Jantung Kota Medan tengah ditata ulang. Dari Kesawan hingga Lapangan Merdeka, revitalisasi kawasan bersejarah diiringi penyediaan ruang publik baru. Kota ”Parijs van Sumatra” perlahan kembali molek seperti dulu kala.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Di tengah tegakan beton Kota Medan, ruang-ruang publik baru mulai tercipta. Di sana, masyarakat kian betah karena munculnya kedai kopi jalanan, nasi goreng gerobak, penyewaan skuter, sepeda listrik, hingga kantor pos yang disulap menjadi pusat kuliner.
Gedung-gedung tinggi menjulang di tengah Kota Medan, Sumatera Utara, di sekitar Lapangan Merdeka dan kawasan Kesawan, Sabtu (4/2/2023). Saat malam tiba, ruang di antara hutan beton itu berubah menjadi ruang publik tempat kaum urban bersenang-senang, bersantai, melupakan kesibukan rutin sehari-hari.
Anak-anak muda bermain skuter listrik mengelilingi kawasan Kesawan dan jalan di sekeliling Lapangan Merdeka yang sedang direvitalisasi. Pasangan anak muda duduk menghabiskan waktu di kursi taman di trotoar Lapangan Merdeka. Beberapa orang lainnya berswafoto dengan latar belakang bangunan-bangunan dari tempo dulu.
Di Jalan Pulau Pinang sisi selatan lapangan, barista sibuk menyeduh kopi di dalam minibus yang disulap menjadi dapur kafe jalanan. Para pelanggannya asyik mengobrol duduk di kursi plastik tanpa sandaran dan sesekali menyeruput kopi yang diletakkan di atas meja kecil.
Syafrizal Efendy (30), karyawan perusahaan di bidang marketing, duduk bersama teman dan kerabatnya. Setelah menghabiskan segelas kopi, ia menyewa skuter listrik. Memakai helm dan rompi dengan lampu pantul, ia melaju menelusuri kawasan Kesawan.
”Hampir setiap malam minggu saya dan teman-teman sealu nongkrong di kawasan Kesawan ini karena suasana kotanya enak dan ramai. Walaupun rumah saya agak jauh, saya bela-belain datang ke sini,” kata warga Medan Marelan itu.
Zein Assegaf (24) ikut dalam kesibukan malam itu. Ia bergerak lincah melayani pelanggannya. Sudah hampir empat tahun dia berjualan kopi dan berbagai jenis minuman serta makanan ringan di sekitar Lapangan Merdeka. Sebuah minibus diubahnya menjadi dapur kafe jalanan bernama Kawanua. Beberapa temannya direkrut sebagai barista untuk membantunya.
”Kafe dengan konsep street ini cukup diminati anak-anak muda karena suasana kota yang nyaman dan harganya bersahabat. Pesan satu gelas sanger (kopi susu khas Aceh) bisa nongkrong sampai tengah malam,” kata Zein sambil tertawa.
Zein menyebut, pelanggannya didominasi anak kuliah dan SMA. Sebagian lagi adalah anak muda yang baru bekerja. Saat hari libur, banyak konsumennya yang datang dari luar kota. Pemerintah kota membantu mereka mengurus legalitas berupa surat izin usaha dan badan hukum usahanya.
”Belakangan ini, pemerintah lumayan mendukung UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Urus legalitasnya dipermudah,” kata Zein.
Kesawan dan Lapangan Merdeka sudah menjadi bagian dari kawasan kosmopolitan Medan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda pada akhir 1800-an sampai awal 1900-an.
Kini seiring revitalisasi di jantung Medan, warga kembali dapat menikmati kemolekan kota itu dengan skuter, sepeda listrik, atau berjalan kaki. Masyarakat dapat menapaki kembali sejumlah tinggalan bersejarah seperti Gedung London Sumatra, Gedung Warenhuis yang sudah terbengkalai, Kedai Kopi Apek legendaris yang berdiri sejak 1923, hingga Rumah Tjong A Fie.
Masyarakat juga bisa mengelilingi Lapangan Merdeka yang sudah ada sejak 1880. Sejatinya, ketegangan masih melingkupi ikon Kota Medan itu. Koalisi Masyarakat Sipil menolak konsep revitalisasi yang kini tengah berjalan karena dinilai tidak menjaga nilai sejarah dan tidak berpihak pada ruang publik yang lebih terbuka bagi semua kelompok.
Namun, malam itu, terlepas dari isu yang membelitnya, Lapangan Merdeka tetap menjadi bagian dari lanskap kota yang menarik dinikmati.
Di sisi utara Lapangan Merdeka, Kantor Pos Besar Medan yang merupakan kompleks cagar budaya kini turut dimanfaatkan sebagai pusat jajanan dan tempat nongkrong.
Bentuk aslinya tetap dijaga, tetapi fungsinya yang bergeser meskipun tetap ada satu ruangan dipertahankan untuk layanan pos. Ada juga ruangan untuk memamerkan benda-benda pos tempo dulu seperti timbangan, alat hitung, mesin cetak, dan sejarah pos di Indonesia.
Pengunjung lebih suka duduk di ruang terbuka di pelataran kantor pos yang terbuka di berbagai sisi. Berbagai jenis jajanan dijual di Pos Bloc seperti makanan laut, jus, martabak, hingga seduhan kopi.
Di tengah Pos Bloc, ada musik hidup yang menghibur pengunjung. Jika pusat jajanan di sekitar Kesawan lebih banyak dikunjungi anak-anak muda, Pos Bloc tampak lebih banyak didatangi keluarga dan para karyawan.
Ini jadi pilihan alternatif untuk keluarga karena selama ini kalau jalan-jalan di Medan pilihannya hanya ke mal.
”Saya sudah beberapa kali membawa keluarga ke Pos Bloc karena bisa mengenalkan ke anak-anak gedung kantor pos dan benda-benda bersejarah. Ini jadi pilihan alternatif untuk keluarga karena selama ini kalau jalan-jalan di Medan pilihannya hanya ke mal,” kata Irawan (35), warga Medan pengunjung Pos Bloc.
Destinasi wisata
Tenaga Ahli Cagar Budaya Kota Medan, Rita Margaretha Setianingsih, mengatakan, ruang publik yang muncul di sekitar pusat inti bersejarah di Lapangan Merdeka dan Kesawan menjadi tempat baru untuk masyarakat urban. Kawasan itu juga bisa menjadi daya tarik destinasi pariwisata kota jika dikemas lebih baik lagi.
Selama ini, pusat inti bersejarah Kota Medan yang dikenal hanya Rumah Tjong A Fie atau Restoran Tip Top. Padahal, banyak bangunan bersejarah di pusat inti Kota Medan. ”Termasuk Lapangan Merdeka Medan yang saat ini sedang diobok-obok,” kata Rita yang juga pengajar purnakarya dari Politeknik Pariwisata Medan itu.
Rita mengatakan, ruang publik di kawasan inti bersejarah harus terus dikembangkan dan diperluas. Jangan sampai kawasan itu hanya sebagai tempat membangun gedung pencakar langit tanpa menyisakan ruang publik. Bagaimanapun, sejak awal, kawasan tersebut telah lekat sebagai pusat aktivitas warga.
Dulu, kawasan tersebut dibangun pemerintahan Hindia Belanda sebagai copy paste kota-kota di Eropa seiring berkembangnya perkebunan di Sumatera yang memantik perkembangan permukiman, pusat bisnis, juga tempat hiburan di Medan. Medan di masa itu tidak hanya diramaikan oleh warga lokal, tetapi banyak pula pendatang dari daerah lain dan negara atau bangsa lain.
Lapangan Merdeka sebagai ruang publik terintegrasi dengan balai kota, kantor pos, stasiun kereta api, kantor perbankan, perhotelan, hingga pusat komersial kawasan Kesawan. Tak heran, jika kala itu Medan dijuluki sebagai ”Parijs van Sumatra”.
Rita mengapresiasi munculnya ruang publik dan pusat jajanan di tengah hutan beton Medan masa kini. Namun, ia berharap pusat jajanan itu diramakan makanan tradisional dari berbagai etnis di Sumatera Utara. Pos Bloc diharapkan memberi ruang untuk jajanan yang harganya lebih terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Seiring malam yang semakin larut di pusat kota Medan, lampion merah bersinar temaram menghiasi langit-langit di Kesawan menyambut Cap Go Meh. Di Little India Medan di sekitar Jalan KH Zainul Arifin, lalu lintas jalan ditutup untuk perayaan Festival Thaipusam oleh diaspora Tamil.
Medan menutup malam dengan menunjukkan wajah kota kosmolitan yang sudah ratusan tahun ditempati berbagai etnis Nusantara dan dunia. Pesan disematkan agar tetap menjaga keberagaman Medan di tengah pembangunan yang terus berderap.