Labuan Bajo, yang dulu tak lebih dari sebuah desa kecil yang sepi dan terisolasi, kini menjelma menjadi kota maju dan modern. Namun, berbagai kemajuan fisik itu mengandung potensi kerusakan yang mengancam eksistensi PLB.
Oleh
ROMANUS NDAU
·4 menit baca
Setelah ditetapkan sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Tahun 2016, Labuan Bajo menjadi magnet pariwisata dunia yang mengagumkan. Terutama bagi yang berpunya dan penggila wisata alam, rasanya tidak lengkap jika belum menginjakkan kakinya di Labuan Bajo.
Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat mencatat tingginya lonjakan kunjungan wisatawan ke daerah ini. Sebelum 2010 hanya 41.000 wisatawan. Namun, setelah 2013 meningkat tajam. Tahun 2019 tercatat 184.206 pengunjung. Andai tak ada pandemi, angka ini akan terus bertambah.
Daya tarik utama Pariwisata Labuan Bajo (PLB) adalah kadal raksasa komodo. Reptil yang oleh penduduk setempat disebut ora ini ditemukan di lima pulau: Pulau Komodo, Padar, Rinca, Gilli Motang, dan Nusa Kode. Di sinilah 3.022 komodo (Varanus komodoensis), makhluk yang berwarna mirip tanah ini hidup dan beranak pinak. Belum ada penjelasan ilmiah, tetapi hanya di tempat inilah kadal raksasa yang berinsting liar dan ganas ini eksis di muka bumi.
Jika kita membuka laman BOPLF, isinya hanya pernyataan-pernyataan normatif dan komitmen verbal tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan PLB.
Absennya rencana induk
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perpres No 32/2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLF). Mandat utamanya, membuat kebijakan umum, melakukan koordinasi, sinkronisasi kelembagaan, dan mengawasi seluruh proses pelaksanaan pembangunan PLB.
Perpres ini juga mengatur kewajiban BOPLF memperhatikan aspirasi, budaya, karakteristik, dan aspirasi masyarakat setempat. Kewajiban ini tentu bertujuan mulia: memastikan terselenggaranya pembangunan PLB secara terencana sistematis dan berkelanjutan dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat.
Hal pertama yang mesti dikerjakan BOPLF adalah menyusun Rencana Induk Pembangunan PLB khususnya dan NTT umumnya. Ini diawali dengan menyerap aspirasi masyarakat, kemudian mengintegrasikan nilai-nilai adat dan budaya itu dalam seluruh tahapan pembangunan. Jika ini dijalankan secara sistematis dan konsisten, dampaknya adalah kuatnya legitimasi pembangunan di daerah ini.
Sayangnya, hingga kini rencana induk itu belum juga tersedia. Jika kita membuka laman BOPLF, isinya hanya pernyataan-pernyataan normatif dan komitmen verbal tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan PLB. Beragam informasi publik tentang visi, program, dan hasil yang terukur belum terlihat.
Realitas ini menyulitkan masyarakat memberikan masukan, apalagi kritikan. Yang terjadi justru polemik tiada henti karena kesenjangan pengetahuan yang sulit dijembatani. Bagi segelintir elite, konsep dan desain pembangunan PLB sudah benar dan jelas sehingga harus didukung dan dilaksanakan.
Pemikiran ini tumbuh atas satu keyakinan pemerintah tak mungkin salah apalagi sengaja mencederai masyarakat. Pemerintah pasti sunguh-sungguh memikirkan kemajuan, kebaikan, dan kesejahteraan umum.
Sebaliknya, bagi sebagian besar masyarakat, konsep pembangunan PLB harus dikritisi. Bagi mereka, kemauan baik saja tak cukup karena semestinya didukung perencanaan yang jelas, terarah, dan terukur. Masa depan PLB harus diselamatkan dengan desain pembangunan yang dijiwai dan tumbuh dari bawah, bukan produk elite yang lahir di hotel-hotel mewah.
Secara fisik, harus diakui adanya perubahan signifikan. Labuan Bajo, yang dulu tak lebih dari sebuah desa kecil yang sepi dan terisolasi, kini menjelma menjadi kota maju dan modern.
Gedung-gedung pencakar langit, hotel-hotel mewah, sentra-sentra bisnis, dan beragam kuliner berkembang secara pesat. Begitu pula kehadiran kapal-kapal mewah dan mahal serta gemerlap dunia hiburan menyulap Labuan Bajo menjadi Bali baru.
Akan tetapi, berbagai kemajuan fisik itu mengandung potensi kerusakan yang ujungnya mengancam eksistensi PLB. Kebakaran berkali-kali hutan di Pulau Padar dan Rinca, kehancuran hutan Bowosie, tumpukan sampah, dan kemacetan luar biasa merupakan realitas yang memaksa kita memikirkan ulang konsep dan desain pembangunan PLB.
Bobot persoalan bertambah dengan munculnya kasus perebutan lahan yang berakibat terancamnya kohesi dan harmoni kehidupan sosial.
Urgensi moratorium
Pada titik ini, menyelamatkan PLB dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan jadi kebutuhan mendesak. Emil Salim mengatakan, pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memenuhi kebutuhan antargenerasi.
Hal itu ditakar dari tiga hal: (1) tak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam; (2) tak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3) kegiatannya harus dapat meningkatkan sumber daya yang bermanfaat (useable) dan tergantikan (replaceable). (Supriatna, 2021: 27-28)
Mengingat Rencana Induk Pembangunan PLB belum tersedia dan meningkatnya eskalasi kritik, bahkan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, moratorium merupakan langkah yang paling rasional dilakukan. Dengan itu, berbagai dampak negatif pembangunan dan berbagai potensi konflik bisa diantisipasi.
Selama moratorium, pemerintah perlu mengambil terobosan dan bersikap low profile dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat ke meja musyawarah.
Sikap yang terkesan arogan, apalagi memaksakan kehendak, sudah saatnya ditinggalkan. Masa depan PLB harus diselamatkan ketimbang terus berjibaku sekadar memuluskan niat-niat bulus korporasi untuk terus berpesta di tengah kegelisahan dan penderitaan masyarakat.
Romanus Ndau, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegiyapranata, Semarang