Ketegasan Berbagai Pihak Sangat Krusial untuk Cegah Pemberangkatan Pekerja Migran Nonprosedural
Tanpa ketegasan pihak terkait untuk mencegah pengiriman secara nonprosedural, pekerja migran rentan menjadi korban perdagangan orang. Keselamatan mereka dipertaruhkan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pantai timur Sumatera rawan digunakan untuk pengiriman pekerja migran secara nonprosedural ke Malaysia. Tidak hanya menggunakan kapal penumpang di pelabuhan resmi, pengiriman pekerja migran juga menggunakan pelayaran rakyat melalui pelabuhan tidak resmi.
Tanpa ketegasan pihak terkait untuk mencegah pengiriman secara nonprosedural, pekerja migran rentan menjadi korban perdagangan orang. Keselamatan mereka dipertaruhkan.
Seperti diberitakan, pemberangkatan pekerja migran nonprosedural masif dilakukan lewat dua feri dari pelabuhan internasional di Batam, Kepulauan Riau, menuju Tanjung Pengelih, Malaysia. Sejak Mei 2022, sedikitnya 200 pekerja migran tanpa dokumen setiap hari berangkat lewat rute itu.
Selain lewat pelabuhan resmi di Batam, sindikat pengiriman pekerja migran nonprosedural juga kerap menggunakan pelabuhan tak resmi di sepanjang pantai timur Sumatera. Pekerja tanpa dokumen diseberangkan ke Malaysia menggunakan perahu kayu. Aspek keselamatan pelayaran pun terabaikan.
Sejak Desember 2021 ada tujuh peristiwa perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen yang tenggelam di Selat Malaka. Total 42 orang tewas dan 54 orang hilang. Perahu-perahu yang tenggelam itu diketahui berangkat dari Sumatera Utara, Riau, dan Kepri.
Aktivis migran di Batam, RD Chrisanctus Paschalis, Selasa (20/12/2022), mengatakan, pemberangkatan pekerja migran tanpa dokumen lewat pelabuhan resmi ataupun pelabuhan tidak resmi sama-sama berbahaya. Tanpa dokumen lengkap, pekerja migran tidak tercatat dan tidak bisa mendapat perlindungan hukum selama bekerja di luar negeri.
Pekerja migran tanpa dokumen biasanya berangkat ke Malaysia hanya bermodal paspor, bahkan kadang tanpa paspor. Padahal, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan, selain paspor, calon pekerja migran Indonesia juga harus memiliki visa kerja, perjanjian kerja, dan lima dokumen lain. ”Persoalan ini hanya bisa diselesaikan kalau aparat menegakkan hukum secara tegas. Aparat di pelabuhan jangan melakukan pembiaran, apalagi membekingi sindikat perdagangan orang,” kata Paschalis.
Secara terpisah, Koordinator Migrant Care Wahyu Susilo menilai, pemberangkatan pekerja migran nonprosedural bisa dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Pelakunya dipastikan berjejaring, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di negara lain, dalam hal ini Malaysia. ”Ini kejahatan transnasional. Dalam melakukannya, kelompok ini membonceng proses penempatan pekerja migran,” katanya.
Pemberangkatan pekerja migran tanpa dokumen lewat pelabuhan resmi ataupun pelabuhan tidak resmi sama-sama berbahaya. Tanpa dokumen lengkap, pekerja migran tidak tercatat dan tidak bisa mendapat perlindungan hukum selama bekerja di luar negeri.
Mengutip data Bank Indonesia, jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia pada tahun 2020 mencapai 1,633 juta orang. Jika ditambah pekerja migran nonprosedural, angka itu meningkat menjadi sekitar 2 juta orang.
Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri pada Februari 2022, jumlah keberangkatan pekerja migran ilegal atau nonprosedural asal Indonesia meningkat hingga 146 persen antara tahun 2020 dan 2021.
Wahyu tidak menampik, animo calon pekerja migran Indonesia untuk bekerja di Malaysia dipicu salah satunya oleh kemudahan dalam Sistem Maid Online (SMO) yang dibuat Pemerintah Malaysia. SMO yang diberlakukan sejak 1 Januari 2018 itu memangkas rantai birokrasi yang panjang dan berbiaya tinggi.
Meski demikian, menurut Wahyu, SMO juga berbahaya karena pemerintah dan kementerian terkait tidak memiliki data keberadaan pekerja migran tersebut di Malaysia. Tanpa data memadai, perlindungan pekerja migran Indonesia akan sangat lemah. Perwakilan Indonesia di Malaysia akan kesulitan mengakses informasi dan memberikan perlindungan tanpa data dan perangkat hukum memadai.
Mengutip laman Jabatan Imigresen Malaysia, calon majikan, dengan sejumlah uang dan syarat tertentu, bisa mengajukan permohonan kepada Pemerintah Malaysia untuk bisa memasukkan atau dicarikan pekerja migran untuk dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga atau pekerja domestik. Sembilan negara masuk dalam daftar yang warganya bisa mengajukan diri untuk dipekerjakan sebagai pekerja sektor domestik di Malaysia, di antaranya Indonesia, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Sri Lanka (Kompas, 28/11/2020).
Pemda berperan
Di sisi lain, perlindungan bagi pekerja migran juga membutuhkan dukungan pemerintah daerah. Hingga kini hanya Jawa Barat dan Jawa Timur yang menerbitkan peraturan gubernur terkait perlindungan pekerja migran.
”Kedua provinsi ini juga telah menganggarkan dana khusus untuk memberikan pelatihan bagi calon pekerja migran. Kami terus menyosialisasikan agar pemerintah daerah turut ambil bagian memberikan perlindungan mulai dari hulu atau sebelum pemberangkatan,” ujar Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Achmad Kartiko di sela-sela penandatanganan nota kesepahaman kerja sama dengan Ombudsman RI, kemarin, di Jakarta.
Menurut dia, rata-rata remitansi yang dihasilkan dari 4,4 juta pekerja migran prosedural mencapai Rp 150 triliun per tahun. Di luar itu, diperkirakan ada 4,5 juta pekerja migran nonprosedural yang juga berkontribusi terhadap remitansi meski tidak tercatat.
Oleh karena itu, dia berharap kerja sama lintas instansi dan pemerintah daerah diperkuat untuk mencegah pemberangkatan pekerja migran nonprosedural.