Kebijakan Ekspor Jagung Perlu Strategi Nasional yang Matang
Ekspor dinilai jadi salah satu solusi mengatasi anjloknya harga jagung di tingkat petani saat panen raya. Neraca pun surplus. Namun, keputusan untuk mengekspor memerlukan strategi yang matang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ekspor dinilai menjadi salah satu solusi atas melimpahnya produksi jagung di dalam negeri saat panen raya. Apalagi pasar Asia Tenggara dianggap cukup terbuka lebar. Namun, perlu ada strategi nasional yang matang agar ekspor dapat berkesinambungan. Di sisi lain, masih ada tantangan pendataan soal produksi jagung nasional serta masih kurangnya fasilitas gudang dan alat pengering.
Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Moh Ismail Wahab, dalam webinar "Pro Kontra Ekspor Jagung" yang digelar oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Kamis (22/9/2022), mengatakan, produksi jagung nasional meningkat dari 22,6 juta ton pada tahun 2019, menjadi 22,9 juta ton pada tahun 2020, dan 23 juta ton pada tahun 2021.
Sejak tahun 2017 Indonesia tidak mengimpor jagung pakan karena kebutuhan jagung nasional dianggap dapat dipenuhi dari produksi lokal. Sebagai perbandingan, pada tahun 2016, Indonesia masih mengimpor jagung untuk pakan sebanyak 884.679 ton. Meski sejak 2017 sudah tidak impor jagung untuk pakan, sampai sekarang Indonesia masih mengimpor jagung untuk industri. Sementara terkait ekspor jagung, setiap tahun volumenya relatif timpang, yakni mencapai 1.878 ton pada tahun 2017, lalu 272.364 ton (2018), 1.701 ton (2019), 64.272 ton (2020), dan 4.235 ton (2021).
Menurut Ismail, dari data prognosis Badan Pangan Nasional, jagung memang surplus hingga akhir tahun 2022. "Namun, saya kadang terpikir, ekspor lebih baik tidak pada Agustus-September, karena produksi nasional sedang turun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Lebih baik pada Februari-Maret yang posisinya masih bagus. Kalau memang ekspor, mudah-mudahan tak ada masalah apa-apa," kata dia.
Ismail menambahkan, ekspor bukan pada ranah Direktorat Serealia Kementerian Pertanian, sehingga ia tidak tahu pasti bagaimana kemajuan rencana ekspor jagung 100.000-200.000 ton. Namun, dalam rapat terbatas, dari informasi yang dia terima disebutkan, memang Kementerian Pertanian yang akan memberi rekomendasi ekspor jagung.
Selama ini, imbuh Ismail, melimpahnya produksi jagung pada saat panen raya berimplikasi pada penurunan harga jagung di tingkat petani. Dengan demikian, ekspor menjadi salah satu alternatif jalan keluar. Di sisi lain, perlu perbaikan dan penambahan alat pascapanen seperti gudang, silo penyimpanan, dan mesin pengering untuk meningkatkan kualitas jagung sesuai standar industri maupun pakan.
Pendataan jagung juga belum dilakukan dengan kerangka sampel area (KSA) seperti halnya padi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). "Sementara jagung masih menggunakan data dari daerah yang dilakukan berjenjang hingga tingkat kecamatan. Di luar itu, belum ada yang merekam data jagung nasional. BPS pun tak punya. Untuk KSA masih proses," ucapnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra, menuturkan, terkait ekspor jagung, pihaknya mendukung karena dapat menambah devisa. Akan tetapi, perlu dilihat juga neraca komoditas. Menurut data Badan Ketahanan Pangan, pada 2021, jagung hanya surplus di triwulan pertama, lalu setelahnya selalu minus, meskipun secara total tahun tersebut surplus.
"Tolong dilihat lagi dari pengalaman kita, bagaimana subsidi yang cukup agar (jagung untuk) pakan itu tersedia di peternak dan terjangkau. Juga perlu dilihat perkembangan harga dunia. Jangan sampai mengekspor, tetapi ketahanan pangan kita, di domestik, terutama para peternak, menjadi tak terperhatikan dengan baik. Saran saya, surplus itu ditaruh di silo yang baik sehingga bertahan (kualitasnya)," kata Syailendra.
Menurut Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Budi Waryanto, hingga September 2022, jagung diperkirakan masih surplus sekitar 2,7 juta ton dan Oktober 2022 menjadi 2,3 juta ton. Adapun dalam penetapan prognosis pada Januari 2022, pada Desember 2022 diperkirakan akan surplus 2,86 juta ton.
Guna menjaga kepentingan dua sisi, yakni produsen dan konsumen, NFA akan menetapkan harga acuan pembelian atau penjualan (HAP) jagung, telur, dan ayam. "Namun, ini masih proses. Seiring kenaikan harga, (dari perhitungan) jagung pipil kering Rp 4.200 per kg di tingkat petani dan Rp 5.000 per kg di tingkat peternak. Lalu harga telur Rp 27.000 per kg. Namun, dalam rapat-rapat, ini masih alot. Seperti apa nanti, kami kawal terus hingga tuntas," ujarnya.
Sejak Juni
Pegiat pertanian jagung Dean Novel, menuturkan, isu ekspor jagung yang belakangan mencuat berawal saat harga jagung di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) anjlok pada awal Juni 2022. Saat itu, Gubernur NTB bersurat ke Kementerian Pertanian agar dibukakan keran ekspor. Namun, menurut dia, hingga kini ekspor belum dilakukan. Itu menunjukkan lamanya pengambilan kebijakan.
"Ini bukan masalah satu kementerian, tetapi masalah bersama tentang komoditas jagung di Indonesia. Ada Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pangan Nasional. Dalam mencari solusinya tampak belum klop," lanjutnya.
Dean menyarankan, perencanaan dan konsep mengenai ekspor jagung mesti matang. "Perlu dibahas bersama, agar menjadi bisnis jangka panjang, bukan sekadar momentum yang hit and run. Perlu serius, kalau memang mau menjadi pemain di kawasan ASEAN. Pasar terbuka karena negara seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Timor Leste butuh," ujarnya.
Ia juga menyebut, kapasitas pengering dan silo penyimpanan hanyalah 10 persen dari produksi nasional. Artinya, sebagian besar jagung yang ada tidak terstandar karena dikeringkan seperti dengan terpal atau peralatan ala kadarnya. Hal itu yang membuat harga turun dan menenggelamkan petani. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan nyata.
Direktur PT Seger Agro Nusantara, yang mengekspor jagung, Santoso Leksono Widodo, juga berpandangan sama. Perlu ada strategi nasional dalam kebijakan ekspor. Pasalnya, selama ini pihaknya mengekspor jagung dalam volume yang berbeda-beda setiap tahun. Misalnya tahun ini ekspor 100.000 ton, lalu tahun depan 10.000 ton, dan tahun berikutnya lagi 200.000 ton.
"Itu memantik pertanyaan di pihak pembeli bahwa ini serius atau tidak. Kalau ada permintaan lagi, akhirnya tidak bisa menjaga kesinambungan. Apabila ada strategi, bahkan ada berbagai fasilitas, baik dalam pembayaran maupun jaminan, akan lebih baik. Setidaknya itu penting untuk jangka panjang, sehingga akan membuat kami lebih yakin," kata dia.