Meski diterpa pandemi, anak-anak muda tak mau menyerah mengembangkan bisnis kuliner di Kota Medan. Berbagai inovasi dilakukan dan konsep baru diciptakan untuk mempertahankan Medan sebagai kota kuliner.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Anak-anak muda di Kota Medan tak mau menyerah mengembangkan bisnis kuliner di tengah pandemi Covid-19. Berbagai inovasi dilakukan dengan meningkatkan kualitas produk, membangun konsep baru, hingga mencari cara memasarkan produk secara daring atau dibawa pulang.
Di tengah pandemi, bisnis kuliner baru seperti kafe, toko roti, restoran, hingga toko oleh-oleh tetap muncul di Kota Medan. Pusat kuliner baru terus bermunculan mulai dari pusat hingga ke pinggiran kota. Di kawasan Kesawan, misalnya, kini muncul bisnis kuliner baru yang berdampingan dengan kuliner-kuliner legendari yang telah muncul puluhan tahun lalu.
Salah satu bisnis kuliner yang lahir di era pandemi yakni To The Moon and Bake. Kafe itu berdampingan dengan Kedai Kopi Apek, salah satu kedai kopi tertua di Medan. Berada di antara bangunan tua bersejarah di Jalan Perdana, suasana di kafe sengaja dirancang menyerupai kota tua di Penang atau Singapura. Medan memang memiliki persinggungan historis dari sisi etnisitas dengan wilayah lain di Malaysia dan Singapura.
Chef Owner To The Moon and Bake, Keryn Diegra (26), baru saja tiba di kafenya, Rabu (2/6/2021). Ia pun langsung memeriksa dapur dan roti-rotinya untuk memastikan semua makanan disajikan dengan kualitas terbaik. "Untuk bertahan di tengah pandemi, kami andalkan produk, bukan servis. Kami fokus pada produk untuk take away (dibawa pulang) dan online," kata Keryn.
Keryn bisa dibilang cukup berani memulai bisnis kuliner. To The Moon and Bake buka pada Mei 2020 saat kepanikan bisnis mulai terjadi di awal pandemi. Ketika itu usaha-usaha kuliner yang sudah ada pun banyak tutup. Namun, karena usaha itu sudah mulai digagas sebelum pandemi, ia tetap memberanikan diri memulai bisnis itu.
Beberapa bulan sebelumnya ia juga sudah mulai menjual produk secara daring. Keryn pun terus berfokus mengembangkan produknya. Menu-menu andalannya berbagai jenis roti, kopi, olahan daging, ikan, hingga spageti.
Salah satu roti andalannya adalah Cinnamon Roll, roti gulung khas Swedia berisi rempah dan krim. Menurut Keryn, baru tokonya yang menjual Cinnamon Roll di Medan. "Roti ini favorit untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang," katanya.
To The Moon and Bake juga meluncurkan menu spesial bulanan untuk meningkatkan penjualan. Menu spesial yang hanya disajikan sekali sebulan itu diberikan khusus pada pelanggan loyal. Menu khusus yang pernah dibuat yakni beef bourguignon, semacam semur daging sapi dengan bumbu-bumbu khas Perancis yang dimasak dengan teknik memasak lambat.
Menu-menu khusus juga disajikan dalam special occasion, private dinner, atau acara khusus lainnya. Di malam Natal 2020, ia misalnya membuat makanan dengan teknik gastronomi molekuler, yakni pembuatan dengan transformasi sifat fisika dan kimia makanan dan berbasis sains.
Keryn menyajikan makanan yang memancarkan pendar cahaya warna-warni sehingga menciptakan pengalaman menikmati makanan yang unik di malam Natal. "Di tengah pandemi, inovasi produk jadi keharusan agar bisa tetap bertahan," kata Keryn.
Kafe itu mendesain interiornya dengan suasana yang homie di bangunan dua lantai berukuran sekitar 4 meter x 10 meter. Hanya ada empat meja kecil dan satu meja besar di dalam ruangan. Dapur kafe yang hanya berpembatas kaca membuat pelanggan bisa langsung melihat kokinya menyiapkan makanan.
Di sepanjang jalan itu terus bermunculan kafe-kafe baru, kedai kopi, rumah makan, hingga pusat oleh-oleh.
To The Moon and Bake juga mengintegrasikan diri dengan kuliner-kuliner legenda di sekitarnya. Pada pagi hari, pintu kafe dibuka lebar dan penyejuk udara dimatikan. Orang-orang duduk disana dan memesan makanan dari Kedai Kopi Apek. Mereka pun bisa menjual minuman.
Kafe itu pun serius dalam memenuhi permintaan makanan untuk dibawa pulang atau dipesan secara daring. Namun, menurut Keryn, bisnis kuliner tidak bisa hanya mengandalkan penjualan daring. "Karena semua toko juga melakukan hal yang sama. Harus ada produk yang berbeda," katanya.
Kuliner Wahid Hasyim
Salah satu pusat kuliner yang tumbuh pesat saat ini adalah Jalan KH Wahid Hasyim. Di sepanjang jalan itu terus bermunculan kafe-kafe baru, kedai kopi, rumah makan, hingga pusat oleh-oleh.
Satu di antara hiruk-pikuk kuliner itu adalah Diujung Senja Kopi. Kafe yang menempati bangunan kecil berukuran sekitar 4 meter x 6 meter itu digagas anak-anak muda sejak 2019 dan bersaing dengan kafe-kafe besar.
"Baru beberapa bulan berdiri, kami langsung menghadapi pandemi. Namun, kami tidak menyerah dan terus meningkatkan kualitas produk, melakukan inovasi, dan menawarkan harga yang terjangkau," kata Rahmatulloh Dian Cahyo (20), Barista Diujung Senja Kopi.
Dengan tempatnya yang berukuran kecil, kafe itu jelas lebih mengandalkan pembelian untuk dibawa pulang atau dipesan melalui aplikasi. Minumannya pun disajikan dalam plastik sekali pakai agar bisa langsung dibawa pulang atau diminum di tempat.
Namun, mereka juga berprinsip bahwa penjualan daring tidak bisa jadi pondasi bisnis karena hampir semua kafe juga melakukan hal yang sama.
Diujung Senja Kopi juga mengembangkan produk-produk unggulan seperti Kopi Susu Pagi, dan Kopi Susu Senja, dan berbagai minuman coklat, moka, taro, dan berbagai bahan dasar lainnya. Kopi Susu Pagi dan Senja menggunakan espresso (one shoot untuk Senja dan double shoot untuk pagi) dengan tambahan susu dan gula aren.
"Kami menggunakan gula aren yang kami olah sendiri untuk menjaga kualitasnya. Gula aren itu jadi ciri khas produk kami," kata Dian.
Pada Februari lalu, Diujung Senja juga meluncurkan produk hamburger. Mereka mencoba berbagai jenis hamburger untuk bisa membuat produk yang lebih bagus.
Diujung Senja memilih mengolah sendiri daging sapi lalu menyajikannya dalam porsi daging tebal. Hamburger itu pun kini jadi menu favorit untuk dibawa pulang atau dipesan daring. "Ke depan kami berencana meluncurkan produk-produk lain yang cocok untuk langsung dibawa pulang. Jenis menunya tidak perlu banyak-banyak, tetapi disukai pelanggan," kata Dian.
Selain kafe, Jalan KH Wahid Hasyim pun kini berubah menjadi pusat oleh-oleh. Diawali Ucok Durian, kini muncul berbagai toko oleh-oleh lain seperti Bolu Napoleon, Bolu Toba, Bolu Stim Menara, atau Medan Par Par. Beberapa di antaranya juga baru dibuka saat pandemi.
Leonarce, Co-Founder MakanMana (Mama) Kuliner Medan, info kuliner Medan di media sosial, mengatakan, usaha kuliner di Medan berinovasi luar biasa agar bertahan di tengah pandemi. Banyak kuliner yang dulu hanya bisa dinikmati di restoran atau kafe kini bisa dipesan daring atau dibawa pulang.
"Bahkan banyak yang membuat makanan dalam bentuk beku atau kemasan vakum agar bisa dikirim ke luar daerah," kata Leonarce.
Usaha kuliner juga kini tidak bisa menyandarkan bisnisnya dari pendatang atau wisatawan, tetapi hanya warga lokal. Di tengah daya beli masyarakat yang menurun, warga lokal Medan lebih suka produk-produk dengan promosi potongan harga yang besar dari penyedia aplikasi daring.
Pengajar di Politeknik Pariwisata Negeri Medan, Rita Margaretha Setianingsih, mengatakan, usaha kuliner Medan memang sangat terpuruk karena kunjungan wisatawan luar negeri maupun Nusantara yang anjlok. Mau tidak mau pelaku usaha harus beralih menjual produk untuk dibawa pulang atau dijual daring.
"Ini juga kesempatan bagi pelaku usaha untuk mengembangkan kualitas kulinernya," kata Rita.
Di tengah pandemi, kuliner-kuliner di Kota Medan pun berusaha untuk tetap bertahan dan bertumbuh. Anak-anak muda melakukan berbagai inovasi untuk melawan pandemi...