Saat Warga di Manggarai Barat ”Tergilas” Jalan Super Premium
Kami seakan dibodohi. Ternyata, proyek jalan sekitar Rp 400 miliar itu sudah termasuk ganti rugi atas penggusuran rumah, pekarangan, lahan pertanian, dan tanaman. Kenapa hal itu pemerintah tidak realisasikan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Tidak paham hukum sering menjadi masalah serius bagi warga di kampung-kampung di pedalaman seperti dialami warga tiga kampung di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Mereka diam saat rumah dan lahan digusur demi pembangunan jalan pendukung pariwisata super premium Labuan Bajo sepanjang 32 kilometer dan lebar 23 meter. Sebanyak 25 kepala keluarga di empat kampung harus menderita dan mengalami kerugian yang tidak sedikit di tengah harga kebutuhan hidup yang terus merangkak naik.
Viktor Cumbi (54), warga Dusun Cumbi, Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), delapan bulan tinggal bersama lima anak dan seorang istri di tenda terpal. Rumahnya berukuran 5 meter x 7 meter digusur alat berat, Januari 2022.
”Sebelumnya, yakni 2018, pemerintahsosialisasi bahwa akan ada pembangunan jalan super premium dari Labuan Bajo menuju Golomori. Jalan itu akan melewati Dusun Cumbi dan beberapa dusun lain. Mereka bilang tidak ada ganti rugi dari pemerintah terkait pembangunan itu,” kata Viktor di Labuan Bajo, Rabu (14/12/2022).
Masyarakat Dusun Cumbi yang akan dilalui jalan itu pun tidak keberatan. Mereka bersedia lahan digusur tanpa ganti rugi. Kehadiran jalan melewatiwilayah itu sangat dibutuhkan. Sudah puluhan tahun mereka terisolasi, harus berjalan kaki berjam-jam untuk sampaiLabuan Bajo. Kendaraan yang bisa lewat dan dinaiki warga hanya truk, dengan kondisi jalan yang sangat buruk.
Awal Januari 2022, dimulailah penggusuran dengan alat berat. Rumah, pekarangan, lahan pertanian dengan tanaman perkebunan di atasnya digusur.
Setelah penggusuran, masyarakat pun mencari tempat perlindungan dan pengamanan diri masing-masing. Ada yang tinggal di kebun, jauh dari jalan itu, dan ada pula yang hanya bergeser beberapa meter dari jalan yang sedang dibangun.
Sebagian dari merekamemindahkan seluruh perabot ke rumah warga lain yang aman dari penggusuran. Ada yang sengaja membangun tenda darurat dari terpal, kemudian meletakkan barang-barang di dalamnya, sekaligus tidur di tenda terpal itu.
Namun, ada pula yang membiarkan rumahnya digusur begitu saja karena saat penggusuran tidak ada di tempat. Mereka tidak mendengar informasi waktu penggusuran.
Viktor pun membangun tenda terpal dan tinggal di tenda itu selama delapan bulan, pada Januari hingga Agustus, bersama seorang istri dan lima anak.
Khawatir musim hujan yang biasa disertai badai dan petir, ia pun berjuang dengan susah payah membangun rumah setengah tembok berukuran 5 meter x 7 meter, berjarak sekitar 15 meter dari jalan yang dibangun itu, pada September 2022.
Barangkali mendengar ada pembuatan rumah tersebut, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengantar uang Rp 20 juta. Alasannya, untuk menaikkan tembok rumah dan mengadakan pintu serta jendela. ”Mereka bilang itu bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bukan program rumah layak huni dari pemkab,” kata Viktor.
Merasa dibodohi
Tercatat ada tiga kampung/dusun yang warganya digusur, yakni Cumbi, Nalis, dan Kenari. Ketiganya terletak di Desa Warloka dan Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat.
Jumlah rumah yang digusur di tiga kampung mencapai 25 unit. Rumah-rumah itu didiami oleh 125 warga. Adapun pekarangan yang digusur secara keseluruhan mencapai 15.000 meter persegi, sawah2.000 meter persegi, sawah dan ladang seluas 1.500 meter persegi.
Mereka bilang itu bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bukan program rumah layak huni dari pemkab. (Viktor Cumbi)
Primus Padua dari Kampung Nalis, Desa Macang Tanggar, mengatakan, setelah penggusuran, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menemui para korban, menanyakan apakah ada ganti rugi. ”Kami bilang tidak ada. Di situ baru mereka menjelaskan bahwa ada undang-undang yang mengatur, setiap pembangunan yang melewati permukiman warga, tanaman, dan lahan pertanian harus ada ganti rugi. Sejak itu baru kami paham,” tutur Primus.
Mereka sendiri pun sadar atas kesalahan itu setelah mengunduh dari dunia maya tentang hak ganti rugi atas pembangunan jalan untuk kepentingan bersama.
”Kami seakan dibodohi. Ternyata, proyek jalan yang menelan anggaran sekitar Rp 400 miliar itu sudah termasuk ganti rugi atas penggusuran rumah, pekarangan, lahan pertanian, dan tanaman di dalamnya. Kenapa hal itu pemerintah tidak realisasikan,” katanya.
Koordinator Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Serikat Sabda Allah (SVD) Ruteng P Simon Suban Tukan SVD mengatakan, bersama mitra LSM, pihaknya akan mendorong masalah ini ke pengadilan jika pemerintah tidak segera mengganti rugi hak-hak masyarakat lokal.
”Sebelumnya, kami bersama perwakilan masyarakat korban penggusuran telah bertemu Komisi III DPR, menyurati Presiden dan menteri terkait, mendatangi Pemkab dan DPRD Manggarai Barat. Masyarakat minta ganti rugi,” kata Simon.
Masyarakat mendukung pembangunan jalan nasional menuju kawasan ekonomi khusus di Labuan Bajo sepanjang 32 km dan lebar 22 meter tersebut. Namun, hak-hak masyarakat yang menjadi korban penggusuran pun harus diperhatikan pemerintah. Masyarakat tidak menuntut banyak. Cukup ganti rugi rumah, pekarangan, dan lahan yang digusur.
Jika hak warga yang menjadi korban diabaikan, lalu uang itu ke mana? Siapa yang berkuasa? Pasti dalam laporan pertanggungjawaban bagian ganti rugi ini dimasukkan. (P Simon Suban Tukan SVD)
Kompensasi atau ganti rugi atas penggusuran itu telah diamanatkan UU Nomor 2 Tahun 2012, UU Nomor 11 Tahun 2020, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021. Hak-hak masyarakat ini harus diperhatikan pemerintah. Peraturan sudah jelas mengatur tentang ganti rugi tersebut karena merupakan bagian dari proyek itu.
Pelaksana proyek di lapangan agar tetap mengedepankan peraturan tersebut. Nilai proyek jalan sepanjang 32 km itu pun sudah memperhitungkan bagian ganti rugi atas rumah, lahan, pekarangan, dan tanaman milik warga yang digusur.
Nilai proyek itu sekitar Rp 400 miliar. ”Jika hak warga yang menjadi korban diabaikan, lalu uang itu ke mana? Siapa yang berkuasa? Pasti dalam laporan pertanggungjawaban bagian ganti rugi ini dimasukkan,” kata Simon.
Dalam situasi daya beli masyarakat yang makin terpuruk, harga semua kebutuhan hidup terus merangkak naik, dan beban hidup makin mengimpit, pemerintah sebaiknya berpihak kepada kepentingan masyarakat kecil.
Proyek jalan itu dinikmati semua orang, termasuk warga negara asing yang bepergian ke Labuan Bajo, bukan hanya warga empat kampung itu.
Pemerintah tidak rugi jika memberi ganti rugi kepada korban penggusuran. Uang ganti rugi penggusuran pun bagian dari pajak masyarakat yang selama ini dipungut pemerintah. ”Mari kita berpikir manusiawi. Jangan bangga dengan jalan super premium itu di atas penderitaan rakyat kecil,” kata Simon.
Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah III Balai Pelaksana Jalan Nasional Nusa Tenggara Yanuar Dwi Putra kepada wartawan mengatakan pembebasan lahan merupakan tanggung jawab pemda setempat. Pihaknya fokus pada pembangunan fisik jalan.
Adapun Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi saat dihubungi mengatakan, sesuai kesepakatan saat sosialisasi tahun 2018, tidak ada ganti rugi. Masyarakat pun setuju dan menandatangani kesepakatan itu. Saat sosialisasi kedua pada 2021 juga disepakati bahwa tak ada ganti rugi.
”Mereka tanda tangan kesepakatan itu di Kantor Desa Warloka dan di dalam Kapel Warloka. Isi kesepakatan, pembangunan jalan itu, masyarakat tidak terima ganti rugi. Jadi, mereka sudah sepakat soal itu,” katanya.