Perkawinan Anak di Indramayu Turut Picu Perceraian hingga Tengkes
Perkawinan usia anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masih tinggi. Selain faktor ekonomi, pergaulan berisiko yang berujung kehamilan juga menjadi faktor pemicunya. Akibatnya, perceraian hingga tengkes.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Perkawinan usia anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masih tinggi. Selain faktor ekonomi, pergaulan berisiko yang berujung kehamilan juga menjadi faktor pemicunya. Akibatnya, perkawinan anak dapat berdampak pada perceraian hingga tengkes.
Tingginya tingkat perkawinan anak terekam dalam dispensasi kawin yang diputuskan Pengadilan Agama Indramayu. Sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia pernikahan minimal 19 tahun. Di bawah itu, pemohon dapat menikah dengan catatan mengurus dispensasi kawin.
Sepanjang 2022, pengadilan agama setempat menerima 572 pengajuan dispensasi kawin. Dari jumlah itu, hakim mengabulkan 564 permohonan. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan putusan dispensasi nikah tahun 2021 dan 2020 yang masing-masing tercatat 625 kasus dan 761 kasus.
”Penurunan dispensasi nikah ini menunjukkan masyarakat mulai sadar aturan baru, yakni usia pernikahan minimal 19 tahun. Akan tetapi, angkanya masih tinggi. Hal ini tetap menjadi perhatian kita bersama,” ujar Dindin Syarief Nurwahyudin dari Bagian Humas Pengadilan Agama Indramayu, Kamis (26/1/2023).
Dispensasi kawin di Indramayu terbanyak ketiga di Jabar setelah Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Menurut Dindin, pemberian dispensasi kawin dilematis. Di satu sisi, usia anak belum sesuai untuk menikah, tetapi orangtua memohon agar anaknya bisa menikah.
”Sekitar 70-80 persen anak yang ingin dispensasi kawin sudah hamil. Hakim sulit menolaknya karena kalau anaknya hamil sebelum nikah itu jadi aib,” ujar Dindin. Menurut dia, pergaulan berisiko di lingkungan anak turut menyebabkan kehamilan tidak diinginkan.
Alasan lain pemohon mengajukan dispensasi kawin adalah kekhawatiran orangtua akan pergaulan anaknya. Rentang umur anak yang mau dinikahkan berkisar 16 tahun-18 tahun.
”Rata-rata mereka sudah putus sekolah di SMP. Dari sini kelihatan ada faktor ekonomi juga,” ujar Dindin.
Pihaknya telah berupaya mendorong pemohon agar menunda pernikahan di usia anak. Selain menasihati keluarga anak, lanjutnya, hakim juga meminta dokumen, kehadiran dua saksi, hingga pemeriksaan kesehatan.
”Jadi, pengadilan tidak mudah mengabulkan dispensasi kawin,” ujarnya.
Hakim juga akan menolak, katanya, tetapi orangtua bersikeras agar anaknya segera dinikahkan. Padahal, sebagian calon suami belum memiliki penghasilan memadai. Bahkan, Dindin memperkirakan sekitar 50 persen calon suami merupakan buruh serabutan dengan pendapatan tidak menentu.
”Dampak dari pernikahan dini itu rata-rata pecah rumah tangga atau cerai karena mereka belum siap secara mental dan ekonomi,” ujarnya. Dari 7.771 kasus perceraian tahun 2022, sebanyak 5.612 atau 72 persen di antaranya dipicu faktor ekonomi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Indramayu Heka Sugoro mengatakan telah berupaya mencegah perkawinan anak. Misalnya, sosialisasi dampak perkawinan anak ke publik.
”Pencegahannya butuh banyak pihak, seperti sekolah, orangtua, dan petugas kesehatan. Apalagi, mereka yang menikah di usia anak dan kebanyakan sudah hamil ini bisa berisiko stunting (tengkes). Kami akan mendampingi mereka untuk mencegah stunting,” katanya.
Tengkes adalah kondisi kurang gizi kronis sejak bayi dalam kandungan yang berakibat terganggunya tumbuh kembang anak. Anak balita tengkes tidak hanya pendek, tetapi juga mengalami defisit kognitif. Tahun 2021, prevalensi tengkes di Indramayu tercatat 14,4 persen.
Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jabar Darwini mengatakan, Indramayu telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak. Perda itu juga mencakup pernikahan usia anak.
”Namun, pemkab tidak menindaklanjuti perda itu dengan peraturan bupati sehingga tidak ada aturan lebih teknis yang tentang pencegahan perkawinan anak,” ujarnya. Perbup itu, lanjutnya, juga dapat diturunkan hingga ke tingkat desa sehingga masyarakat lebih melek pernikahan anak.