Meraba Masa Depan ”Si Jingga” dari Gorontalo
Gorontalo identik dengan cerahnya jingga jagung hibrida. Namun, tak ada aktivitas industri pengolahan skala besar. Jagung Gorontalo bergantung pada industri di daerah lain. Petani pun terpapar risiko instabilitas harga.
Dengan cekatan, Danial Djani (50) mengayunkan golok untuk menebasi daun rambat yang meliliti batang-batang pohon jagung di kebunnya. Entah berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menuntaskan pekerjaan itu sendiri karena 3 hektar kebun jagungnya itu tak bisa dibilang sempit.
Namun, itu hanyalah potongan kecil dari luasnya hamparan jagung di bukit-bukit yang membentang di kanan dan kiri Jalan Lingkar Luar Gorontalo (Gorontalo Outer Ring Road/GORR). Sebagian adalah milik 500 petani jagung dari Desa Ombulo, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, seperti Danial.
Selama bertahun-tahun, mereka istikamah menanami sekitar 400 hektar lahan di sekitar GORR dengan berbagai jenis jagung hibrida, seperti BISI 18, BISI 959, dan NK 212. Hasilnya boleh dikatakan membahagiakan.
”Setahun panen dua-tiga kali. Waktu panen Mei lalu dapat 16 ton (jagung pipil) dari 3 hektar. Itu termasuk banyak,” kata Danial, Kamis (1/12/2022), sembari mengusap peluhnya dengan handuk ungu yang sedari tadi melingkar di lehernya.
Hasil tersebut ia jual ke seorang pengepul yang rutin mendatangi desa setiap kali panen dengan harga Rp 3.600 per kilogram tanpa mempertimbangkan kadar air. Artinya, ia mendapatkan Rp 57,6 juta dari jagung tanpa perlu mengeringkannya terlebih dahulu.
Setelah dikurangi modal tanam dan panen Rp 18 juta, ia meraup untung bersih Rp 39,6 juta. ”Kerja atau tidak kerja, saya tetap punya gaji Rp 6,6 juta per bulan selama setengah tahun,” kata Danial yang kini mengetuai sebuah kelompok tani beranggotakan 50-an orang.
Baca juga: Teori Sarung dan Lingkaran Problem Pangan
Desa Ombulo adalah satu dari ratusan desa di Gorontalo yang warganya mengandalkan jagung sebagai sumber penghidupan. Sejak resmi menjadi provinsi ke-32 Indonesia pada 5 Desember 2000, tepat 22 tahun lalu, pemerintah provinsi menetapkan jagung sebagai komoditas unggulan daerah.
Saat itu, luas tanam jagung di Gorontalo hanya 42.844 hektar dengan produksi 118.181 ton. Produktivitas tanaman juga cuma 2,15 ton per hektar (Kompas, 7 Oktober 2002). Namun, para petani menanam dan terus menanam.
Kini, 340.500 hektar atau sekitar 27,38 persen dari 1,24 juta hektar daratan ”Serambi Madinah” telah menjadi kebun jagung. Diprediksi, tahun ini Gorontalo akan memanen 1,61 juta ton jagung pipil kering dengan produktivitas hampir 5 ton per hektar.
Rantai pasok
Setelah mengumpulkan jagung dari petani, para pengepul akan menjualnya kembali ke gudang-gudang yang tersebar di sekitar Kota Gorontalo dan Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo, dengan selisih keuntungan sekitar Rp 500 per kg.
Kalau kita bawa 1 ton, mereka cuma mau bayar 680-700 ton, tetapi harganya tetap lebih bagus daripada pengepul.
Beberapa petani lain lebih suka menjual langsung ke gudang, seperti Farida Ayuba Ma’ruf (55), yang juga warga Desa Ombulo. Ia ingin memotong rantai pasok demi harga yang lebih baik. Namun, hal ini berarti ia harus menanggung biaya tambahan untuk pengangkutan dan menghadapi risiko pemotongan harga jual akibat kadar air jagung yang melebihi ambang batas 17 persen.
”Kami panen, pipil, dan langsung jual tanpa dikeringkan dulu. Akibatnya, kadar air jagung bisa sampai 32 persen dan ini jadi dasar pemotongan harga di gudang. Kalau kita bawa 1 ton, mereka cuma mau bayar 680-700 ton, tetapi harganya tetap lebih bagus daripada pengepul,” kata Farida yang memiliki 2 hektar lahan jagung.
Lalu, mengapa petani tak lebih dulu mengeringkan panen mereka? Yudin Latif (50), petani di Desa Tunggulo, Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango, mengatakan, pertama, mereka takut tidak mendapat harga bagus di awal masa panen. Kedua, proses pengeringan butuh biaya lebih untuk jasa buruh. Lagi pula, faktor lainnya, hujan tak lagi bisa diprediksi.
Baik lewat pengepul maupun langsung, sebagian besar jagung yang dipanen para petani akhirnya bermuara ke 11 gudang di Gorontalo. Gudang kemudian menjualnya lagi ke pabrik-pabrik pakan ternak atau makanan minuman yang terpusat di Jawa, biasanya dengan kisaran harga Rp 4.800-Rp 5.200 per kilogram.
Baca juga: Zahra Khan, Menghidupkan Pangan Lokal Gorontalo
Itulah ujung dari rantai pasok jagung Gorontalo. Penjabat (Pj) Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer mengatakan, belum ada pabrik pengolahan jagung di Gorontalo sehingga tak ada opsi selain pengiriman ke kota-kota di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Karena itu, volume pengiriman jagung antarpulau cenderung meningkat setiap tahun, dari 332.759,19 ton pada 2020 menjadi 584.880,85 ton pada 2021. Selama Januari-Oktober 2022, volume jagung yang meninggalkan Gorontalo telah mencapai 446.970 ton.
Instabilitas harga
Masalah muncul ketika harga beli yang ditetapkan pabrik-pabrik di Jawa merosot. Lie Kian Lay (57), pemilik gudang jagung bernama CV Kemiri Putih di bilangan Dungingi, Gorontalo, mengatakan, harga beli oleh pabrik-pabrik di Jawa saat ini cuma Rp 4.300 per kg.
”Kabarnya, di Jawa banyak peternakan unggas yang gulung tikar. Tidak ada yang beli pakan ternak sehingga pabrik-pabrik kelebihan suplai jagung. Jadi, sekarang saya cuma bisa beli Rp 3.650 per kg dari petani,” kata pria yang akrab disapa Ko Lay itu, Jumat.
Situasi ini aneh karena Gorontalo justru belum memasuki masa panen. Ko Lay khawatir harga ini akan terus bertahan sampai Februari atau Maret 2023 ketika panen dimulai. Pihak yang paling dirugikan adalah petani, karena keuntungan mereka akan semakin tipis.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Cadangan Pangan Aman
Pada saat yang sama, kesejahteraan dan daya beli petani di perdesaan sedang merosot sepanjang paruh kedua 2022. Nilai tukar petani terus menurun dari 105,98 pada Juni ke 100,56 pada November.
Karena itu, pengusaha gudang juga tertekan karena harus saling bersaing menetapkan harga yang menarik bagi petani. Padahal, dari margin penjualan antarpulau sebesar Rp 700 per kg, pengusaha hanya dapat mengambil untung Rp 200, sedangkan sisanya untuk ongkos kirim. ”Pabrik bahkan sering berutang ke kami sampai dua-tiga bulan,” kata Ko Lay.
Solusi
Situasi bisa saja berubah jika hilirisasi industri terjadi di Gorontalo dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik pakan ternak. Dengan begitu, kontribusi sektor industri pengolahan bagi perekonomian daerah akan meningkat. Selama triwulan ketiga 2022, sektor itu hanya menyumbang 4,64 persen bagi produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp 7,39 triliun.
Lagi pula, data menunjukkan jagung yang tertinggal di Gorontalo sangat melimpah. Pada 2021, misalnya, dari total produksi jagung yang disebut 1,57 juta ton, hanya 584.880,85 ton yang dikirim ke luar Gorontalo. Keran ekspor jagung juga ditutup sepanjang tahun.
Artinya, ada 988.289,15 ton jagung yang tersisa di Gorontalo, entah ke mana muaranya. Penduduk Gorontalo hanya 1,19 juta jiwa dan tidak mengonsumisnya sebagai makanan pokok.
Kendati begitu, dari kacamata pemilik gudang pengumpul, relasi dagang terhadap industri di Jawa adalah status quo yang tak perlu diubah. ”Kalau ada pabrik di sini, jelas petani akan jual ke pabrik dan pengusaha seperti saya akan berhenti kerja,” kata Ko Lay.
Jasin Mohammad, pemilik CV Diantama Agroindo, perusahaan fumigator produk-produk pertanian, juga mengatakan, pendirian industri pengolahan pakan ternak tidaklah efisien secara bisnis. Sebab, pertama, Gorontalo bukanlah daerah pusat peternakan unggas.
”Kedua, jagung cuma 53 persen dari bahan baku pakan ternak. Sebagian bahan baku lainnya, seperti gandum, harus diimpor melalui Jawa. Kalau bahan itu harus dikirim ke Gorontalo untuk diolah, kemudian produk akhirnya dikirim lagi ke Jawa, akan jadi mahal sekali,” katanya.
Baca juga: Pemuda Merayakan Pangan Lokal Gorontalo
Menurut Ko Lay, solusi dari instabilitas harga adalah pembukaan keran ekspor sepanjang tahun. Ini akan dapat mengatasi kelebihan pasokan jagung yang tak terserap di industri dalam negeri. Harga di tingkat petani pun bisa lebih baik.
Antara September dan Oktober 2022, petani bisa menjual jagung seharga Rp 3.800-Rp 4.000 per kg ke gudang karena keran ekspor sedang dibuka. Saat itu, beberapa gudang mengekspor 18.350 ton jagung ke Filipina dengan harga Rp 4.900 per kg.
”Dalam sistem perdagangan bebas, cara untuk menolong petani jagung Gorontalo adalah jangan menghentikan ekspor. Jangan sampai terjadi oversupply di pabrik,” kata dia. Ia pun menyambut baik kebijakan pemerintah yang sejak September 2022 membuka kuota ekspor jagung bagi Gorontalo sebesar 100.000 ton.
Jasin sepakat dengan Ko Lay. Namun, pemerintah juga ia dorong untuk menaati Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2022 yang menetapkan harga beli di petani adalah Rp 4.200 per kg.
Ini penting karena pertanian adalah lokomotif penggerak utama perekonomian Gorontalo.
Harapan serupa juga muncul dari para petani seperti Yudin di Desa Tunggulo. Ia mengingat, pada 2003, Gorontalo memiliki peraturan daerah yang melarang pengusaha membeli jagung di bawah harga penyangga Rp 900 per kg. Saat itu harga bisa turun sampai Rp 300 per kg. ”Harusnya kebijakan seperti itu dipertahankan,” katanya.
Menanggapi harapan-harapan tersebut, Pj Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer berjanji akan memperluas jangkauan ekspor ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand, serta China. Hingga akhir tahun, diperkirakan total ekspor akan mencapai 23.000 ton. Seandainya tak terhambat ketersediaan kapal, total ekspor bisa jadi melampaui angka tersebut.
Di samping itu, ia akan membuat kesepakatan dagang dengan pemerintah di daerah tujuan pemasaran jagung Gorontalo, seperti Jawa Timur. ”Ini penting karena pertanian adalah lokomotif penggerak utama perekonomian Gorontalo. Kontribusinya untuk PDRB 38,02 persen dan untuk ketenagakerjaan 33,26 persen,” kata Hamka.
Kendati begitu, Hamka tak menutup opsi hilirisasi industri jagung. Ia yakin investor dari Filipina dan Malaysia tertarik untuk membuka pabrik ternak di Gorontalo. Namun, investasi harus didukung oleh pengembangan produk-produk turunan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Pekerjaan rumah kami adalah mengadakan sarana penunjang untuk UMKM serta memperbaiki infrastruktur, baik jalan, pelabuhan laut, dan udara. Itu prioritas kami. Mungkin belum akan bisa tuntas semua di tahun 2024, tetapi progress dan realisasinya harus signifikan,” ujar Hamka yang akan menjabat sampai 2024.
Rahmiyati Kasim, dosen Program Studi Teknologi Pangan Universitas Negeri Gorontalo, mengatakan, jagung hibrida bisa diolah menjadi produk seperti beras analog sebagai alternatif beras putih biasa atau mi. Dari pengalaman melatih pegiat UMKM, ia menilai warga sebenarnya antusias.
Namun, masalahnya adalah keterbatasn alat. ”UMKM butuh alat seperti ekstruder untuk mencetaknya, tetapi itu mahal sekali. Kami pernah akali dengan menggunakan mesin pembuat pelet, tetapi tidak maksimal. Jadi, mungkin di situ pemerintah bisa berperan lebih, selain juga memastikan pemasarannya,” kata Rahmiyati.
Akhirnya, Gorontalo telah identik dengan cerahnya jingga jagung hibrida. Ratusan ribu warga menggantungkan hidup padanya, dari petani sampai pengusaha. Namun, agar betul-betul sejahtera, mereka membutuhkan campur tangan pemerintah.
Baca juga: Kebijakan Ekspor Jagung Perlu Strategi Nasional yang Matang