Pengadilan Negeri Surabaya menolak eksepsi tiga terdakwa Tragedi Kanjuruhan dari anggota Polri. Dakwaan pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP sudah tepat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menolak eksepsi atau keberatan tiga terdakwa yang merupakan anggota Polri dalam sidang putusan sela Tragedi Kanjuruhan, Jumat (27/1/2023).
Tiga terdakwa itu adalah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
”Menyatakan keberatan dari terdakwa tidak diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan putusan sela di Ruang Cakra PN Surabaya. Sebagai pertimbangan, majelis menyatakan, dakwaan jaksa penuntut umum yang menjerat ketiga terdakwa dengan pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP sudah tepat.
Majelis kemudian memerintahkan jaksa untuk melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi. Tiga terdakwa yang dalam persidangan sebelumnya hadir secara dalam jaringan (online) harus hadir di Ruang Cakra untuk sidang-sidang berikutnya. ”Majelis memutuskan sidang berlangsung offline agar ada perlakuan yang sama terhadap terdakwa lainnya di perkara yang sama,” kata Abu.
Selain tiga terdakwa tersebut, ada dua terdakwa lainnya, yakni bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris dan bekas Security Officer Suko Sutrisno. Keduanya tidak mengajukan eksepsi sehingga sedang menjalani sidang pemeriksaan saksi dan hadir di persidangan. Dengan demikian, dalam perkara Tragedi Kanjuruhan sedang disidangkan lima terdakwa. Selain itu, ada satu tersangka yang pemberkasannya oleh Polda Jatim belum selesai sehingga belum bisa disidangkan, yakni bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita.
Satu tersangka pemberkasannya oleh Polda Jatim belum selesai sehingga belum bisa disidangkan.
Tragedi Kanjuruhan merupakan insiden berdarah dan terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Itu terjadi seusai laga lanjutan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober 2022. Terjadi kericuhan karena kalangan penonton menerobos ke lapangan. Situasi itu dibalas dengan penembakan gas air mata oleh petugas keamanan yang memicu kepanikan yang berujung insiden dengan kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 jiwa terluka yang hampir seluruhnya Aremania atau pendukung Arema FC.
Dalam sidang untuk terdakwa Abdul dan Suko, Kamis (26/1/2023), tiga terdakwa dari anggota Polri hadir sebagai saksi. Hasdarmawan dan Bambang mengaku memerintahkan penembakan gas air mata, sedangkan Wahyu menyatakan tidak memerintahkan hal tersebut.
Dalam dakwaan, jaksa Rully Mutiara menyebut Hasdarmawan sebagai Komandan Kompi (Danki) 3 Batalyon A Pelopor dalam insiden itu memerintahkan anggota untuk menembakkan gas air mata saat sejumlah pendukung Arema FC merangsek ke lapangan. Terdakwa dinilai tidak mempertimbangkan risiko fatal akibat perintah penembakan itu. Perintah dimaksud merupakan kecerobohan dan ketidak hati-hatian.
”Penembakan itu menimbulkan dan memperbesar risiko penonton panik dan berdesak-desakan untuk keluar dari stadion sehingga terjadi penumpukan di pintu-pintu, terutama pintu 3, 10, 11, 12, 13, dan 14, yang mengakibatkan suporter terimpit dan terinjak-injak sehingga menimbulkan kematian 135 orang,” kata Rully.
Dalam sidang sebelumnya, menurut Hasdarmawan, Kompi 3 mendapat perintah dari Polda Jatim untuk membantu Polres Malang dalam pengamanan laga Liga 1 itu. Sebanyak 90 anggota dikerahkan dengan 9 anggota di antaranya membawa senjata gas air mata. Insiden dipicu situasi setelah pertandingan selesai karena banyak penonton memasuki lapangan. Steward atau pengawas berusaha menghalau, tetapi situasi tidak terkendali karena penonton melempar batu, botol, atau lainnya ke lapangan.
Hasdarmawan melanjutkan, bersama pasukannya, ia mencoba menghalau penonton dengan peringatan, tetapi diabaikan. Mereka bergerak ke sisi selatan lapangan termasuk anggota yang membawa senapan gas air mata. ”Semakin banyak lemparan. Saya perintahkan anggota untuk persiapan penembakan,” katanya.
Hasdarmawan mengatakan, selanjutnya dirinya memerintahkan penembakan yang lalu ditempuh oleh sembilan anggota pembawa senjata gas air mata. Setiap anggota yang membawa senjata itu masing-masing menembak empat kali sehingga terjadi penembakan sebanyak 36 kali. Namun, Hasdarmawan menampik memerintahkan penembakan ke tribune penonton, tetapi ke arah datangnya ancaman atau serangan pelemparan benda. ”Ke tribune tidak ada,” ujarnya.
Penembakan itu terjadi tanpa komando perwira lebih tinggi atau atasan. Hasdarmawan memerintahkan penembakan setelah mencoba menghubungi atasannya Kepala Seksi Operasional, tetapi tidak mendapat respon melalui handy talkie. Setelah itu, Hasdarmawan dan pasukan keluar untuk membantu evakuasi tim Persebaya dalam mobil taktis Barracuda. Pasukan Hasdarmawan melepaskan lagi dua tembakan untuk mengurai massa yang sempat memblokade jalan mobil taktis.
Bambang mengatakan, 29 anggota bertugas mengamankan tim Persebaya dari hotel ke stadion dan sebaliknya. Seusai laga yang berakhir dengan kemenangan Persebaya itu, Bambang dan anggota melindungi tim tamu yang bergegas menuju ruang ganti. ”Kami buat perlindungan dengan tameng di atas kepala karena sudah ada lemparan dan bertubi-tubi,” katanya.
Bambang melanjutkan, anggota berusaha bertahan dan mencegah penonton yang mencoba menerobos. Petugas dan penonton berimpitan di lorong dan timbul kericuhan. Bambang melihat sejumlah anggota terluka sehingga memerintahkan dua orang melepaskan tembakan gas air mata. ”Anggota terbatas dan sebagian terluka sehingga saya perintahkan dua anggota menembakkan gas air mata,” katanya.