Kain tenun Nusantara menyimpan kekayaan budaya Indonesia. Kain ini berpotensi menjadi warisan budaya tak benda yang diakui dunia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kain tenun Nusantara potensial untuk diajukan sebagai warisan budaya tak benda yang diakui dunia. Selain menyimpan kekayaan nilai budaya, kain tenun juga sarat akan kearifan lokal, filosofi, dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakat.
Perancang busana sekaligus pendiri jenama Oerip Indonesia, Dian Erra Kumalasari menilai kain tenun sebagai warisan budaya dan mahakarya yang tak ternilai. Kain tenun dan tradisi menenun merupakan pengetahuan yang diturunkan nenek moyang ke generasi-generasi berikutnya. Tradisi itu masih hidup hingga sekarang.
Selain itu, kain tenun juga dinilai sebagai salah satu simbol keberagaman budaya di Indonesia. Ini karena setiap daerah memiliki motif, filosofi, hingga warna kain yang berbeda-beda.
“Letak geografis memengaruhi pewarna alam untuk kain. Misalnya, (pewarna alam di) Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur akan menghasilkan warna indigo yang berbeda. Kita memiliki pewarna alam kain tenun yang sangat kaya dan yang tidak dimiliki bangsa lain,” kata Dian yang juga pegiat kain tenun saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Kain tenun pun bukan hanya produk fisik, tapi juga manifestasi olah rasa para penenun. Dian memandang bahwa ada meditasi dalam proses menenun. Menenun juga merupakan proses menyampaikan pengalaman rasa para penenun.
Kain tenun juga bisa dimaknai sebagai hasil dari proses menenun kehidupan. Ini karena kain tenun Nusantara kerap digunakan dalam berbagai siklus kehidupan manusia, baik pada kelahiran, pernikahan, kematian, hingga saat upacara adat.
“Sikap penenun akan memengaruhi hasil tenunannya. Umumnya, jika penenun punya masalah atau kebiasaan yang tidak baik, maka hasil tenunannya akan tidak bagus. Itu sebabnya penenun berpuasa, serta melakukan kebaikan dan kejujuran. Ada ‘nyawa’ dalam kain tenun,” ucap Dian.
Perancang busana Didiet Maulana juga meyakini kain tenun potensial diajukan sebagai warisan budaya tak benda dunia. Sebab, kain tenun bukan sekadar produk jadi. Kain tenun mesti dilihat sebagai suatu proses yang menyeluruh, berikut ekosistem yang terbentuk dan yang menghidupi pekerja-pekerjanya.
Penetapan kain tenun sebagai warisan budaya, menurut Didiet, dapat meningkatkan semangat masyarakat untuk mengenakan kain tenun sebagai pakaian sehari-hari. Hal ini juga mendorong perajin serta generasi muda untuk melihat kain tenun sebagai profesi yang menjanjikan di masa depan.
“Menenun bisa menjadi suatu mata pencaharian yang legit dan valid buat generasi muda,” kata Didiet yang juga pendiri jenama IKAT Indonesia by Didiet Maulana.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid menyatakan, pemerintah berencana mengajukan kain tenun sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Kain tenun yang akan diajukan bukan kain tenun dari daerah tertentu, tetapi kain tenun Nusantara.
“Riset sedang dibuat. Pemetaan sedang dilakukan. Kami melibatkan teman-teman pelaku hingga komunitas tenun untuk membuat pemetaan lengkap. Itu akan menjadi bahan pengusulan ke UNESCO nanti,” kata Hilmar saat diwawancarai pada akhir Desember 2021.
Menurut Hilmar, mengusulkan kain tenun Nusantara sebagai WBTB benda lebih efektif dibandingkan mengusulkan satu per satu kain tenun dari berbagai daerah. Sebab, ruang mengusulkan WBTB sangat terbatas dan butuh waktu setidaknya satu hingga dua tahun.
Rencana mengusulkan kain tenun Nusantara sebagai warisan budaya tak benda merupakan respons dari penetapan songket sebagai WBTB Malaysia oleh UNESCO pada Desember 2021. Di sisi lain, songket merupakan salah satu wastra Indonesia yang sudah ada sejak beberapa abad lalu.
Tradisi pembuatan Songket tersebar dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah sempat menyebut bahwa Indonesia kecolongan menjadikan songket sebagai WBTB yang diakui UNESCO.
Tantangan
Sementara itu, regenerasi menjadi salah satu tantangan pengembangan dan pelestarian tradisi tenun di Indonesia. Didiet mengatakan, pekerjaan rumah saat ini adalah menarik minat anak muda dengan menunjukkan bahwa menenun merupakan salah satu profesi yang menjanjikan.
“Pasar mesti digelorakan lagi agar tenun ikat menjadi wastra yang bisa dipakai menjadi busana, dekorasi rumah, dan sebagainya. Demand akan ada jika pasarnya ada,” katanya. “Generasi muda juga perlu disiapkan menjadi penenun, misalnya dengan memasukkan tenun ke pendidikan,” tambahnya.
Sementara itu, Dian mengatakan bahwa potensi pengembangan kain tenun sangat besar karena sekarang ada kecenderungan publik berpakaian etnik. Ia pun kerap melakukan lokakarya ke komunitas dan publik di daerah untuk memadupadankan kain menjadi busana yang keren. Selain itu, kain tenun pun sejalan dengan visi mode berkelanjutan.