Semua daerah diminta melaporkan kasus kematian babi. Peternak babi juga wajib melakukan pemotongan ternak babi di rumah pemotongan hewan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penjualan daging babi di Nusa Tenggara Timur wajib melalui rumah potong hewan. Tujuannya, menghindari penularan virus demam babi Afrika.
Demam babi Afrika (ASF) ditemukan pada pertengahan Januari 2023. Kondisi itu memicu kematian ratusan ternak babi dan menurunkan harga jual. Di KotaKupang, misalnya, harga daging babi berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per kilogram. Sebelumnya, harga daging babi Rp 100.000-Rp 150.000 per kg.
“Daging babi yang dijual di pinggir jalan, kios, permukiman penduduk, dan pasar-pasar akan kami tertibkan. Kami berkoordinasi dengan berbagai pihak, seperti aparat kepolisian, TNI, dinas kesehatan, karantina, tokoh agama, anggota DPRD, dan tokoh masyarakat, di setiap kelurahan di Kota Kupang,“ kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan NTT drh Melky Angsar di Kupang, Kamis (9/2/2023).
Melky mengapresiasi beberapa kabupaten yang sudah mengambil kebijakan dengan melarang lalu lintas ternak dan penjualan lewat rumah potong hewan (RPH), seperti di Pulau Sumba. Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya telah mengeluakan surat keputusan melarang semua jenis ternak masuk dan keluar terutama babi dan turunannya. Hal serupa dilakukan di Sumba Timur dan Sumba Barat.
Melky berharap, daerah lain yang sudah melaporkan kasus kematian babi akibat ASF juga melakukan langkah serupa. Semua peternak babi wajib melakukan pemotongan ternak babi di RPH. Di tempat itu akan ada pemeriksaan kesehatan babi oleh dokter hewan. Babi yang dinyatakan sehat dan lolos potong akan mendapatkan keterangan khusus dari RPH.
“Menjual ternak babi dan bahan olahannya yang terkontaminasivirus ASF sama dengan menyebabkan penyakit itu ke ternak lain. Masyarakat harus sadar. Tidak hanya pemerintah yang harus berjuang menangani ASF, tetapi semua pihak seperti pedagang, pengusaha, peternak, dan masyarakat umum,“ katanya.
Ia juga optimistis kehadiran alat deteksi dini ASF, lamp diagnostic tools, yang ditempatkan di Sumba, Flores, dan Timor bisa mendeteksi secara dini perkembangan ASF di daerah itu. Namun, peternak juga harus proaktif membiarkan petugas kesehatan hewan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan.
“Kalau ada ternak babi yang kelihatan mulai mengalami gejala-gejala sakit seperti demam, diare, kurang napsu makan, dan batuk-batuk segera diperiksa,“ katanya.
Ketua Kelompok Tani Nitani di Desa Sulamu, Kabupaten Kupang, Agus Tanano (54), mengatakan, dinas peternakan di setiap kabupaten/kota harus gencar menginformasikan kepada peternak soal upaya pencegahan dini ASF ini. Masih banyak peternak di desa-desa yang belum paham bagaimana cara menghindari ternak babi dari ASF itu.
“Meski ASF sudah merebak di Kabupaten Kupang, peternak di desa-desa masih bawa anakan babi dijual di pasar. Mereka tidak paham masalah penyebaran ASF ini sehingga dengan mudah memindahkan ternak babi dari satu tempat ke tempat lain.Ini perlu dicegah agar babi itu tidak tertular virus atau sebaliknya tidak menularkan ASF tadi,“ kata Tanano.
Ia mengatakan, sekarang ini sudah sangat terbuka. Sosialisasi mengenai dampak ASF itu tidak datang bertemu langsung peternak. Pemda bisa menggunakan media sosial, membagikan informasi apa saja terkait pencegahan ASF. Kegiatan seperti ini tidak perlu anggaran khusus. Hanya butuh ketelatenan, kesabaran, dan pelayanan yang tulus untuk rakyat.
Jangan saling menyalahkan terkait ASF ini. “Terus terang. Peternak babi di desa-desa tidak paham soal ASF. Kenapa pemda tidak manfaatkan kepala desa untuk menyampaikan soal ASF kepada masyarakat desa,“ katanya.
Bernadus Reo, peternak di Desa Mewet, Kabupaten Flores Timur, mendesak pemerintah segera membagikan disinfektan kepada petani. Jika disinfektan itu cukup tersedia di pemprov, segera didistribusikan ke kabupaten/kota yang membutuhkan.
“Ada kebiasaan menumpuk barang hasil subsidi itu di gudang sampai kedaluwarsa kemudian dibuang. Padahal, bahan itu sangat dibutuhkan masyarakat,“ kata Reo.