Unicef memprediksi ada tambahan 10 juta perkawinan anak hingga akhir dekade ini secara global. Pelibatan masyarakat dan kaum muda penting untuk mencegah hal ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkawinan anak merupakan bentuk perampasan hak dasar anak. Masyarakat, termasuk kaum muda, mesti diberi pemahaman tentang dampak buruk perkawinan anak. Pelibatan mereka penting untuk mencegah perkawinan anak.
Hak dasar anak meliputi hak hidup, perlindungan, partisipasi, serta hak untuk bertumbuh dan berkembang. Namun, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Bintang Darmawati, perkawinan anak menyalahi semua hak tersebut. Perkawinan bahkan termasuk salah satu bentuk kekerasan terhadap anak.
Anak perlu dilindungi dan dipenuhi haknya agar bisa tumbuh menjadi manusia berkualitas. Untuk itu, masyarakat perlu dilibatkan, termasuk kaum muda.
“Untuk menghapus perkawinan anak, penting melibatkan anak-anak itu sendiri,” ucapnya pada diskusi daring Dialog Nasional Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Masa Pandemi, Kamis (10/3/2022).
Di sisi lain, pandemi Covid-19 memperbesar potensi perkawinan anak. Sejumlah keluarga yang kesulitan ekonomi akan menikahkan anaknya dengan harapan beban finansial berkurang. Ada juga yang menikahkan anaknya karena takut anak tidak dapat jodoh.
Bintang mengatakan, perkawinan anak terjadi pada laki-laki dan perempuan. Namun, risikonya lebih tinggi pada perempuan.
Pada 2018, setidaknya satu dari sembilan anak berusia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun. Situasi yang sama hanya terjadi pada satu dari 100 laki-laki. Adapun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mencatat 100 juta anak perempuan berisiko mengalami perkawinan hingga akhir dekade ini. Selain itu, diperkirakan ada tambahan 10 juta perkawinan anak hingga akhir dekade ini secara global.
Perkawinan anak juga tampak dari data Mahkamah Agung. Permohonan dispensasi perkawinan pada 2020 mencapai 64.000 perkara, naik 200 persen dari 2019 yang angkanya sekitar 24.000 perkara.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengatakan, permohonan dispensasi perkawinan yang dikabulkan pada 2020 sekitar 90 persen. Angkanya turun menjadi 82 persen di 2021.
“Ada orangtua yang nekad mengawinkan anaknya secara siri jika permohonan dispensasinya ditolak. Perkawinan baru didaftarkan secara sipil saat anak berusia 19 tahun,” kata Woro.
Padahal, perkawinan membuat anak rentan menerima kekerasan seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, hingga menjadi korban kekerasan domestik. Hak memperoleh pendidikan pun tercabut begitu anak menikah. Di sisi lain, perkawinan anak dapat menyebabkan kemiskinan lintas generasi serta menyebabkan anak menderita gangguan kesehatan.
Angka perkawinan anak di Indonesia pada 2020 sebesar 10,35 persen. Pemerintah menargetkan angkanya turun menjadi 8,74 persen di 2024 dan 6,94 persen di 2030. Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak pun disusun.
Pelibatan masyarakat
Salah satu strategi itu ialah membentuk lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Ini membutuhkan partisipasi masyarakat. Kesadaran publik tentang dampak perkawinan anak mesti dibangun.
Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama (KitaB) Lies Marcos mengatakan, Rumah KitaB melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas pengetahuan bagi remaja, orangtua, hingga lembaga formal dan informal untuk mencegah perkawinan anak. Rumah KitaB juga merilis modul Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). PATBM diterapkan komunitas di sejumlah wilayah, yakni Jakarta Utara, Cirebon, dan Cianjur.
“Kami menemukan bahwa ketiga kelompok sasaran itu (remaja, orangtua, lembaga) merupakan subyek terjadinya kawin anak. Karena itu, penguatan ketiga kelompok sasaran ini penting,” ucap Lies.
Sebelumnya, perwakilan Children and Youth Advisory Network (CYAN) Putri Gayatri dalam diskusi Civil 20 (C-20) mengatakan, anak dan remaja perlu dilibatkan untuk menyusun kebijakan yang akan memengaruhi hidup mereka. Tujuannya agar kebijakan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.
“Pelibatan yang dimaksud bukan hanya menanyakan pendapat dan mendengarkan mereka. Kaum muda mesti ditanggapi serius, lalu masukan mereka diwujudkan jadi kenyataan,” kata Putri, Selasa (8/3).