Lemahnya pengawasan dan penindakan menyebabkan masalah angkutan batubara di Jambi kian semrawut. Meski sudah dilarang, dalam sepekan terakhir angkutan batubara juga nekat melintas di dalam kota.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Masyarakat di Provinsi Jambi menyesalkan sikap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum yang cenderung membiarkan masifnya angkutan batubara yang menyebabkan berbagai masalah di jalan umum. Lemahnya pengawasan dan penindakan menyebabkan masalah angkutan batubara di Jambi kian semrawut.
Dalam sepekan terakhir, angkutan batubara nekat melintas di jalanan Kota Jambi. Bahkan, sejumlah angkutan batubara melenggang lewat di depan rumah dinas Gubernur Jambi yang berada di Jalan Raden Pamuk, Kota Jambi.
Sejumlah jalur lain di Kota Jambil yang juga leluasa dilewati angkutan batubara adalah Jalan Kolonel Polisi Mohammad Taher dan Jalan Adam Malik. Para pengemudi biasanya ngebut untuk menghindari protes warga maupun penindakan dari aparat.
Suhardi, warga di kawasan wisata Ancol, Kota Jambi, mengatakan, truk-truk pengangkut batubara itu sudah dilarang masyarakat melintasi jalan di dalam kota. Larangan juga sudah diatur pula dalam peraturan daerah. Namun, kini angkutan tersebut nekat melintas di Kota Jambi lagi. ”Malahan leluasa lewat di depan rumah dinas gubernur,” ujarnya, Senin (23/1/2023).
Ketua Pengurus Harian Bersama Pengemudi Angkutan Batubara Jambi Darmawi Ermanto membenarkan adanya angkutan batubara yang nekat melintas di Kota Jambi. Dia menyebut, hal itu terjadi karena minimnya pengaturan tegas oleh aparat di jalur-jalur rawan kemacetan di pinggir kota.
Sesuai aturan daerah, angkutan batubara hanya boleh menggunakan jalan negara pukul 18.00 hingga 05.00 WIB. Dengan durasi waktu yang sempit, ribuan angkutan batubara berdesakan untuk dapat melintas. Kondisi itu menimbulkan kemacetan yang kian parah belakangan.
Darmawi menambahkan, kemacetan kian parah seiring maraknya pungutan liar di sekitar tempat penarikan restribusi (TPR) Terminal Talang Gulo, Kota Jambi. Praktik liar itu, katanya, menyebabkan perjalanan dari terminal ke Simpang Pal 10 yang hanya berjarak 9 kilometer memakan waktu 3-4 jam.
”Karena tidak tahan macet, banyak pengemudi mencari jalan pintas. Masalah ini telah kami keluhkan berulang kali, tetapi belum ada tindak lanjut aparat berwenang,” ujar Darmawi.
Banyaknya angkutan batubara yang merambah hingga dalam kota tak hanya menimbulkan kerusakan jalan, tetapi juga meluasnya kemacetan serta berpotensi menyebabkan kecelakan lalu lintas. Apalagi, sebagian angkutan batubara juga memenuhi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di dalam kota sehingga menyebabkan antrean panjang kendaraan memenuhi jalan.
Anggota Komisi V DPR, Sudewo, mempertanyakan kebijakan pemerintah daerah dan pihak terkait lain yang berkompromi dengan aktivitas pengangkutan batubara di jalan umum. Padahal, undang-undang sudah jelas mengatur bahwa angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum. Pengusaha tambang wajib membuat jalan khusus sendiri.
”Di negeri ini ada banyak daerah yang menghasilkan tambang batubara, tetapi hanya di Jambi yang pengangkutannya bikin masalah. Patut kita pertanyakan, ada apa?” katanya.
Pemerintah Provinsi Jambi bahkan menerbitkan Instruksi Gubernur Jambi Nomor 8 Tahun 2022 yang membolehkan angkutan batubara dua sumbu melewati jalan publik dengan muatan lebih besar. Dalam poin kesatu instruksi itu disebutkan, pengangkutan batubara boleh sampai 8 ton, belum termasuk berat kendaraan.
Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2021, jalan kelas III didesain dengan muatan sumbu terberat kurang dari 8 ton. Hal itu sudah mencakup bobot truk dan isi muatannya.
”Ini menggambarkan ada toleransi besar dari pemda terhadap kepentingan batubara,” kata Sudewo.
Pada pekan lalu, Sudewo dan tim Komisi V DPR telah mengecek langsung masalah angkutan batubara di Jambi. Dari kunjungan kerja itu, tim meminta dua hal.
Pertama, ketegasan aparat dan pemerintah daerah mengatasi masalah pengangkutan batubara. Kedua, agar dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai tambang batubara di Jambi dengan melibatkan kementerian terkait di Jakarta.
”Batubara yang melintasi jalan umum di Jambi ini apakah memberi manfaat bagi masyarakat atau tidak? Kalau tidak memberi manfaat, tutup saja. Ini perlu evaluasi serius,” ungkap Sudewo.
Di negeri ini ada banyak daerah yang menghasilkan tambang batubara, tetapi hanya di Jambi yang pengangkutannya bikin masalah. (Sudewo)