Beri Masyarakat Adat Papua Kepercayaan Kelola Hutannya
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Temuan 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari Papua di Surabaya dan Makassar menunjukkan indikasi perusahaan-perusahaan mengambil kayu bukan dari lokasi konsesinya. Kayu-kayu tersebut dipastikan berasal dari hutan-hutan masyarakat adat di pedalaman.
Sasaran pada hutan-hutan masyarakat dengan “mencuci”-nya seolah-olah dari hutan konsesi ini ditemukan Yayasan Auriga Nusantara yang melakukan investigasi tahun lalu. Masyarakat hanya mendapatkan Rp 100.000 – Rp 600.000 untuk setiap meter kubik kayu merbau yang diambil perusahaan dari hutan adatnya.
Uang yang diberikan ini bukan untuk membayar kayu namun sebagai kompensasi kewajiban yang ditetapkan Pemprov Papua bagi masyarakat sekitar konsesi. “Posisi tawar masyarakat adat sangat rendah dan hanya menerima uang tanpa tahu berapa meter kubik kayu yang diambil dari hutan mereka,” kata Syahrul Fitra Tanjung, peneliti Auriga, Senin (21/1/2019), di Jakarta.
Posisi tawar masyarakat adat sangat rendah dan hanya menerima uang tanpa tahu berapa meter kubik kayu yang diambil dari hutan mereka.
Hal ini membuat hutan-hutan masyarakat dieksploitasi oleh oknum perusahaan/industri kayu. Pembayaran itu dinilai sangat murah karena harga merbau bisa mencapai Rp 5 juta di Jawa.
Pemprov Papua berusaha menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Papua No 13/2010 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPHHKMHA) di Provinsi Papua. Dengan dasar ini sejumlah 18 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-masyarakat hukum adat seluas 78.040 hektar.
Dasar Pergub tersebut yaitu UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diterjemahkan dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Provinsi Papua. Namun hingga kini izin-izin tersebut tak bisa dijalankan karena model perizinan tersebut tak dikenal oleh pusat yang berpegangan pada UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pemerintah pusat hanya mengenal penerbitan oleh Menteri Kehutanan, kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, Kementerian Kehutanan – kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK – menebar izin di belantara Papua dengan IUPHHK-Hutan Alam atau Hak Pengelolaan Hutan atau izin logging seluas 5.596.838 ha, pelepasan untuk sawit 1.256.153 ha, dan izin kebun tanaman kayu/IUPHHK-Hutan Tanaman Industri 524.675 ha.
Terkait hal ini, beberapa waktu lalu, KLHK menjelaskan sedang menyusun Norma, Standar, prosedur, dan Kriteria pemberian IUPHHK-HA pada kawasan hutan produksi di Provinsi Papua. Pemerintah pusat pun masih “trauma” dengan pengalaman dampak deforestasi besar-besaran di Papua di tahun 2000-an.
Saat itu, di tahun 1999, Menteri Kehutanan memberikan Izin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA) yang dikelola Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas). Izin ini didorong euforia desentralisasi pada masa itu terkait pengelolaan hutan.
Namun hal ini malah menyebabkan penebangan ilegal marak di Papua karena dimanfaatkan pihak lain untuk memanfaatkan kayu di Papua. Menurut Syahrul, IPK-MA saat itu tak berjalan baik dan cenderung disusupi pihak-pihak yang ingin mendapatkan kayu dengan harga murah.
Mereka memanfaatkan ketidakharmonisan peraturan di pusat dan daerah serta sistem pengawasan kayu yang lemah. Diantaranya tumpang tindih kawasan hutan dengan wilayah adat.
Selain itu, penerima IPK-MA salah sasaran. Masyarakat adat yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan modal bermitra dengan pihak ketiga yang malah mengeksploitasi hutannya.
Rambu-rambu ketat
Hal itu diantisipasi Pemprov Papua dengan memberi rambu-rambu yang ketat. Diantaranya, IUPHHK-MHA memberi syarat pemotongan kayu maksimal 100 ha per tahun tanpa memperbolehkan penggunaan alat berat. Selain itu, 10 persen dari luas areal harus menjadi kawasan lindung.
Ia yakin pemberian kepercayaan izin ini bila dijalankan bisa memberi posisi tawar tinggi bagi masyarakat untuk menolak menjual kayu kepada pihak lain dengan harga murah. Dengan harga kayu yang tinggi atau adil di tingkat masyarakat, kata dia, bisa mengurangi eksploitasi kayu.
Arief Wijay,a Manajer Senior Hutan dan Perubahan Iklim World Resources Institute Indonesia pun mengatakan sistem pengelolaan kayu/hutan, pengakuan hutan adat, serta pendampingan pengelolaan hutan bagi masyarakat adat di Papua perlu ditingkatkan. “Selama ini, IUPHHK masyarakat hukum adat belum terlaksana dengan baik dan banyak modus-modus kayu ilegal mengatasnamakan kayu-kayu dari masyarakat adat,” kata dia.
Pemberian akses kelola masyarakat adat ini perlu dicoba dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat. Ia memberi contoh praktik serupa di Amerika Latin membuat hutan terjaga dan terkelola dengan baik.
“Penting secara tegas menyampaikan kepada masyarakat adat akan stick and carrot, ada reward and punishment serta pemantauan dan pendampingan secara jelas,” ujarnya.