faktor tersebut adalah kurangnya dukungan pemerintah setempat kepada masyarakat adat dan rendahnya penghasilan yang didapat warga adat dibandingkan penduduk pada umumnya.
Dalam lingkup lokal Indonesia, publikasi “Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat (2020)” yang diterbitkan AMAN menguraikan lima faktor yang memiliki keterkaitan erat dengan kondisi kesejahteraan komunitas adat di Indonesia. Aspek pertama adalah pengakuan identitas dan struktur sosial masyarakat adat. Minornya pengakuan atas identitas masyarakat adat ini berakibat pada proses marjinalisasi warga adat.
Faktor kedua menyangkut terbatasnya akses masyarakat adat pada layanan sosial seperti pendidikan dan layanan kesehatan yang disediakan pemerintah. Berikutnya adalah tergerusnya penguasaan atas sumber daya alam terutama tanah dan hutan yang selama ini menjadi hak komunitas adat.Berbagai komunitas adat yang kebanyakan hidup di sekitar hutan, pegunungan, atau perdesaan terus mengalami penyingkiran termasuk oleh kebijakan negara.
Aspek berikutnya yang berhubungan dengan tergerusnya sumber daya alam tersebut adalah berkurangnya pemanfaatan dan pengusahaan hasil alam oleh warga adat. Terakhir, adalah dampak jangka panjang dari keberlanjutan ekosistem alam. Minimnya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berakibat pada menurunnya fungsi fungsi ekologis yang berdampak pada kualitas kehidupan. Perubahan konsep tata ruang alam akibat penebangan hutan untuk berbagai keperluan industri tentu berakibat pada dampak bencana yang harus dipikul oleh komunitas adat.
Menjamin hak
Secara umum, kajian global dan lokal tersebut menunjukkan temuan senada bahwa persoalan yang dialami masyarakat adat bersumber dari pengakuan atas identitas dan sumber daya alam yang mereka miliki. Tanpa pengakuan dari otoritas negara kehidupan masyarakat adat akan terus dibayangi dengan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif.
Pengakuan tersebut penting dimiliki oleh kelompok adat karena memiliki dampak pada dukungan pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya alamsebagai sumber penghidupan bagi masyarakat adat.
Pemahaman terhadap akar persoalan ini dapat membantu memberikan titik awal berpijak dalam menangani keberadaan dan menangani kesejahteraan warga adat. Dalam hal ini masih minornya kesejahteraan yang dialami komunitas adat merupakan dampak atau konsekuensi dari minimnya pengakuan identitas dan pengakuan atas sumber daya alam terutama hak atas tanah.
Hingga saat ini masyarakat adat masih belum sepenuhnya mendapat pengakuan tersebut. Akibatnya konflik seputar batas wilayah atau penggunaan sumber daya alam masih banyak dialami komunitas adat. Dalam catatan AMAN dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) pada 2021 masih terjadi 13 kasus penyerobotan 251.000 hektar lahan adat.
Dampak lain adalah dikriminasi hukum yang dialami masyarakat adat. Saat ini luas wilayah adat hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat mencapai 12,4 juta hektar. Namun dari luasan tersebut hanya 20.000 hektar tanah ulayat yang diakui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta 69.000 hektar hutan adat yang dikembalikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada komunitas adat. Kekayaan masyarakat adat juga lebih banyak dikelola korporasi dan perhutanan sosial.
Kondisi ini muncul akibat perbedaan klaim wilayah karena adanya celah legislasi dan tumpang tindih kebijakan serta pemberian izin yang tidak transparan. Tanpa penanganan yang mendasar, persoalan ini rentan terus memicu konflik yang merugikan masyarakat adat.
Saat ini sejumlah komunitas adat juga sedang menghadapi proyek besar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Merujuk data AMAN, terdapat 21 komunitas masyarakat adat yang tinggal di wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Pembangunan ibu kota baru tersebut dapat menjadi momentum bagi pengakuan terhadap identitas masyarakat adat nusantara.
Bertemu dan mendengarkan keluhan masyarakat adat menjadi titik awal menyelesaikan persoalan masyarakat adat. Rumusan tersebut juga menjadi rekomendasi PBB dan ILO untuk mewujudkan kebijakan keadilan sosial yang berkelanjutan bagi komunitas adat di seluruh dunia.
Mendengarkan
Seruan PBB dan ILO untuk mendengarkan masyarakat adat ini bukan hanya membantu mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat adat seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan konflik agraria, tetapi juga mengantisipasi dampak perubahan iklim. Data Bank Dunia menunjukkan masyarakat adat menempati seperempat dari luas permukaan Bumi. Keberadaan mereka juga melindungi 80 persen dari keanekaragaman ekosistem hayati di dunia.
Kelebihan masyarakat adat ini juga terlihat dari pengetahuan dan keahlian leluhur tentang cara beradaptasi, mengurangi, dan mengurangi risiko iklim dan bencana. Warisan pola hidup turun temurun dengan menjadikan alam bukan hanya sebagai mata pencaharian (fungsi ekonomi) semata, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupannya (fungsi ekologi dan bekelanjutan) membuat masyarakat adat merupakan aktor penting kelestarian Bumi di masa mendatang.
Lihat juga: Kearifan Lokal Jaga Kelestarian Hutan Adat Kemtuk
Dalam banyak kasus, ketika wilayah adat diakuisisi oleh masyarakat luar atau korporasi, perlindungan atau penggunaan sumber daya alam menjadi sulit dikendalikan dan memicu degradasi lingkungan. Dalam jangka panjang, kondisi ini rentan meningkatkan risiko kerapuhan keanekaragaman hayati dan mengancam kelangsungan ekosistem seluruh makhluk hidup.
Mengingat investasi kehidupan di masa depan ini, suara-suara masyarakat adat kian banyak didengarkan di forum-forum dunia. Di Pertemun Perubahan Iklim Dunia (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow pada 2021 lalu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengajukan resolusi untuk mewujudkan lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia serta menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk bekerja bersama masyarakat adat dalam penerapannya.
Di kawasan Eropa, Uni Eropa juga telah mengeluarkan resolusi yang mencakup hak Masyarakat Adat, serta menyerukan pemberian hak yang lebih besar dalam prosedur pengambilan keputusan terkait perubahan iklim.Di luar itu, dalam catatan PBB selama 20 tahun terakhir, hak-hak masyarakat adat juga semakin diakui melalui instrumen regulasi dan kelembagaan internasional.
Beberapa instrumen regulasi seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada 2007 dan Deklarasi Amerika tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada 2016. Sementara instrumen kelembagaan yang dibuat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat seperti Forum Permanen PBB untuk isu-isu Masyarakat Adat (UNPFII) yang dibentuk sejak 2000, Panel Ahli tentang Hak-hak Masyarakat Adat(EMRIP), dan Kelompok Kerja Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat (UNSR).
Semakin besarnya perhatian dunia menjadi penanda optimisme munculnya pengakuan sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat adat di dunia. Di Indonesia, masuknya RUU Masyarakat Hukum Adat dalam pembahasan Prolegnas Prioritas 2021 turut membawa optimisme tersebut. Bagaimanapun, kepastian dan adanya payung hukum akan membawa dimensi perlindungan yang lebih jelas dan terukur bagi masyarakat adat di Tanah Air. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Masyarakat Adat Belum Juga Diakui