Medan, Kota Kebun Tembakau yang Bersalin Rupa
Barangkali Nienhuys pun tidak menyangka kedatangannya menumpang Kapal Josephine bersama koleganya Van Der Falk dan Elliot di Labuhan Deli persis 160 tahun lalu bakal berdampak pada mekarnya Kota Medan.
Terbangunnya infrastruktur awal Kota Medan di Sumatera Utara dimotori oleh aktivitas perkebunan tembakau di kawasan tersebut lebih dari seabad silam. Investasi asing yang dibawa Jacobus Nienhuys persis 160 tahun lalu itu telah membawa Medan menjadi kota yang terus berkembang hingga kini.
Situasi itu terlihat jelas di seputaran Lapangan Merdeka Medan yang merupakan titik nol kota. Alun-alun kota itu kini sekelilingnya ditutup seng hijau tua. Kawasan hijau tempat pertama kali proklamasi dikumandangkan di Sumatera Timur itu tengah dikeruk untuk pembangunan ruang bawah tanah atau basemen. Ruangan itu akan menjadi tempat publik sekaligus kawasan komersial.
Di sekelilingnya, bangunan-bangunan kolonial yang khas dengan tembok yang kokoh dan jendela-jendela besarnya berdiri bersanding dengan gedung-gedung jangkung mencakar langit. Gedung Bank Indonesia yang didirikan tahun 1906 dan Hotel Grand Inna yang dibangun tahun 1898 dengan nama Hotel De Boer terlihat mungil dibandingkan Apartemen The Condo dan superblok Podomoro City Deli Medan di dekatnya.
Di sudut lain, Gedung Bank Mandiri tampak menjulang dibandingkan gedung London Sumatera yang dibangun pada 1906. Di sisi timur, stasiun kereta api yang dulunya bagian dari Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)—didirikan pada 1883—masih berdiri dengan aneka renovasi. Kereta api dilayani dengan rel di atas tanah dan rel melayang. Di belakangnya, kawasan superblok Mall Center Point, apartemen, berikut rumah sakit berdiri menjadi latar belakang.
Baca juga : Pemkot Medan Sebut Revitalisasi Lapangan Merdeka Lindungi Unsur Cagar Budaya
Di jalan seputar Lapangan Merdeka, angkutan publik bus Trans Metro Deli berwarna hijau bersliweran berdesakan dengan kendaraan lain. Adapun di Jalan Kesawan, jalan menuju Lapangan Merdeka yang kanan-kirinya dipenuhi bangunan tua, trotoarnya tengah dilebarkan.
Imbas tak menyenangkan yang dirasakan saat ini adalah kemacetan lalu lintas yang sering tak terelakkan terjadi. Namun, kelak kawasan yang lebih tertata dan lapang ditargetkan terwujud di sana.
Barangkali Nienhuys pun tidak menyangka kedatangannya menumpang Kapal Josephine bersama koleganya, Van Der Falk dan Elliot, di Labuhan Deli pada 1963 lalu bakal berdampak pada mekarnya Kota Medan. Mereka datang atas undangan Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam untuk mengembangkan perkebungan tembakau di tanah Deli yang waktu itu berpusat di Labuhan Deli.
Baca juga: Metamorfosis Jawa Deli, dari Kuli Kontrak hingga Jadi Bupati
Medan saat itu hanyalah kampung kecil yang disebut kawasan Medan Putri, sekitar 10 kilometer dari Labuhan Deli. Bahkan, John Anderson, Sekretaris Gubernur Inggris di Penang, Malaysia, saat mengunjungi Sumatera Timur pada 1823, persis dua abad lalu, menyebut Medan hanyalah sebuah kampung dengan 200 penduduk.
Awalnya Medan itu hanya terdiri dari empat kampung. (Isnen Fitri)
Empat puluh tahun kemudian, mendapat konsesi perkebunan tembakau selama 20 tahun di daerah Titipapan-Mabar, Neinhuys lantas mengembangkan areal perkebunan yang mendatangkan keuntungan berlipat. Ia pun mendirikan Deli Maaatschappy atau Deli Company 6 tahun setelah kedatangannya.
Melihat peluang bisnis yang menggiurkan, para investor dari Eropa dan Amerika pun beramai-ramai berinvestasi membangun perkebunan tembakau. Lahan yang cocok ditanami ada di antara Sungai Ular yang kini berada di perbatasan Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dan Sei Wampu yang masuk wilayah Kabupaten Langkat dan Kota Binjai.
Ann Laura Stoler dalam buku Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979 melaporkan, sudah ada 179 kebun tembakau besar dan kecil tumbuh di Sumatera Timur pada tahun 1889.
Sesaat setelah perkebunannya menghasilkan keuntungan, Nienhuys memindahkan kantornya dari Labuhan Deli ke sisi selatan sekitar 10 kilometer dari lokasi awal untuk menghindari banjir. Kantor itu berdiri di kawasan yang berdekatan dengan permukiman yang disebut Medan Putri.
Untuk mempermudah, ia pun menyebut daerah perkantorannya sebagai Medan. Setelah Nienhuys pindah kantor, pusat Kasultanan Deli pun ikut berpindah dari Labuhan Deli ke Istana Maimoon yang hingga kini masih megah berdiri. Bahkan, kantor Asisten Residen Sumatera Timur juga berpindah dari Labuhan Deli ke Medan.
Untuk mengangkut tembakau, para pengusaha perkebunan membangun jalur kereta api membelah kawasan usahanya, berikut stasiun pusat yang berada di tengah Kota Medan, hingga ke pelabuhan. Jaringan air minum, jaringan telepon, kantor pos, juga bandar udara berdiri di sana.
Bertumpu pada dua sungai
Dosen Arsitektur Universitas Sumatera Utara, Isnen Fitri, Rabu (8/2/2023), mengatakan, pembangunan kota sebenarnya bertumpu pada dua sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura, yang bertemu di tengah kota dan bermuara di Selat Malaka di sisi utara. Dua sungai itu membentuk huruf Y terbalik. Pembangunan kota bermula dari sekeliling sungai itu lalu melebar ke kanan-kirinya. Sungai-sungai itu merupakan jalur transportasi awal warga.
Baca juga : Kota Medan Dikepung Banjir, Sejumlah Ruas Jalan dan Permukiman Terendam
Dari situ pembangunan terus berkembang hingga muncul kantor pos, hotel, kawasan niaga, rumah sakit, tempat ibadah, kawasan permukiman berdasarkan segregasi etnis, hingga fasilitas pendidikan.
”Awalnya Medan itu hanya terdiri dari empat kampung,” tutur Isnen. Kampung itu adalah Kampung Merdeka-Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu, dan Kampung Petisah Hilir. Kampung itu merupakan bagian dari Gemeente Medan yang resmi berdiri pada 1918 dipimpin oleh Baron Daniel Mac Kay, 39 tahun kemudian setelah kedatangan Neinhuys. Di luar itu kawasan dikuasai Kasultanan Deli.
Pembangunan kota sebenarnya bertumpu pada dua sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura, yang bertemu di tengah kota dan bermuara di Selat Malaka di sisi utara. (Isnen Fitri)
”Kawasan yang benar-benar dirancang itu hanya kawasan yang kini menjadi pusat Kota Medan,” kata Isnen.
Jalan lingkar luarnya dulu adalah Jalan Iskandar Muda yang kini sudah berada di tengah kota. Kawasan Medan Baru, misalnya, adalah permukiman yang belakangan muncul di sisi luar jalan lingkar luar.
Kota terus meluas karena jumlah penduduk yang semakin banyak. Sensus pada 1930, seperti disampaikan Langeberg dalam Nort Sumatera Under the Dutch Colonial Rule, penduduk Medan sekitar 75.000 yang terdiri dari penduduk lokal, warga China, Arab-India, dan Eropa. Pada 2020, Badan Pusat Statistik melaporkan penduduk Medan hampir 2,5 juta jiwa yang tersebar di 21 kecamatan.
Perkebunan pun pada akhirnya berhilangan seiring dengan merosotnya industri tembakau, nasionalisasi perkebunan pascakemerdekaan, hingga perluasan kota. Kebun-kebun itu kini menjadi kawasan permukiman yang tata letaknya menyesuaikan jalur-jalur perkebunan. Medan pun berkembang menjadi kota jasa bagi kawasan di sekelilingnya.
Namun, pusat kota tetap di Lapangan Merdeka dengan pembangunan yang masif di sana. Bangunan modern bertumbuhan bersandingan dengan bangunan-bangunan tua yang beberapa di antaranya sudah menjadi cagar budaya.
Baca juga: Gugatan Warga Negara Dimenangkan, Lapangan Merdeka Medan Cagar Budaya
Konsentrasi pembangunan di tengah kota telah menimbulkan kepadatan dan kemacetan. Ditambah, belum tersedianya transportasi publik yang memadahi membuat kawasan inti kota rawan kemacetan. ”Apalagi, nanti kalau Lapangan Merdeka sudah jadi, dan menjadi pusat berkumpulnya massa, pusat kota akan semakin padat,” kata Isnen.
Pusat pertumbuhan baru
Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru di sekeliling kota, jika perlu memindahkan kantor wali kota dari tengah kota ke tempat yang lebih longgar. Selain itu, arus lalu lintas juga tidak terpusat di pusat kota sehingga tidak menimbulkan kemacetan sehingga penggunaan angkutan publik dan mengidupkan kembali jaringan rel kereta api perlu dilakukan.
Sungai juga menjadi elemen penting dalam lanskap kota. Medan perlu dikembangkan menjadi river front city atau kota yang menghadap ke sungai. Sungai direvitalisasi sehingga dapat dilalui kapal kecil, fasad bangunan pun diarahakan ke sungai. Wisata sungai pun patut dikembangkan sebagai bagian dari destinasi pelesiran warga kota juga dari luar daerah.
Pusat Kota Medan yang gemerlap dan indah di masa lalu patut dilestarikan serta direvitalisasi dengan adaptasi sesuai tuntutan di masa sekarang maupun masa depan nanti. Selain mempertahankan tinggalan sejarah penting dalam perkembangan kota, penataan di jantung Medan juga dapat memberi arah baru pembangunan yang lebih baik bagi kawasan urban sekaligus ibu kota Provinsi Sumatera Utara tersebut.