Miduk Hutabarat (51) prihatin melihat kondisi Lapangan Merdeka Medan. Bersama koalisi masyarakat sipil, ia menggalang aksi, menerbitkan buku, mengajukan gugatan ke pengadilan. Lapangan Merdeka pun menjadi cagar budaya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Miduk Hutabarat (51) di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Rabu (6/4/2022). Miduk bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Medan-Sumut memperjuangkan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan hingga menjadi cagar budaya.
Miduk Hutabarat (51) tak mau tinggal diam melihat kondisi Lapangan Merdeka Medan yang sangat memprihatinkan sebagai monumen bersejarah, ruang publik, dan warisan kota. Bersama koalisi masyarakat sipil, ia menggalang aksi, menerbitkan buku, hingga mengajukan gugatan ke pengadilan. Upaya itu berbuah penetapan Lapangan Merdeka Medan menjadi cagar budaya.
Terik matahari yang membuat gerah tidak menyurutkan semangat warga kota beraktivitas di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Rabu (6/4/2022). Ada siswa-siswi yang sedang latihan baris-berbaris, warga yang joging, jalan santai, serta ada pula latihan berjalan ala model peraga busana di pendopo yang lebih teduh.
Di tengah aktivitas masyarakat kota itu, Miduk menjelaskan kondisi Lapangan Merdeka yang saat ini sangat memprihatinkan. Ia menunjukkan bangunan-bangunan permanen yang berdiri di sepanjang sisi barat lapangan, menjadi pusat jajanan Merdeka Walk.
”Ini bentuk privatisasi ruang publik. Orang-orang bahkan tidak bisa masuk ke Lapangan Merdeka dari sisi barat itu,” kata Miduk sambil menunjukkan gerbang yang digembok yang membatasi pusat jajanan dengan lapangan.
Tidak kalah memprihatinkan adalah keberadaan gedung parkir permanen dua lantai di sisi timur yang tampak kumuh. Di lantai dua gedung parkir itu pun dibuat kios-kios toko buku bekas. Gedung parkir itu langsung menempel dengan Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Kota Medan Miduk Hutabarat (kanan) memperingati hari pertama kalinya kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan secara terbuka di Sumatera Utara, Selasa (6/10/2020), di Lapangan Merdeka Medan. Koalisi meminta agar Lapangan Merdeka Medan ditetapkan menjadi cagar budaya.
”Pelataran monumen berupa tangga dipotong untuk membangun gedung parkir. Padahal, panjang pelataran yang sebenarnya adalah 45 meter yang merupakan simbol tahun kemerdekaan 1945,” kata Miduk yang merupakan alumnus Arsitektur Institut Teknologi Bandung itu.
Sisi lainnya pun dibuat menjadi tempat parkir tidak resmi, pos polisi, dan kantor pemerintahan. Pohon-pohon trembesi di sekeliling lapangan tampak meranggas. Pohon itu berusia sekitar 140 tahun, ditanam bersamaan dengan pembukaan lapangan pada 1880 yang waktu itu diberi nama De Esplanade. Nama lapangan sempat berubah menjadi Fukuraido pada masa pendudukan Jepang.
Dari 4,88 hektar luas Lapangan Merdeka Medan, lebih dari 2,2 hektar sudah beralih fungsi menjadi restoran, area parkir, dan kantor.
Kondisi tersebut yang membuat Miduk bersama beberapa orang lainnya menggagas koalisi untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka. Upaya dilakukan sejak 2013. Ketika itu, Miduk yang merupakan Koordinator Komunitas Taman menghimpun dukungan dari berbagai organisasi maupun perorangan.
Beberapa organisasi pun berhimpun, seperti Komunitas Taman, Badan Warisan Sumatera, Badan Pembudayaan Kejuangan ’45 Sumut, Perhimpunan Pengembangan Jalan Indonesia, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Sumut-Aceh, serta Ikatan Arsitek Indonesia Sumut. Dukungan perorangan pun datang dari sejarawan, budayawan, arsitektur, dosen, hingga jurnalis.
Mereka berhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Medan-Sumut dengan Miduk sebagai koordinator koalisi. Guru Besar Antropologi dari Universitas Negeri Medan, Usman Pelly, menjadi ketua pengarah. Koalisi membuat diskusi, petisi, maklumat, upacara peringatan, menerbitkan buku, hingga mengajukan dan memenangi gugatan warga negara atau citizen lawsuit di pengadilan.
”Tujuan utama koalisi adalah untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka,” kata Miduk.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga beraktivitas di pusat jajanan Merdeka Walk di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, Senin (17/8/2020). Penerapan protokol Covid-19 sangat penting untuk menekan penularan Covid-19.
Salah satu langkah penting yang telah dilakukan koalisi adalah penerbitan buku berjudul Lapangan Merdeka Medan, Ruang (Publik), Warisan Sejarah dan Budaya pada April 2021. Buku setebal 570 halaman itu mengungkapkan keadaan darurat untuk mengembalikan roh Lapangan Merdeka Medan dan kawasan Kesawan di sekitarnya sebagai Parijs van Sumatera milik warga kota. Buku merangkum 75 tulisan dari 55 penulis.
Buku juga berisi 40 sketsa sudut Kota Medan hasil karya komunitas sketser Medan, belasan puisi, berikut dokumentasi gerakan warga memerdekakan Lapangan Merdeka selama ini.
Miduk juga beberapa kali menggagas aksi, teatrikal, dan upacara di Lapangan Merdeka Medan. Pernah ia menghimpun suara masyarakat yang ditulis dalam kain sepanjang total 1.000 meter yang mendukung pengembalian fungsi Lapangan Merdeka. Namun, berbagai upaya itu tidak mendapat respons memadai dari Pemerintah Kota Medan ataupun Pemerintah Provinsi Sumut.
KMS Medan-Sumut pun akhirnya mengajukan gugatan warga negara atau citizen lawsuit terhadap Wali Kota Medan di Pengadilan Negeri Medan. Koalisi memenangi gugatan itu di tingkat pertama pada Juli 2021. Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan memerintahkan Wali Kota Medan menerbitkan penetapan Tanah Lapang Merdeka Medan sebagai cagar budaya.
Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution mengajukan banding atas putusan itu. Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan menolak banding tersebut dan menguatkan putusan tingkat pertama pada Februari 2022. ”Ini adalah kemenangan masyarakat sipil. Ini juga termasuk gugatan citizen lawsuit yang pertama dimenangi oleh warga negara di Sumut,” kata Miduk.
NIKSON SINAGA
Para penulis buku Lapangan Merdeka Medan berdiskusi di Perpustakaan Cassa Mesra, Medan, Sumatera Utara, Jumat (9/4/2021).
Berbagai upaya yang dilakukan pun dibiayai koalisi secara swadaya. Mereka menghimpun donasi dari anggota koalisi dan masyarakat yang peduli terhadap upaya perjuangan memerdekakan Lapangan Merdeka Medan. Koalisi menghindari donasi dari pihak-pihak yang terafiliasi dengan partai politik atau pemerintahan.
Menanggapi putusan pengadilan, Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution telah menetapkan Lapangan Merdeka Medan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Nomor 433/28.K/X/2021 tentang Bangunan, Situs, Kawasan, dan Struktur Lapangan Merdeka Medan sebagai Cagar Budaya Kota Medan.
Atas berbagai upaya yang dilakukan, pada Juni 2018, KMS Medan-Sumut juga mendapat prasasti penghargaan dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) atas upayanya mendukung kegiatan kepurbakalaan di wilayah Sumut dan Aceh. Prasasti ditandatangani Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid serta Ketua Perkumpulan IAAI Wiwin Djuwita Ramelan.
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, Lapangan Merdeka Medan adalah monumen kemerdekaan Republik Indonesia untuk mengingatkan warga akan heroisme kemerdekaan dan pertempuran-pertempuran yang menyertainya.
Kota Medan juga didesain sebagai copy paste kota-kota di Eropa sehingga disebut sebagai ”Parijs van Sumatera”. Lapangan terintegrasi dengan balai kota, kantor pos, bank, hotel, pertokoan, stasiun kereta api, dan kawasan Kesawan di sekitarnya. ”Jantung semua itu adalah alun-alun kota, yakni Lapangan Merdeka,” kata Ichwan.
Lapangan Merdeka Medan pun kini sudah ditetapkan menjadi cagar budaya. Miduk berharap, penetapan itu ditindaklanjuti dengan mengembalikan fungsinya sebagai ruang publik, warisan kota, dan monumen bersejarah.