Melawan Tengkes dengan Mendorong Asupan Protein Hewani yang Optimal
Tengkes atau ”stunting” disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya kekurangan protein hewani dan zat besi. Kesadaran masyarakat terkait hal itu perlu terus didorong.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS — Prevalensi tengkes atau stunting di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan angka yang dianjurkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Oleh karena itu, berbagai upaya untuk melawan harus dilakukan, termasuk mendorong pemahaman masyarakat akan asupan protein hewani dan zat besi yang sangat penting bagi pertumbuhan anak.
Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka tengkes di Indonesia masih 21,6 persen. Meskipun data tersebut menunjukkan penurunan sebanyak 2,8 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 24,4 persen, prevalensi tersebut masih lebih tinggi dibandingkan angka yang dianjurkan WHO, yaitu di bawah 20 persen.
Berdasarkan hasil studi tersebut, tengkes di Indonesia juga memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya, seperti wasting (gizi kurang) 7,7 persen, underweight (kurus) 17,1 persen, dan overweight (gemuk) 3,5 persen.
Dokter Spesialis Gizi Klinik Nurul Ratna Mutu Manikam dalam gelar wicara ”Pentingnya Asupan Protein Hewani dan Zat Besi untuk Wujudkan Generasi Maju Bebas Stunting” di Kuta, Mandalika, Lombok Tengah, Jumat (10/2/2023), mengatakan, tengkes merupakan masalah gizi kronis.
Gelar wicara tersebut merupakan bagian dari kegiatan Aksi Gizi Generasi Maju ke Lombok, NTB, yang diselenggarakan Danone Indonesia pada 9-10 Februari 2023. Turut hadir dalam gelar wicara tersebut antara lain Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Lalu Hamzi Fikri, Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin, dan Budayawan Lombok Lalu Ari Irawan.
Selain gelar wicara, sehari sebelumnya juga digelar Edukasi Gizi di Lombok Barat yang melibatkan dokter spesialis anak, Pemerintah Provinsi NTB, dan Kabupaten Lombok Barat.
Tengkes, kata Ratna, disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. ”Selain bentuk fisik, anak dengan kondisi tengkes berisiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan rentan terhadap penyakit,” kata Ratna.
Oleh karena itu, kata Ratna, sangat penting agar orangtua memperhatikan asupan nutrisi dengan gizi seimbang yang menjadi salah satu kunci elemen dalam optimalisasi 1.000 hari pertama kehidupan, termasuk mencegah tengkes.
Ranta menjelaskan, asupan nutrisi yang tidak optimal, seperti rendahnya asupan protein hewani dan zat besi, dapat menyebabkan anemia, menjadi salah satu faktor penyebab tengkes pada anak.
”Tubuh yang kekurangan asupan protein hewani dan zat besi akan mengalami gangguan fungsi hormonal, regenerasi sel, sistem kekebalan tubuh, massa otot, fungsi kognitif, dan kemampuan motorik anak. Oleh karena itu, bersama dengan asupan nutrisi yang tidak optimal, anemia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gangguan pertumbuhan yang merupakan awal terjadinya tengkes,” kata Ratna.
Menurut Ratna, banyak sumber makanan dengan protein dan zat besi yang bisa didapatkan dengan mudah. Seperti pada daging merah, ayam, hati, ikan, telur, dan susu terfortifikasi.
”Banyak potensi pangan lokal di setiap daerah di Indonesia bisa menjadi sumber protein hewani. Misalnya di Lombok yang kaya pangan laut, seperti ikan, udang, cumi-cumi, dan kerang,” kata Ratna.
Contoh lainnya adalah nyale atau cacing laut yang sekali setahun muncul dan disukai masyarakat Lombok. Nyale memiliki kandungan protein hewani hingga 43,84 persen. Lebih tinggi dibandingkan ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen). Kadar zat besinya juga tinggi, yakni 857 ppm, dibandingkan hewat darat 80 ppm.
Tengkes di NTB
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Lalu Hamzi Fikri menambahkan, NTB berkomitmen mempercepat penurunan tengkes. Saat ini, berdasarkan Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat Elektronik (e-PPGBM), angka tengkes di NTB pada 2022 sebanyak 16,86 persen.
Menurut Fikri, kontribusi tengkes di NTB berasal dari Pulau Lombok. Hingga 2022, masih ada tiga wilayah di NTB, yakni Lombok Utara, Lombok Tengah, dan Lombok Barat, yang memiliki persentase tengkes di atas target tahun tersebut (18,4 persen).
Fikri mengatakan, ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya tengkes di NTB, khususnya di Lombok. Salah satunya terkait asupan protein hewani. ”Di Sumbawa, masyarakatnya terbiasa mengonsumsi ikan. Sementara di Lombok tidak,” kata Fikri.
Oleh karena itu, kata Fikri, pemerintah daerah terus berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pemenuhan protein hewani, termasuk menjaga pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
”Kami menyambut semua inisiatif serta kolaborasi untuk menekan angka tengkes di NTB. Seperti dari Danone Indonesia yang memiliki program penanganan tengkes dari sisi kesehatan lewat pemberian makanan kaya protein hewani. Juga luar kesehatan, seperti masalah sanitasi dan kebersihan lingkungan,” kata Fikri.
Banyak potensi pangan lokal di setiap daerah di Indonesia bisa menjadi sumber protein hewani.
Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin menambahkan, pihaknya ingin berkontribusi mendukung pemerintah dalam mengampanyekan pencegahan tengkes dengan protein hewani.
Melalui program-program mereka di NTB, Arif berharap semakin banyak lagi masyarakat Lombok yang teredukasi tentang pola makan dengan gizi seimbang dalam upaya mencegah tengkes. Dengan demikian, anak-anak Indonesia dapat tumbuh dengan optimal jadi anak generasi maju.