Jarang terlihat upaya nyata pemerintah dalam mendukung usaha peternak babi yang terpukul akibat demam babi afrika. Ini berbeda dengan perhatian pemerintah terhadap wabah penyakit mulut dan kuku pada sapi dan kambing.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Demam babi afrika yang melanda Nusa Tenggara Timur selama dua tahun belakangan memukul perekonomian daerah itu membuat masyarakat trauma dan enggan beternak lagi. Masyarakat menilai, kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan ternak babi sangat minim apabila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi atau kambing. Dibiarkan saat wabah merebak dan tak ada kompensasi agar peternak bisa bangkit lagi.
Menurut data yang dihimpun dari Dinas Peternakan Provinsi NTT pada Selasa (26/7/2022), jumlah ternak babi yang mati akibat virus demam babi afrika (ASF) 122.000 ekor. Angka ini berdasarkan laporan yang diterima dari masyarakat. Nyatanya, jumlah itu di bawah angka riil. Tak semua peternak melaporkan. Laporan kematian ternak masif mulai tahun 2020 hingga 2021. Merata di hampir semua wilayah berpenduduk sekitar 5,3 juta jiwa itu.
Sebelum ASF merebak, populasi babi di NTT menembus 2 juta ekor. Tahun 2018, jumlahnya 2,1 juta ekor, kemudian meningkat setahun kemudian menjadi 2,5 juta ekor. Jumlah riil diperkirakan lebih banyak dari yang terdata. Ternak babi menempati urutan pertama, disusul sapi sebanyak 1,08 juta ekor, kemudian kambing 832.667 ekor. Hingga kini pemerintah belum merilis populasi terbaru per akhir tahun 2021.
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi mengatakan, populasi babi di NTT anjlok. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat NTT untuk kembali mengembangkan ternak babi. ”Mari kita pelihara babi seperti biasa lagi karena penyakit ASF mulai bisa ditangani. Pemerintah pasti cari jalan keluar. Mari kita mulai bangkit, mari kita pelihara babi,” katanya.
Diakuinya, bibit ternak babi semakin langka. Berkurangnya populasi babi menyebabkan harga ternak serta daging babi melonjak tajam. Bibit babi saat ini paling murah Rp 1,5 juta. Setelah dipelihara hingga bobotnya di atas 70 kilogram, harga jualnya bisa mencapai Rp 10 juta.
Bagi masyarakat NTT, lanjut Josef, ternak babi memiliki peran strategis, tidak hanya kepentingan ekonomi, tetapi juga dalam struktur sosiokultural masyarakat. ”Tanpa babi, berbagai upacara adat bisa batal dilaksanakan. Babi tidak bisa digantikan sehingga harus dibeli berapa pun harganya,” ucapnya.
Minim dukungan
Temuan Kompas di lapangan, masyarakat tidak berdaya ketika virus ASF merebak. Kehadiran pemerintah lewat petugas kesehatan hewan juga tidak tampak. ”Setiap hari kami menyaksikan ternak kami mati satu per satu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ini sangat menyakitkan,” kata Thomas Ama (45), warga Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur.
Demam babi afrika membuat semua ternak babi miliknya yang berjumlah 17 ekor mati. Padahal, babi itu sebagian akan dijual dan dipakai untuk urusan pernikahan anaknya. Harga babi yang mati berkisar Rp 7 juta-Rp 10 juta. Ia mengalami kerugian lebih dari Rp 100 juta. Kini ia belum berpikir untuk beternak lagi.
Thomas mengaku trauma dengan usaha peternakan babi lantaran belum mengetahui cara untuk mengatasi wabah tersebut. Lebih dari itu, ia menilai pemerintah tidak terlalu peduli dengan masalah ternak babi. Mereka yang terdampak tidak diberi perhatian, semisal bantuan untuk pengadaan bibit baru.
Demam babi afrika menambah derita masyarakat NTT. Selama dua tahun terkait, pandemi Covid-19 merebak, memukul ekonomi dunia termasuk NTT. Tak berhenti di situ, pada tahun 2021, bencana Badai Seroja menghantam NTT yang menyebabkan korban jiwa dan harta benda. Belum lagi gagal panen jagung dan padi. Kemiskinan di NTT kian dalam.
Harga naik
Gaper Tiran (52), pengusaha yang mengolah daging babi bakar di Kabupaten Kupang, menuturkan, kelangkaan populasi babi membuat harga babi naik. Otomatis, ia juga menaikkan harga jual daging bakar yang oleh warga lokal disebut sei. Saat ini, harga satu kilogram daging sei Rp 275.000. Sebelum ASF merebak, harganya di bawah Rp 200.000 per kg.
Kendati demikian, kebutuhan warga akan daging masih tetap tinggi. Tempat usaha daging bakar milik Gasper di Desa Tunbaun itu ramai hampir setiap hari. Omzet yang diperoleh setiap akhir pekan mencapai puluhan juta rupiah. Konsumennya berasal dari Kota Kupang yang berjarak sekitar 24 kilometer dengan tempat pengolahan itu.
Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Haris Oematan berpendapat, kebijakan Kementerian Pertanian untuk pengembangan ternak babi sangat minim. Padahal, di banyak daerah di Indonesia, ternak babi berperan besar menghidupkan geliat ekonomi masyarakat. Dari usaha ternak babi, hasilnya dipakai untuk pendidikan anak dan membangun rumah.
”Kebijakan untuk babi ini hampir tidak terdengar. Mungkin ada yang merasa bahwa ternak babi itu tidak usah dipedulikan. Atau ada yang berpikir bahwa babi itu binatang haram. Padahal, banyak orang hidup dari usaha ternak babi. Banyak orang bisa jadi manusia lewat pendidikan, itu diongkos dari usaha ternak babi,” kata Haris.
Sementara di sisi lain, pemerintah sangat gencar mengatasi wabah untuk ternak sapi dan kambing sebagaimana yang terjadi saat ini. Penyakit mulut dan kuku yang menyerang sapi dan kambing ditangani secara serius melalui penyekatan alur ternak hingga pengadaan vaksinasi. Bahkan, peternak sapi yang terdampak menerima bantuan dari pemerintah.
Berharap tidak ada diskriminasi terhadap peternak babi atas alasan apa pun. Sebab, semua peternak berhak mendapat dukungan dan perlindungan dari pemerintah. Dengan demikian, usaha mereka bisa tumbuh dan bertahan sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang.