Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari
Festival Kabupaten Lestari di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, disebut mampu menjadi ruang untuk menemukan jawaban dan terobosan dalam mengatasi banjir yang kerap menerpa beberapa kabupaten.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
LIMBOTO, KOMPAS — Festival Kabupaten Lestari di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango disebut mampu menjadi ruang untuk menemukan jawaban dan terobosan dalam mengatasi banjir yang kerap menerpa beberapa kabupaten. Pelestarian hutan dapat menjadi solusi.
Setelah rangkaian diskusi daring selama tiga hari, Festival Kabupaten Lestari (FKL) Ke-4 dilanjutkan dengan gelaran secara fisik di Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Jumat (26/11/2021). Pembukaan FKL dengan pertunjukan budaya itu dihadiri perwakilan tujuh dari sembilan kabupaten anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), antara lain Aceh Tamiang, Siak, Sintang, Sanggau, dan Sigi.
Selaku tuan rumah FKL, Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo berharap festival ini dapat menumbuhkan kembali semangat masyarakat Gorontalo untuk bangkit dari dua bencana, yaitu Covid-19 yang masih berlangsung dan banjir yang baru saja surut. ”Kita ingin membuka lembaran baru dari dua bencana itu,” katanya.
Pada 4 November malam, banjir bandang menyerang 15 desa dan kelurahan di tiga kecamatan Kabupaten Gorontalo. Jumlah warga yang terdampak hampir mencapai 15.000 orang. Namun, hujan deras yang kembali turun dua hari kemudian menyebabkan banjir meluas ke enam kecamatan.
Bone Bolango yang juga menjadi tuan rumah FKL tahun ini juga diterjang banjir sehari setelah Gorontalo. Sebanyak 277 rumah yang ditinggali 1.231 warga di tiga kecamatan terendam banjir setinggi 30-150 sentimeter.
Sebelumnya, 17 September, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga melaporkan banjir akibat luapan Sungai Paguyuman di Kabupaten Gorontalo. Sebanyak 267 rumah bagi 929 warga di tiga kecamatan tergenang air setinggi 30-80 cm.
Kejadian itu tak mengagetkan sebab, selama periode 2015-2020, BNPB mencatat Kabupaten Gorontalo terkena banjir sebanyak 20 kali. Kajian BNPB yang dituangkan dalam inaRISK juga menyebutkan, Provinsi Gorontalo yang terdiri dari lima kabupaten dan satu kota itu memiliki 17 kecamatan rawan banjir dengan kategori sedang hingga tinggi.
Nelson pun berharap FKL bisa membuahkan terobosan untuk mengatasi banjir. ”Ada ’3-Si’ yang harus kita lakukan, yaitu inisiasi, inovasi, dan kolaborasi. Kita tidak akan bisa mengatasi masalah ini kalau tidak berkolaborasi, dan LTKL adalah salah satu wadah untuk mengatasi kerusakan lingkungan sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Nelson mengajukan sebuah solusi yang bisa didiskusikan pemerintah kabupaten anggota LTKL, yaitu penciptaan taman hutan raya (tahura) sebagai area resapan. ”Kami sendiri sudah punya hutan Suaka Margasatwa Nantu yang luasnya 6.000 hektar,” ujarnya.
Tahura ia sebut dapat membuka kesempatan menerapkan ekonomi sirkular, yaitu memetik manfaat ekonomi sambil menjaga sumber daya alam selama mungkin. Contohnya adalah memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti gula aren atau kopi yang ditanam di area tahura.
Bupati Bone Bolango Hamim Pou mengatakan, FKL harus bisa mendorong pengembangan kabupaten dengan konsep lestari dan berkelanjutan. Ia mengakui, hal ini tidak selalu mudah, termasuk di daerahnya sendiri.
”Sekitar 70 persen wilayah Bone Bolango adalah hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Ini menyulitkan kami untuk melaksanakan pembangunan. Tetapi, kalau ada kerja sama dengan berbagai pihak, saya yakin ini justru akan menjadi kekuatan kita untuk tumbuh,” ujar Hamim.
Menurut Hamim, kabupaten dengan wilayah hutan yang luas seperti Bone Bolango dapat menyediakan sumber air dan udara bersih. Namun, bencana seperti banjir dan longsor bisa terjadi akibat penggundulan hutan, seperti yang terjadi di wilayahnya akibat pertambangan liar.
”Tidak dapat dimungkiri, masyarakat mendapatkan penghasilan dari kegiatan itu. Namun, di sisi lain, pengelolaan aktivitas tambang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah kabupaten, melainkan pusat. Saat ini seolah-olah ada pembiaran terhadap kegiatan tersebut. Padahal, menjaga lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama. Saya harap dari FKL kita bisa dapat ide-ide baru yang bisa dipraktikkan,” tuturnya.
Hal yang sama juga menjadi harapan Pemkab Sintang, Kalimantan Barat. Kabupaten itu terendam banjir selama sebulan penuh sejak pertengahan Oktober. Sebanyak 26 dari total 29 desa/kelurahan terendam banjir.
Kartiyus, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sintang, yang mewakili Pemkab menghadiri FKL, mengatakan, hampir seluruh wilayah, termasuk Kecamatan Sintang, terendam banjir. ”Kota tenggelam selama lima minggu. Karena itu, Bapak (Bupati Jarot Winarno) tidak bisa hadir. Beliau terus bersemangat untuk memacu Sintang untuk pulih,” ungkapnya.
Sementara itu, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, melalui sambutan yang dibacakan seorang staf ahlinya, mengapresiasi gelaran FKL di wilayahnya. ”Saya harap potensi yang dimiliki kedua kabupaten (Gorontalo dan Bone Bolango) bisa menarik kolaborasi multipihak di tingkat kabupaten, provinsi, nasional, bahkan global,” ujarnya.
LTKL kini beranggotakan sembilan kabupaten dan bekerja bersama 21 mitra nonpemerintah. Kaukus dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) tersebut memiliki 5,5 juta hektar kawasan hutan dan 1,8 juta kawasan gambut. Tak kurang dari 1 juta warganya adalah petani. Kini LTKL memiliki 88 program kolaborasi.