Layanan bus di Surabaya yang disediakan oleh pemerintah kota, provinsi, dan pusat perlu diintegrasikan, terutama dalam tarif dan sarana pendukung, untuk lebih menarik minat masyarakat memakai angkutan umum.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pengoperasian layanan bus di Surabaya, Jawa Timur, oleh pemerintah kota, provinsi, dan pusat belum didukung oleh layanan tarif yang terintegrasi. Hal itu berpotensi mengurangi minat masyarakat dalam menggunakan angkutan umum.
Saat ini di Surabaya telah beroperasi layanan Suroboyo Bus oleh pemerintah kota dengan tarif Rp 5.000 per orang dan dibayarkan secara non-tunai. Selain itu, beroperasi juga Trans Jatim oleh pemerintah provinsi dengan bus Raden Wijaya rute Sidoarjo-Surabaya-Gresik bertarif Rp 5.000 per orang. Adapun pemerintah pusat mengoperasikan Trans Semanggi Suroboyo bertarif sekitar Rp 6.000 per orang.
Layanan bus dari tiga tingkatan pemerintah memang saling melengkapi. Bus-bus tidak melewati rute secara beririsan. Namun, jika seorang warga bepergian dan harus menggunakan ketiga sarana tadi, harus membayar tiga kali.
”Saya mencoba naik bus dari Porong (Sidoarjo) ke Kenjeran (Surabaya) ternyata harus berganti tiga moda itu sehingga juga tiga kali membayar,” kata Popi Utomo, warga Buduran, Sidoarjo, Rabu (1/2/2023). Membayar sampai tiga kali tidak efektif dan nilainya agak memberatkan meski harganya lebih terjangkau daripada memakai jasa angkutan lain, seperti ojek daring, berganti angkutan kota atau moda, dan taksi.
Suhartono, warga Jambangan, Surabaya, mengatakan, meski keberadaan layanan bus terus ditingkatkan melalui keberadaan Suroboyo Bus, Trans Semanggi Suroboyo, dan Trans Jatim, layanan belum terintegrasi dan kurang pendukung. ”Rumah saya di perkampungan, jalannya sempit, belum ada feeder (pengumpan) ke halte bus, jadi kalau bepergian masih lebih efektif dengan sepeda motor,” katanya.
Dalam diskui tentang transportasi publik akhir pekan lalu di Surabaya, Fikri Disyacitta dari Urbaning Center for Urban Studies mengatakan, warga Surabaya sudah punya kesadaran untuk memakai angkutan umum, terutama bus. Namun, penggunaan bus yang disediakan oleh tiga tingkatan pemerintah itu belum menjadi kebiasaan harian. Bus-bus itu terlihat lebih ramai digunakan saat akhir pekan atau masa libur sebagai moda wisata.
Penggunaan bus yang disediakan oleh tiga tingkatan pemerintah itu belum menjadi kebiasaan harian.
”Kami melihat warga Surabaya kian sadar pentingnya transportasi publik,” kata Fikri. Namun, salah satu kendala yang dihadapi adalah belum adanya integrasi dan penyediaan sarana pendukung, khususnya angkutan pengumpan, yang memadai.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Tundjung Iswandaru mengatakan, intergrasi tarif pada ketiga layanan bus yang dioperasikan pemerintah kota, provinsi, dan pusat belum bisa dilakukan. ”Untuk integrasi tarif memang belum bisa karena penyedia layanan berbeda,” kata Tundjung.
Terkait angkutan pengumpan, ia mengatakan, paling cepat pada bulan ini pihaknya akan mengoperasikan angkutan pengumpan, tetapi masih amat terbatas. Adapun tarif angkutan pengumpan itu belum ditetapkan karena menunggu keputusan wali kota. Angkutan pengumpan ini sementara hanya bisa diintegrasikan dengan tarif atau layanan Suroboyo Bus yang berada dalam pengelolaan Pemerintah Kota Surabaya.
Angkutan pengumpan yang akan dioperasikan bertipe minibus berkapasitas maksimal 12-14 penumpang. Tahap awal pengoperasian disiapkan 57 unit. Angkutan pengumpan mengangkut penumpang dari perkampungan atau bekas lintasan angkutan kota (lyn) atau mobil penumpang umum menuju halte koridor Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Suroboyo.
”Bersama Kementerian Perhubungan kami mengupayakan integrasi layanan angkutan yang ada, setidaknya Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Suroboyo,” kata Tundjung.