Penyakit kulit berbenjol (”lumpy skin diseases”/LSD) ditemukan di Sumatera Selatan. Diperkirakan, ternak tertular dari sapi yang sudah terjangkit terlebih dahulu di beberapa daerah di luar Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Kasus penyakit kulit berbenjol (lumpy skin diseases/LSD) ditemukan di ternak sapi daerah di Sumatera Selatan. Penyebaran penyakit itu diperkirakan berasal dari provinsi tetangga. Vaksinasi mulai dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit kian meluas.
Kepala Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Sumatera Selatan Ruzuan Efendi, Sabtu (28/1/2023), mengatakan, sampai saat ini sudah ditemukan sekitar 50 kasus LSD yang tersebar di beberapa daerah di Sumatera Selatan, seperti Banyuasin dan Musi Banyuasin. ”Namun, beberapa di antaranya sudah dinyatakan sembuh,” ucapnya.
Diperkirakan, ternak tertular dari sapi yang sudah terjangkit terlebih dahulu di beberapa daerah di luar Sumsel. ”Seperti diketahui, kasus LSD sudah ditemukan terlebih dulu di Jambi dan Riau. Kemungkinan kasus yang muncul di Sumsel juga berasal dari sana,” ujar Ruzuan.
Karena itu, lanjut Ruzuan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait untuk benar-benar mengawasi distribusi hewan ternak yang masuk ataupun yang keluar dari Sumsel agar penyebaran penyakit tidak meluas. Sampai saat ini, pihaknya juga telah menerima vaksin sebanyak 4.000 dosis yang langsung disalurkan ke daerah-daerah yang sudah ada kasus LSD.
Mengutip informasi dari website Balai Besar Veteriner Wates, DI Yogyakarta, Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit kulit infeksius yang disebabkan oleh Lumpy Skin Disease Virus. Virus ini umumnya menyerang hewan sapi dan kerbau. LSD dapat menyebabkan abortus, penurunan produksi susu pada sapi perah, infertilitas dan demam berkepanjangan.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus penyakit hewan ternak terus menerpa Sumsel. Penyakit yang muncul di antaranya penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sudah mewabah sejak 2021. Beragam upaya, seperti vaksinasi, terus dilakukan. Alhasil, sejak Juli 2022, tidak ada lagi kasus PMK di Sumsel. Namun, kini muncul penyakit lain, yakni LSD, yang juga cukup meresahkan.
Seperti diketahui, kasus LSD sudah ditemukan terlebih dulu di Jambi dan Riau. Kemungkinan kasus yang muncul di Sumsel juga berasal dari sana.
Meskipun begitu, lanjut Ruzuan, penyakit PMK dan LSD yang ada di Sumsel belum memengaruhi populasi sapi. Populasi sapi di Sumsel masih pada kisaran 305.000 ekor. Hanya saja, jumlah tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan daging warga Sumsel.
Untuk memenuhi kebutuhan daging, setidaknya dibutuhkan sekitar 700.000 ekor per tahun. Dari 125.000 ton kebutuhan daging sapi per tahun, hanya 80.000 ton yang diproduksi sendiri di Sumsel, sisanya masih dipasok dari daerah lain.
Anggota Asosiasi Peternak dan Penjual Hewan Kurban Sumatera Selatan, Idil Fitriansyah, menyebut, serangan penyakit hewan ternak yang bertubi-tubi membuat peternak sapi khawatir. ”Kami agak mengerem untuk mengambil sapi dari daerah lain karena khawatir sapi kami tertular atau bahkan mati,” ucapnya.
Biasanya, enam sampai delapan bulan sebelum Idul Adha, peternak sudah mengambil anak sapi dari daerah lain. Namun, adanya penyakit LSD, banyak peternak menunda pemesanan. Selama ini sebagian besar peternak sapi di Sumsel mengambil sapi dari sejumlah daerah, seperti Lampung, Jawa, dan Bali.
Padahal, di masa Idul Adha tahun ini diprediksi permintaan sapi akan meningkat seiring sudah melonggarnya kasus Covid-19. ”Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada menurunnya jumlah sapi yang dipasok dan berdampak pada kenaikan harga sapi,” ucapnya.
Kenaikan harga sapi di tahun ini diperkirakan akan sangat tinggi, yakni sekitar Rp 2 juta-Rp 5 juta per ekor. Padahal, di waktu biasa, kenaikan harga sapi hanya sekitar Rp 500.000 per ekor. ”Tahun lalu, harga sapi minimal Rp 15 juta, tetapi karena pasokan yang terbatas, kemungkinan harga sapi paling murah di tahun ini berkisar Rp 20 juta,” ujarnya.
Karena itu, Idil berharap agar pemerintah langsung mengambil tindakan agar penyakit LSD tidak lagi merebak dengan memperkuat vaksinasi. ”Kalau kami hanya berjuang sendiri, tentu kami tidak mampu, kami butuh bantuan vaksin dari pemerintah,” ujar Idil.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Sumsel Jafrizal menyebut, LSD tidak kalah berbahayanya seperti PMK. Kedua penyakit ini bisa menyebabkan kematian bagi hewan ternak. Karena itu, upaya vaksinasi diharapkan dapat meminimalisasi penularan.
Di sisi lain, Jafrizal berharap agar peternak juga lebih ketat dalam menjaga kebersihan kandang agar media penularan berupa lalat dan nyamuk tidak hinggap di sapi dan membuat mereka tertular. Pengawasan terhadap lalu lintas distribusi juga harus diperketat agar sapi yang masuk ke Sumsel adalah sapi yang benar-benar sehat. ”Karena, penyakit ini, jika tidak ditanggulangi segera, daya tularnya sangat tinggi,” ucap Jafrizal.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya berharap agar penyakit yang menimpa ternak di Sumsel tidak menyebabkan populasi sapi berkurang. ”Kami masih mendatangkan sapi dari luar kota, jangan sampai akibat penyakit ini, populasi sapi kita kian anjlok,” ucapnya.
Karena itu, ia berharap agar dokter hewan dan para penyuluh terus memberikan edukasi kepada peternak untuk menjaga agar ternaknya tetap sehat dan tidak mudah tertular penyakit. Di sisi lain, upaya pembibitan harus terus diperluas setidaknya untuk memenuhi kebutuhan daging warga Sumsel.