Mengenal Lebih Dalam Tenun Sasak di Mini Museum Tenun
Keresahan akan masih minimnya edukasi tentang tenun mendorong lahirnya Mini Museum Tenun Sasak. Lewat inisiasi itu, masyarakat diharapkan tidak hanya memakai tenun, tetapi juga memahami nilai dan makna di dalamnya.
Banyak orang yang senang mengenakan kain tenun. Tetapi tidak sedikit yang hanya memiliki dan mengenakannya saja. Sementara filosofi, bahkan nama motifnya pun tidak mereka ketahui. Mini Museum Tenun kemudian diinisiasi untuk menjawab persoalan itu, khususnya memahami kain tenun Sasak lebih mendalam.
Waktu menunjukkan pukul 11.30 Wita, saat pengunjung tiba di Mini Museum Tenun yang berlokasi di gedung galeri lukis Taman Budaya Nusa Tenggara Barat di Mataram, Sabtu (24/12/2022) lalu.
Baca juga: Tenun dari Perempuan Lombok Tengah
Rozi Wirawan Zuhdi (23) yang bertugas, dengan ramah menyambut dan mempersilahkan pengunjung itu masuk. Rozi lalu menemaninya berkeliling.
Mini Museum Tenun tidak seperti museum pada umumnya. Misalnya dengan kain-kain tenun yang dipajang atau dikenakan pada maneken, ditambah kertas berisi penjelasan singkat.
Mini Museum Tenun berupa pigura-pigura yang dipasang di dinding. Pigura itu berisi foto beragam motif kain tenun Sasak. Dari yang asli Lombok, hingga motif adopsi dari daerah lain.
Pengunjung yang datang siang itu terlihat sedikit bingung. Apalagi hanya ada nama motif tenun dan sebuah kode batang di bawahnya saja yang dicantumkan. Tidak ada penjelasan lain.
Baca juga: Tenun, Warisan Leluhur yang Menghidupi Banyak Warga NTB hingga Kini
Melihat itu, Rozi kemudian menunjuk ke kode batang tersebut. “Tinggal buka aplikasi kamera di ponsel, lalu arahkan kesana dan pindai,” kata Rozi.
Pengunjung itu langsung mencoba. Begitu kamera diarahkan ke kode batang, sebuah pranala (link) muncul di layar. Begitu pranala itu disentuh, aplikasi instagram terbuka dan mengarah ke akun @benangsasak_.
Di akun tersebut, gambar di pigura yang dipindai kembali muncul. Tetapi lebih lengkap dengan penjelasan terkait makna motif. Misalnya Motif “Subah Nale” yang sangat tersohor dan hampir semua desa tenun di Lombok Tengah mengenalnya.
“Selain karena motifnya memiliki filosofi yang tinggi, penenun menganggap jika menenun Subah Nale adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam tradisi menenun. Mengingat Subah Nale diyakini sebagai bentuk ketaatan pada yang Maha Pencipta,” demikian penjelasan di akun @benangsasak_.
Baca juga: Saat Presiden Joko Widodo Terpikat Sepatu Tenun Sundawa Lombok
Jika tidak cukup, Rozi akan menjelaskan lebih detail tentang motif itu secara langsung ke pengunjung. Lengkap dengan filosofi, makna, serta penggunaan kain tenun tersebut di kehidupan sehari-hari di masyarakat Sasak atau suku asli Pulau Lombok.
Kolaborasi
Mini Museum Tenun Sasak merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam proyek seni inklusif perempuan “Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak”.
Proyek itu merupakan salah satu salah satu proposal yang lolos dalam program Dana Indonesiana Tahun 2022 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, juga Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP.
Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan meliputi riset pada November 202, lokakarya pada Desember 2022-Januari 2023, dan presentasi gagasan mini museum pada 24 Desember 2022. Selain itu, akan ada presentasi pertunjukan kontemporer pada 14 Februari 2023 dan diskusi pada 16 Februari 2023.
Baca juga: Kemilau Wastra Tenun Nusantara
Inisiator mini museum Fitri Rachmawati menjelaskan, Mini Museum Tenun Sasak merupakan kolaborasi berbagai pihak. Mulai dari penenun, peminat tenun, lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, seniman, hingga penerima beasiswa proyek seni inklusif perempuan “Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak” dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
Selain karena motifnya memiliki filosofi yang tinggi, penenun menganggap jika menenun Subah Nale adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam tradisi menenun
Menurut Fitri yang juga pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Mini Museum Tenun Sasak berangkat dari keresahan akan minimnya edukasi tentang tenun.
“Banyak orang tidak memahami cerita mendalam tentang tenun. Bagaiman proses pembuatan, juga nilai dan makna di dalamnya,” katanya.
Fitri berharap, lewat mini museum, siapa pun akan mengetahui jika tenun punya proses panjang. Juga tidak sederhana, melainkan memiliki makna yang dalam pada setiap motifnya.
Menurut dia, untuk saat ini, mereka baru membuat satu mini museum untuk kelompok penenun di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah.
Baca juga: Terpikat Tenun Ikat Melayu Riau
“Setelah ini, kami bersama teman-teman secara kolaborasi juga akan membuat mini museum-mini museum di setiap tenun yang ada. Juga rencananya mini museum untuk Wayang Sasak dan Alat Musik Tradisional Sasak,” kata Fitri.
Dalam proses pembuatan bahan mini museum, kata Fitri, mereka juga melatih anak-anak muda setempat. Pelatihan itu terkait bagaimana membuat narasi tentang kain tenun, mengunggah ke media sosial, hingga membuatkan kode batang.
Membantu promosi
Kepala Desa Sukarara H Saman Budi menyambut gembira hadirnya mini museum untuk salah satu kelompok penenun di desanya. Ia berharap, ke depannya akan semakin banyak kelompok yang memiliki mini museum sendiri.
“Langkah ini jadi salah satu promosi. Terutama untuk memperkenalkan produk tenun ke masyarakat luas baik domestik maupun mancanegara,” kata Saman Budi.
Baca juga: Kain Tenun Nusantara Layak Diakui Dunia
Menurut Saman Budi, tenun telah menjadi budaya yang dilestarikan masyarakat Sukarara. Bahkan desa tersebut kini menjadi salah satu Desa Wisata Tenun di Lombok.
Saman Budi mengatakan, tidak hanya budaya, tenun yang lebih banyak dibuat oleh para perempuan, telah menjadi sumber ekonomi. Sehingga berbagai upaya promosi terus mereka lakukan.
“Di samping adanya mini museum ini, kami dari pemerintah desa juga berupaya memaksimalkan promosi agar tenun Sukarara mendunia. Misalnya dengan rutin setiap tahun menggelar Festival Begawe Nyesek Sukarara,” kata Saman Budi.
Rozi yang juga dari Kelompok Tenun Lumbung Sensek Sukarara mengatakan, mereka akan membuat lebih banyak konten untuk mengisi Mini Museum. Apalagi banyak motif tenun di Sukarara.
Baca juga: Industri Mode Bangkitkan Kembali Tenun Ulos
“Saya berharap, lewat digitalisasi, selain membantu promosi, Mini Museum Tenun akan membuat masyarakat semakin menghargai tenun,” kata Rozi.
Kehadiran mini museum juga sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini. Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTB Hj Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah menambahkan, kelompok penenun harus belajar untuk beradaptasi dan menggunakan teknologi yang ada. Sehingga bisa mendapatkan manfaat.
Menurut Niken, konsep Mini Museum Tenun sejalan dengan apa yang akan dikembangkan Pemerintah Provinsi NTB. Dalam waktu dekat, mereka juga akan membuat aplikasi terkait tenun dan berbagai sub industri yang ada.
Niken mengatakan, dengan adanya aplikasi seperti Mini Museum Tenun, kejadian yang sempat viral beberapa waktu lalu tidak terulang.
Kejadian itu adalah saat seorang wisatawan yang berkunjung ke Kampung Adat Sade di Pujut, Lombok Tengah, mengungkapkan jika dirinya merasa ditipu oleh harga kain tenun yang terlalu mahal.
“Beliau kurang informasi (tentang tenun). Kalau memahami prosesnya, pasti akan mengapresiasi dan tidak memberikan penilaian seperti itu. Sehingga kita juga perlu memanfaatkan berbagai platform media sosial yang ada untuk menceritakan tentang tenun kita,” katanya.