Pemuda Merayakan Pangan Lokal Gorontalo
Bahan pangan lokal Gorontalo yang mulai langka bisa diselamatkan dengan cara banyak mengonsumsi kuliner lokal. Sikap tersebut tidak hanya akan melestarikan ekosistem, tetapi juga identitas diri sebagai orang Gorontalo.
Selama 35 tahun terakhir, Rumah Makan Sakinah selalu menjadi salah satu destinasi wajib bagi para peziarah kuliner yang mencari cita rasa otentik di Gorontalo. Mereka menemukannya di sana dalam dalam semangkuk binthe biluhuta, sup jagung khas ”Negeri Serambi Madinah”.
”Belum ke Gorontalo kalau belum ke sini,” kata Sunarti Usman (44), pemilik restoran itu, sambil tersenyum bangga ketika ditemui pada Sabtu (27/11/2021) siang yang gerah dan terik di rumahnya. Di sana pula Rumah Makan (RM) Sakinah dibuka bagi para pelanggannya, tepatnya di Desa Dulamayo Barat, Kabupatan Gorontalo.
Setiap hari, lebih kurang 100 porsi binthe biluhuta terjual dengan harga Rp 10.000. Jumlah itu cukup untuk menggambarkan kegemaran pelanggan akan binthe biluhuta racikan Sunarti yang menggunakan biji jagung pulut lokal Gorontalo alias binthe pulo sebagai bahan utamanya.
Tekstur binthe pulo yang mulanya padat justru menjadi seperti ketan ketika dikunyah, tak seperti jagung manis yang terkesan ”kosong”. Gurihnya kuah kapur sirih yang hangat membuat membuat setiap suapan terasa nikmat. Hidangan itu pun semakin sedap dinikmati bersama ikan lajang bakar yang dilumuri campuran rica dabu-dabu dan minyak kelapa.
Celakanya, kini binthe pulo semakin sulit didapat. Ia harus mencarinya puluhan hingga ratusan kilometer hingga ke Kabupaten Pohuwato atau Kabupaten Boalemo, Gorontalo, untuk membeli langsung kepada petani seharga Rp 15.000 per kilogram. ”Kalau tidak dapat, saya bahkan beli dari Sulawesi Tengah,” katanya.
Usut punya usut, para petani di Gorontalo sudah malas menanam binthe pulo. Jagung itu sering menjadi incaran hewan-hewan liar, seperti yaki alias monyet hitam sulawesi. ”Mereka rugi. Tanam satu petak, dapatnya cuma seperempat. Jadi, petani beralih ke jagung jenis lain,” lanjut Sunarti.
Memang, dalam tiga dekade perjalanannya, RM Sakinah pernah berganti-ganti bahan baku. Sunarti ingat, ibunya pernah menggunakan jagung varietas lokal yang berwarna oranye, namanya motoro kiki. Namun, pada 2015, Badan Ketahanan Pangan dan Pusat Informasi Jagung (BKPPIJ) menyatakan varietas itu terancam punah, begitu pula binthe pulo.
Sunarti pun gundah akan masa depan makanan tradisional Gorontalo itu beserta restorannya. ”Kalau binthe pulo diganti yang lain, seperti jagung manis, orang tidak akan begitu suka. Tidak mungkin juga kami pakai jagung-jagung hibrida yang oranye. Itu, kan, buat pakan ternak,” ujarnya.
Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo mencatat luas lahan jagung mencapai sekitar 329.000 hektar, paling luas berada di Pohuwato. Kendati begitu, tak ada data yang memaparkan luas lahan yang ditanami binthe pulo ataupun motoro kiki.
Cerita-cerita seperti inilah yang dikhawatirkan Titania Aminullah (23), penulis muda Gorontalo yang juga anggota Generasi Lestari, gerakan pemuda peduli kelestarian alam. Menurut dia, kelangkaan binthe pulo bisa menjadi awal mula bagi hilangnya binthe biluhuta sebagai penganan lokal Gorontalo.
Baca juga : Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari
”Ini berbenturan dengan program pemerintah yang sekarang sedang gencar menanam jagung hibrida. Kualitasnya memang bagus dan nilai ekonominya tinggi. Akhirnya, para petani meninggalkan jagung pulut untuk menanam jagung hibrida,” ujar Titania.
Pada Februari 2021, misalnya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo menyiapkan 4 ton benih jagung hibrida HJ 21, Nasa 29, dan Bima 20 untuk disalurkan kepada petani. Pada akhir September 2021, Pemprov Gorontalo mengadakan panen raya jagung hibrida di lahan seluas 5.521 hektar.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie pada 2018 pun pernah mengatakan, 75 persen warga Gorontalo berhasil naik haji berkat jagung. Maka, yakinlah Titania, binthe pulo yang semakin sulit ditemukan adalah hasil kerja mekanisme pasar.
Di sisi lain, ia juga menilai permintaan masyarakat Gorontalo, terutama kalangan pemuda seperti dirinya, akan penganan lokal seperti binthe biluhuta sangatlah rendah. Salah satu penyebabnya adalah hal sesepele gengsi, takut dianggap tidak keren. ”Kita harusnya cinta penganan lokal. Kalau konsumsinya meningkat, bahan pangannya akan terus ada,” ujar Titania.
Zahra Khan, penggiat pangan lokal Gorontalo, juga yakin bahan pangan lokal bisa diselamatkan dengan sering-sering mengonsumsi kuliner lokal. Sikap tersebut tidak hanya akan melestarikan ekosistem, tetapi juga identitas diri sebagai orang Gorontalo. ”Siapa diri kita ditentukan juga oleh apa yang lidah kita kecap setiap hari. Itu jati diri kita,” katanya.
Kami berusaha memperkenalkan konsep kelestarian.
Demi membuka ruang bagi bahan pangan lokal di hati warga Gorontalo, para pemuda setempat pun berikhtiar. Salah satunya dengan menggelar Pekan Studio Pangan Warga selama 26-28 November 2021 lalu di pekarangan Huntu Art Distrik, Desa Huntu Selatan, Kabupaten Bone Bolango. Acara itu bersamaan dengan Festival Kabupaten Lestari.
Di sanalah mereka merayakan pangan lokal. Segala bahan yang tumbuh dan mudah ditemukan di Gorontalo, mulai dari beras, sagu, ubi merah, kelapa, gula aren, hingga ikan sagela alias roa, diolah para ibu Dusun III, Desa Huntu Selatan, menjadi berbagai makanan lokal.
Pekan Studio Pangan Warga pun menjadi kesempatan bagi warga untuk berkenalan dengan diniyohu atau bubur sagu yang kental menyerupai lendir. Bubur itu terbuat dari sagu dan gula aren yang dicampur dengan potongan daging kelapa muda serta kacang.
Pengunjung juga bisa merasakan popolulu, ubi merah yang dilumat, dicampur dengan gula aren, lalu digoreng tepung menjadi gorengan. Ada pula cita rasa bahari dalam bubur sagela, yaitu bubur yang ditanak bersama serpihan dan potongan ikan roa, lalu disajikan dengan taburan bawang goreng, kerupuk, dan dilengkapi pedasnya sambal roa.
Semua makanan itu dijual murah meriah, mulai dari Rp 5.000 per porsi. Pengunjung hanya perlu menukarkan uangnya dengan ”koin” dari tempurung kelapa di kasir. Makanan pun disajikan di atas piring dengan sendok logam atau alas daun pisang, sementara minumannya dengan gelas kaca. Tak ada bahan sekali pakai.
Awaluddin Ahmad (35), pengelola Studio Pangan Warga, mengatakan, bazar kuliner lokal ini adalah bagian dari kegiatan Pasar Seni Warga yang digelar setiap Minggu pagi sejak 2019. ”Kami berusaha memperkenalkan konsep kelestarian. Semua bahan makanan yang ada di sini asli Gorontalo, tidak ada yang dari luar, untuk meminimalkan jejak karbon,” katanya.
Anak muda suka yang baru dan kekinian. Tetapi, kita juga harus mencintai yang kita punya.
Saat ini, hanya ada 10 ibu yang menjadi pedagang di Studio Pangan Warga. Namun, Awaluddin memang tidak ingin program dampingan Huntu Art Distrik itu semakin besar. ”Kami bukan kapitalis. Harapan kami bukan jadi makin besar, tetapi justru makin banyak yang mengadopsi konsep kami,” ujarnya.
Awaluddin yakin, kuliner dan pangan lokal akan semakin lestari jika semakin banyak desa yang membuat studio pangan warga serupa. Warga yang mayoritas petani pun akan semakin sejahtera. ”Kami ingin maju dan sejahtera bersama,” tambahnya.
Zahra Khan, yang juga terlibat di dalamnya sebagai pedagang, percaya cara ini efektif untuk membangun kecintaan anak muda Gorontalo akan kuliner lokal. Apalagi, di Huntu Art Distrik, anak-anak muda juga dapat bergaul dan menikmati seni. ”Anak muda suka yang baru dan kekinian. Tetapi, kita juga harus mencintai yang kita punya,” katanya.
Bercerita
Di sisi lain, para pemuda yang tergabung dalam Generasi Lestari pun tak tinggal diam. Mereka berikhtiar mempromosikan pangan lokal juga dalam bentuk tulisan yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Anak Muda dan Makanan Lokal Gorontalo. Buku itu juga dilengkapi ilustrasi 15 makanan Gorontalo karya para desainer grafis muda.
Menurut Titania, satu dari 20-an penulis buku itu, selalu ada cerita di balik makanan, mulai dari soal petani hingga asal-usul penganan tersebut. Gorontalo sebagai komunitas etnik pun tak mungkin kekurangan cerita soal makanan. Cerita itulah yang dapat menumbuhkan cinta pada bahan pangan lokal.
Baca juga : Gorontalo dan Bone Bolango Promosikan Ekonomi Lestari lewat Festival
Zahra juga menyumbang artikel untuk buku bunga rampai tersebut. Di luar itu, ia juga rutin bercerita lewat Instagram di akun Bakul Goronto yang ia pakai untuk berdagang juga. Berbagai aspek tentang makanan, mulai dari bahan, cara pembuatan, hingga filosofinya, ia tuliskan secara asyik dan santai.
Soal diniyohu yang berbahan dasar sagu, misalnya. Lewat akun Bakul Goronto, Zahra mengungkapkan bahwa sagu adalah sumber makanan pokok tertua Gorontalo, bukan jagung yang penanamannya kini masif. Pemanisnya pun dari gula aren, bukan gula dari tebu yang harus diimpor. ”Diniyohu bisa jadi topik yang dalam dan panjang,” tulisnya.
Maka, melestarikan pangan lokal tak ubahnya mempertahankan identitas. Menurut pengajar Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Terri Repi, selalu ada hubungan kuat antara tanaman di suatu tempat dan kultur suatu komunitas yang hidup di sana.
Sagu adalah epitome bagi Gorontalo. ”Orang Gorontalo bahkan punya nama lokal untuk dua jenis sagu, yaitu tumbango duhi yang berduri dan tumbango tutu yang tidak berduri. Sejak dulu pula, mereka mengolah sagu secara kolektif dengan pola gotong royong,” kata Terri.
Baca juga : Sihir Kuliner dari Gorontalo
Dari sagu, muncullah makanan khas Gorontalo, seperti diniyohu dan ilabulo (sejenis lemper bakar dari tepung sagu berisi telur, daging, dan ampela ayam). Terri pun tak ragu mengandaikan kudapan lokal itu layaknya masakan ibu sendiri.
”Rasa adalah segalanya, dan tidak ada rasa yang lebih membuat kita teringat akan rumah daripada masakan ibu. Kalau memang kita pemuda yang tidak egois, kita wajib melestarikan rasa itu dengan menjaga pangan lokal,” katanya.